Halaman

Senin, 12 Juli 2021

Character - Bimo

Bimo

Oleh: Caritra Sari



***


Bab Satu


***

"Kamu kok enggak ikut latihan pensi, Bim? Udah tiga minggu ditungguin sama yang lain, tuh."

Bimo baru dua bulan mengikuti kegiatan pramuka di SMP dan menjadi ketua Regu Elang ketika Kak Darma, salah satu pembina memanggilnya. Waktu itu Jum'at siang sepulang sekolah. Anak-anak masih ramai membentuk barisan sebelum latihan dimulai.

Bimo mengerutkan kening. "Aku cuma sekali izin enggak ikut latihan kok, Kak, waktu awal bulan ini pas lagi sakit. Selain itu aku ikut terus sampai sekarang."

"Lho? Barusan Kak Rosi kirim pesan nyuruh aku ingetin kamu. Rabu siang kamu ke mana?"

"Hah... Kak Rosi itu yang mana? Rabu siang emang ngapain?"

Kak Darma tampaknya menyadari sesuatu. "Bukan latihan pramuka, tapi latihan pensi, pentas seni. Kak Rosi pembina eskul paduan suara, aku minta bantuannya untuk melatih tim kita. Kamu mewakili sekolah kita di acara pentas seni pramuka se-Jakarta. Mestinya kamu latihan tiap Rabu siang."

GONG! Bimo cuma bisa melongo karena tidak tahu apa-apa. Kak Darma kelihatan prihatin.

"Waktu kamu sakit itu sebenernya kita rapat untuk acara pensi di bulan Oktober. Pas ditanya ada yang mau voluntir nggak, Regu Macan memasukkan nama Reza sebagai gitaris, sedangkan Dwi mengusulkan nama kamu sebagai penyanyi," jelas Kak Darma. Dia terlihat berusaha mengingat. "Katanya 'Bimo itu suaranya sebening emas dan selembut sutera. Kalian tau nggak, waktu ada acara baca Qur'an di SD tukang cilok yang hadir sampe nangis! Ada yang bilang Bimo itu keturunan Daud, lho!'"

"Astagfirullahalaziiim!" Bimo menepok jidat, rasanya ingin memiting kepala Dwi. Anak ituuu... ugh, benar-benar, deh!

Daud itu nama ayahnya Bimo. Sedangkan gerobak tukang cilok tidak sengaja nyusruk ke got waktu mau parkir, sehingga dagangannya tumpah semua. Salah seorang anak lalu berinisiatif menggalang sedekah dari peserta yang datang untuk si tukang cilok yang bernasib malang. Tukang cilok itu sampai menangis terharu saat menerimanya.

"Ehm... Dwi sebagai wakil ketua regu kamu harusnya ngasih tahu kalau kamu akhirnya disetujui jadi pengisi acara pensi. Kayaknya dia lupa, ya?" tebak Kak Darma. "Kalau bisa Rabu depan—"

Pembicaraan mereka terputus karena Kak Darma keburu berpaling. Anak-anak sudah rapi berbaris. Di tengah lapangan, Satya sedang menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan lantang. Kak Darma lalu menghampirinya.

"Kamu lagi ngapain?"

Satya kelihatan bingung. "Katanya yang telat datang latihan harus nyanyi di depan, Kak?"

Kak Darma menggigit bibir, tampak menahan tawa. "Kata siapa?"

"Kata Dwi."

Di barisan belakang, anak-anak langsung tertawa. Beberapa anak di depan tampak nyengir, mungkin ingin tahu apa yang akan Kak Darma lakukan pada Satya, yang notabene adiknya. Kak Darma berdeham. "Sesuai kesepakatan waktu kita pertama latihan, yang telat hukumannya push-up, ya. Kamu telat berapa menit?"

"Lima menit, Kak."

"Push-up lima kali, lalu balik ke barisan regu kamu."

Bimo lalu menyambut Satya yang datang dengan wajah merah, menepuk-nepuk pundaknya sebagai sesama korban keisengan si Dwi.

Ngomong-ngomong tentang Dwi, anak itu hanya cengar-cengir saat bergabung ke barisan. Bertindak normal seolah tidak ada apa-apa. Membuat Bimo jadi keki.

Selesai latihan Bimo menarik Dwi menjauh dari yang lain. "Kamu kok enggak bilang aku mesti ikut latihan pensi? Sengaja biar aku baru tahu pas hari H dan enggak bisa ngelak, ya?"

Dwi memutar bola matanya, tidak menyangkal tuduhan Bimo. "Kamu nggak usah latihan nyanyi juga udah bagus, kok."

Arghh!

"Nggak gitu juga, kali! Lagian kenapa kamu pake acara ngusulin namaku buat nyanyi di pensi segala, sih?"

Dwi sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Dia berkacak pinggang. "Ya supaya sekolah kita dapat juara, lah! Selain uang tunai, juara pertama juga dapat ponsel, lumayan kan buat ganti ponsel kamu yang udah butut."

Bimo mengerutkan hidung. Dia tidak punya komputer di rumah. Laptop cuma ada satu dan dipakai bergantian oleh Ayah, Ummi, dan Mas Erwin. Karena Bimo butuh perangkat untuk keperluan belajar, Ayah lalu memberinya ponsel bekas. Memang memory-nya penuh dan dia harus menghapus berkas secara berkala, tapi di luar itu sebenarnya ponselnya baik-baik saja.

"Kalo udah menang jangan lupa traktir regu kita makan-makan, soalnya anggota regu ini cukup mengenaskan. Emangnya kamu enggak kasihan sama si Wira?"

Waktu pertama membentuk regu, Dwi menarik Wira bergabung ke regu mereka karena menurutnya anak itu kelihatan kayak busung lapar.

"Dwiii...," Bimo kehilangan kata-kata. Dia mengembuskan napas sembari garuk-garuk kepala. "Kamu kan tahu kalau ayahku enggak ngebolehin. Aku harus ngundurin diri—"

"Kenapa sih kamu pengecut banget? Kamu harus berani tampil, dong!"

"Siapa yang takut tampil, sih?!" Kepala Bimo panas. Oke, waktu masih kecil banget dia sempat takut tampil di depan umum, tapi Ayah lantas berulang kali menyuruhnya tampil dan mengisi atau membawakan acara ini itu di panti asuhan binaannya, sehingga Bimo sekarang tidak takut lagi. Kalau mau jujur, dia bahkan menikmati apresiasi pemirsa di pangung. Tapi masalahnya bukan itu.

"Kamu takut dimarahin ayahmu, kan? Ya itu sama aja! Ini udah tahun 2024, lho! Indonesia udah 79 tahun merdeka, masa kamu masih takut menyampaikan pendapat ke ayahmu? Lagian ini kan cuma lomba nyanyi, bukan tawuran antar sekolah!"

Perdebatan mereka terputus oleh kedatangan Satya, yang tampak khawatir.

"Ada apa, sih? Kenapa kalian berantem?"

"Bukan urusanmu," ketus Dwi. "Aku pulang dulu."

Bimo juga pulang dengan tampang bersungut.

Rabu berikutnya Bimo ikut latihan di ruangan ekskul paduan suara.

"Kirain kamu gak bakal muncul. Kan keturunan Nabi Daud suaranya udah merdu," sindir Reza. Dia sedang menyetel gitar, ditemani beberapa anak paduan suara.

Bimo cuma melotot, lalu menghampiri Kak Rosi untuk minta maaf karena sudah melewatkan latihan. Kak Rosi menghela napas kesal.

"Jangan diulangi, ya. Mungkin bagi kamu ini enggak penting, tapi ini tahun terakhir Kakak jadi pembina di sini. Jadi Kakak ingin meninggalkan kesan yang baik. Reza juga udah susah payah berusaha hadir, sedangkan apa lagu yang akan dibawakan saja kamu tidak tahu. Kamu harus berusaha keras mengejar ketinggalan kamu."

Bimo mengangguk dengan tidak enak, lalu mengikuti latihan. Ternyata lumayan capek juga. Dia baru sampai rumah jam 5 sore, terlambat satu jam untuk mengajar Iqra' anak-anak panti. Untungnya Mas Erwin menunjuk dua anak panti yang bagus bacaannya untuk menggantikan Bimo sementara, sehingga semuanya sudah selesai membaca. Bimo menarik napas lega, lalu memanggil kedua anak tersebut untuk kembali bertugas Rabu depan.

"Emang Kak Bimo di sekolah ada acara apa? Kok pulangnya sore banget?"

"Ada latihan sama anak paduan suara, soalnya bulan depan mau ikut lomba."

Mereka cuma ber-O dan mengangguk-angguk saja. Bimo lalu pamit masuk ke rumah. Mas Erwin tidak menyinggung ketidakhadiran Bimo tadi sore di depan Ayah, jadi semua masih aman.

Sampai akhirnya negara api menyerang.

***


Bab Dua


***

Bimo berbaikan dengan Dwi keesokan harinya.

Lebih tepatnya, Dwi berulah menimpuk Bimo dengan bola kertas dan menyebabkan dua baris anak-anak penguasa bangku belakang ikut-ikutan perang saat pelajaran PPKn sebelum pulang. Pak Guru langsung mengeksekusi Dwi dan Bimo, menyuruh mereka membersihkan halaman belakang sekolah. Tak lama setelah bel pulang berbunyi mereka lalu tidak sengaja memergoki Wira. Dia membawa kotak kue dagangan mamahnya, sedang dipalak orang di gang belakang. Tanpa ba-bi-bu keduanya kompak membela Wira, walau harus bonyok sedikit.

"Kenapa deh udah zaman segini orang masih palak-palakan? Gimana Indonesia bisa maju, coba?!" Dwi menyeka bibirnya yang berdarah. Sebenarnya mereka berdua tidak jago-jago amat berkelahi, cuma modal nekat (Dwi) dan bismillah membela teman yang teraniaya (Bimo). Tapi si Dwi orangnya memang agak liar—ehm... out of the box. Otak sama tangannya ikut jalan, musuh jadi takut duluan.

Bimo meraba pipinya yang sempat tertonjok, memutuskan paling cuma bengkak dikit, lalu membantu Wira mengumpulkan kotak kue yang terjatuh.

"Mestinya kamu langsung bilang kalo ada yang macem-macem gitu, Bro," ujar Dwi sambil merangkul Wira. "Soalnya kalo dibiarin ya akhirnya kayak gini, makin ngelunjak."

"Mulai besok kita pulang bareng aja," putus Bimo.

"Mendadak dejavu aku, Bim," gumam Dwi. "Si Saka udah gak dibuli orang lagi, kan?"

Bimo mendengkus. "Enggak, itu mah beda kasusnya dengan ini."

Mereka lalu mengantar Wira pulang, mengobrol dan bercanda seolah-olah masalah yang kemarin sudah selesai.

Yah, karena berulang kali diteror dan digojlok oleh Dwi ("Yang bener dong, jadi ikut lomba apa kagak?! Jadi cowok harus tegas! Jangan maju mundur dan ngasih harapan palsu begitu!") Bimo akhirnya memutuskan untuk latihan pensi dengan sungguh-sungguh. Sayangnya penampilan perdananya (Bimo tidak tahu apakah saking jelek atau saking bagusnya), membuat anak-anak paduan suara tertegun dan memandangnya dengan tatapan seperti Zombie yang sedang melihat makanan.

Seperti api di gudang jerami, gosip "Anak cucu cicitnya Nabi Daud mau ikut lomba nyanyi" dengan cepat menyebar. Dwi cuma terkekeh setiap kali mendengarnya. Bimo berusaha meluruskan kesalahpahaman itu ("Aku bukan keturunan nabi"—Dwi malah menimpali: "Sebenarnya mungkin saja, kan? Siapa yang tahu, coba?"), tapi semua hanya menganggapnya berusaha merendah.

"Soalnya suara kamu beneran bagus, Bim," ujar salah seorang anak paduan suara yang berkuncir kuda dan berkacamata. Bimo lupa namanya siapa. "Kamu punya perfect pitch, bisa mengidentifikasi dan menduplikasi nada dengan sempurna. Vocal range kamu juga luas, dari yang rendah sampai tinggi masih nyampe. Kamu yakin enggak mau berkarir di bidang tarik suara? Aku daftarin ke acara pencari bakat, ya?"

Bimo cuma bisa berseru panik mencegahnya. Selama ini dia hanya hobi, senang-senang saja kalau disuruh menyanyi. Tapi kalau Ayah tahu, dia bisa dicoret dari kartu keluarga.

Rabu itu ruang ekskul paduan suara berubah padat seperti sidang terpidana korupsi. Kak Rosi segera mengusir semua yang tidak terlibat keluar dan mengunci pintu. Tapi anak-anak yang termakan gosip itu tidak mau pergi sebelum mendengar langsung nyanyiannya Bimo, membuat Bimo yang biasanya bisa menenangkan diri jadi grogi berat. Kayak tiba-tiba disuruh sulap memunculkan kelinci dari topi yang kosong.

Dengan keringat dingin dan jantung klotak-klotek kencang Bimo selesai menyanyikan lagu pertama. Suasana hening, lalu mendadak bising bukan kepalang setelah seseorang keceplosan "Oh my God!" dan "BIMOOO OPPAAAA!".

Bimo sontak terlonjak kaget. Kak Rosi kelihatan kesal dan tidak puas karena tidak bisa mendengar dengan jelas, sehingga menyuruh Bimo menyanyi berkali-kali. Selesai latihan rasanya suara Bimo habis. Ardi mengawalnya keluar melalui kerumunan massa (Dwi pura-pura muntah dan menyiram susu basi ke semua arah, membuat cewek-cewek menjerit dan menyingkir).

Sejak itu gosip tentangnya semakin menjadi, semua orang yakin sekolah mereka akan memenangkan lomba pensi kali ini. Dwi juga terus berkoar membanggakan Bimo, sementara Bimo jadi stres sendiri.

Di rumah, Ayah tiba-tiba memanggil Bimo setelah Bimo tiga minggu bolos mengajar di hari Rabu. Bimo langsung panas-dingin.

"Bulan depan kamu ujian tahfiz 18 juz, ya," ujar Ayah tanpa basa-basi.

Bimo melongo. "T-tapi Yah, Bimo baru hapal 16—"

"Kok lama sekali, Nak? Memangnya pulang sekolah kamu ngapain aja?"

Bimo terduduk lemas, tahu dia harus diam kalau Ayah sudah mulai mengungkit hal itu. Bimo sudah gagal memenuhi target dari ayahnya. Harus hafal 30 Juz saat lulus SD. Kenyataannya Bimo hanya sanggup 15 Juz, walau sudah pakai perjuangan darah dan air mata (kata Dwi, karena dia yang menghibur tiap kali Bimo down).

Menurut Ayah, Bimo terlalu banyak main. Bimo hampir tidak bisa ikut pramuka lagi di SMP, tapi Ayah mengalah dan memperbolehkannya ikut asalkan dia bisa khatam pas lulus SMP. Sebenarnya Bimo merasa berat, tapi dia menyanggupi daripada dia jadi no life (kata Dwi). Bimo sudah terlanjur senang punya teman banyak dan kegiatan yang beragam di pramuka selama di SD.

"Pokoknya Ayah mau lihat kamu usaha dulu, ndak Mumtaz juga ndak apa-apa. Prioritaskan ujian hapalan kamu, ndak usah ngurusin pramuka dan ini itu dulu."

Skakmat. Bimo pusing tujuh keliling.

Mulai saat itu Bimo berjuang mati-matian, berusaha memenuhi harapan ayahnya. Dia menyelesaikan semua tugas sekolah sebelum pulang, supaya di rumah bisa fokus menghapal. Selain latihan pramuka di Jumat siang dan latihan pensi di Rabu sore, semua waktu luangnya terpakai. Jam tidurnya berkurang drastis, kadang saking capeknya dia tidak tahu sedang tidur atau terjaga. Rasanya siang jadi malam, malam ya tetap malam. Gelap.

Suatu hari dia masuk ke toilet perempuan, benar-benar tidak sengaja. Sedang linglung dan butek karena hapalannya bolak-balik buyar. Teriakan cewek-cewek itu sontak menyadarkannya, plus seseorang menyiramnya dengan sisa air di ember toilet sekolah. Dia terbirit-birit lari keluar sambil memejamkan mata dan meminta maaf. Sempat kejedot tembok agak keras saat mau keluar, tapi tentu saja itu tidak dianggap sebagai bukti bahwa dia tidak bersalah.

"Anak cucu cicitnya Nabi Daud mengintip cewek di toilet sekolah!"

Biasalah, netizen butuh kabar viral terbaru. Rasanya kepala Bimo mendidih, saingan sama suhu permukaan planet Venus. Dwi menariknya kabur dari kelas sebelum ada anak rohis yang menegur dan menceramahi Bimo panjang lebar tentang hukum mengintip cewek di toilet.

"Kali ini berapa Juz?" tanya Dwi bete. Dia sudah tahu gelagat Bimo kalau sedang kepepet deadline hapalan. Katanya Bimo selalu komat-kamit dan berkantong mata tebal kayak ikan buntal yang menggelepar di pinggir sungai.

"Dua, waktunya sebulan," gumam Bimo, duduk bersandar pada dinding masjid sekolah. Bel masuk sudah berbunyi, tapi dia tidak berminat masuk ke kelas.

"Yang bener aja! Bukannya mestinya kamu enggak menghapal asal-asalan?"

"Ya makanya ini aku berusaha ngafal yang bener, walau Ayah bilang cuma pengen ngelihat usahaku dulu—"

"Basi, tau nggak?!" potong Dwi tanpa ampun. "Udah ah, kamu ke UKS aja dulu. Ntar aku bilangin Bu Guru kamu pusing dan tidur di sana."

Bimo menurut. Dwi memang sering mengesalkan, tapi di saat seperti ini, Bimo merasa bersyukur punya teman yang mengerti sepertinya.

***


Bab Tiga


***

Satya ada di sebelahnya saat Bimo terbangun sambil mengerutkan kening. Mata Bimo lengket, kepala masih pusing. Badan agak lemas. Setelah mengucek mata dia melirik jam dinding, rupanya sudah jam 2 lewat. Anak-anak pasti barusan pulang.

"Aku belum solat Zuhur," gumam Bimo.

Satya menyuruhnya minum dulu. Di atas meja ada teh manis yang sudah tidak hangat lagi.

"Kayaknya enak banget tadi kamu tidur, sampe ngorok gitu," ujar Satya kemudian nyengir.

Bimo cuma memutar bola matanya. "Dwi udah pulang, ya?"

"Katanya ada urusan." Satya mengedikkan bahu. "Kamu sakit apa, Bim?"

"Ehm... enggak sakit apa-apa. Cuma kecapekan aja, kok."

"Karena persiapan pensi?" tanya Satya, memelankan suaranya.

Bimo meringis. Terus terang sekarang dia cuma jalan autopilot saat latihan. Untungnya yang menonton sudah tidak sebanyak dulu. Masalahnya suaranya habis karena banyak membaca Qur'an.

"Kamu ngapain sih, kok bisa begini?" Rabu lalu, Kak Rosi terdengar gusar. "Ini acara udah tinggal tiga minggu lagi. Jaga kesehatan, hindari aktivitas yang membuat suara kamu serak. Pita suara kamu juga butuh istirahat. Mending kamu sekarang minum air anget dan nggak usah nyanyi dulu, deh."

Kak Rosi lalu memberi masukan terhadap penampilannya selama ini.

"Suara kamu memang bagus, kamu enggak kesulitan mencapai nada yang dibutuhkan. Tapi kalau aku nilai sebagai juri, aku bisa merasakan bahwa kamu tidak tampil maksimal. Aku nggak tahu kamu lagi ada masalah apa, apa yang membuat kamu... seolah takut ikut lomba ini... tapi jelas ada sesuatu yang menghambat potensi kamu. Ibarat masakan, walau kamu bisa ngikutin resep sesuai buku, tapi jiwa kamu enggak benar-benar tertuang di lagu ini. Jadi rasanya hambar. Apalagi akhir-akhir ini, berasa banget kalau pikiran dan hati kamu ada di tempat lain." Kak Rosi menghela napas. "Aku benar-benar berharap kamu bisa lebih serius dalam latihan, Bim."

Dengan pernyataan Kak Rosi tersebut, mulai beredarlah gosip edisi terkini. Anak cucu cicitnya Nabi Daud cuma main-main dan tidak niat ikut pensi.

Bimo terduduk lesu.

"Kamu mau mengundurkan diri dari pensi?" tanya Satya prihatin.

Bimo galau... memang sih, karena urusan ujian tahfiz ini, semangatnya ikut lomba pensi jadi turun. Dia sering mempertanyakan apa keputusannya sudah benar. Apa sebaiknya dia mundur saja dari pensi? Tapi, kalau dia bilang mau mengundurkan diri... nanti kan jadi terkesan dia membenarkan gosip itu. Semua orang akan kecewa dan marah padanya. Selain itu, masa belum tanding sudah kabur duluan? Setidaknya, kalau dia masih bersedia ikut... tidak menang pun yang penting sudah berusaha.

"Kalau lomba itu benar-benar memberatkan kamu, ntar aku bilang ke Kak Darma. Mumpung masih ada waktu tiga minggu lagi, mungkin timnya masih bisa diganti." Satya berkata dengan nada menenangkan. Bimo memandangnya, tidak menyangka Satya akan begitu perhatian.

"Aku... sebenernya ada ujian tahfiz, makanya jadwalku sekarang padat," akhirnya Bimo mengaku. "Tapi teman-teman udah ngasih aku amanat buat ikut lomba. Jadi... aku akan berusaha semaksimal mungkin."

Namun, ternyata menjaga perkataannya itu cukup sulit. Seminggu sebelum lomba, Ayah menginterogasi Bimo yang ketahuan bolos mengajar Iqra' di panti. Saat tahu bahwa Bimo ikut lomba nyanyi, Ayah marah besar dan melarangnya ikut.

Pulang sekolah langsung ke rumah, ponsel disita. Tidak boleh ikut latihan pramuka lagi sampai ujian tahfiznya selesai. Yang lebih parah, ternyata tanggal ujiannya sama dengan tanggal lomba pensi. Jadi Bimo benar-benar harus mengundurkan diri.

"Kenapa sih Ayah ngelarang aku ikut lomba nyanyi?" Setelah dimarahi Ayah, malam itu Bimo bertanya pada kakaknya, Mas Erwin. "Dulu juga gitu, main gitar enggak boleh."

Bimo meremas bantal kecil yang dipeluknya. Dulu waktu Bimo ketahuan belajar main gitar bersama anak remaja pengisi acara tujuhbelasan, Ayah sampai memukul jemari tangannya beberapa kali dengan penggaris kayu panjang yang biasa dipakainya mengajar. Tidak sampai lecet, tapi tetap perih. Rasa takut dan sakit yang mencengkeramnya pada saat itu masih membekas sampai sekarang, sehingga Bimo kapok tidak mau memainkan alat musik lagi.

"Kenapa sampe segitunya?"

Mas Erwin menarik napas panjang. "Dengar, Bim... Mas mau ngasih tahu kamu sebuah cerita dari Ibu. Ini terjadi waktu dulu, sebelum Ayah nikah."

Bimo memandang kakak tirinya itu. Mereka seayah, tapi beda ibu. Kadang ada hal tentang Ayah yang hanya diketahui oleh ibunya Mas Erwin.

"Ayah punya seorang kakak, waktu kecil anaknya baik. Tapi terus pas SMP dia mulai suka nongkrong dengan anak band. Main gitar, ngerokok. Terus suatu hari dia bilang mau ikut band itu. Kakek melarang, karena ngelihat kelakuan anak-anak band yang minum minuman keras dan entah apa lagi... tapi kakaknya Ayah bersikeras. Akhirnya dia kabur dari rumah."

Bimo tertegun, tidak tahu kalau Ayah punya kakak. "Terus gimana?"

"Ya nggak pernah pulang lagi. Nggak tahu kabarnya gimana. Ayah sedih, marah. Terluka. Sejak itu anti banget sama anak band dan segala sesuatu yang berkaitan, termasuk seni menyanyi atau memainkan musik."

"Tapi, Mas... itu kan cuma kebetulan aja. Kan enggak semua penyanyi begitu."

Mas Erwin tersenyum tipis. "Memang, tapi kalau kamu melihatnya dari sudut pandang Ayah, Mas pikir Ayah cuma ingin menjaga pergaulan kamu, supaya kamu enggak punya teman yang jelek. Buktinya Ayah ngizinin kamu ikut pramuka, kan? Ayah juga pengen agar kamu memanfaatkan waktu dengan baik, enggak menyia-nyiakan waktu untuk melakukan hal yang membuat kamu lalai ibadah. Mungkin dalam benak Ayah, daripada kamu nyanyi-nyanyi nggak jelas, jauh lebih baik kalau kamu baca Al-Qur'an."

Bimo mendengkus. "Ya kalau bandingannya selalu dengan ibadah sih, semua hobi juga bakal kelihatan buang-buang waktu," keluh Bimo. "Kan kadang aku butuh istirahat, Mas."

Mas Erwin menepuk-nepuk pundak Bimo.

"Kebetulan Mas emang enggak hobi, jadi buat Mas meninggalkan larangan itu bukan sesuatu yang berat. Mas cuma mandang ke Ayah. Ayah ingin anaknya enggak jadi penyanyi atau pemain musik. Ya Mas taat aja, karena Mas ingin menyenangkan orang tua. Toh permintaan Ayah juga bukan hal yang jelek, kan? Selama Mas bisa, ya Mas berusaha menjalankannya."

Bimo mengusap wajahnya. "Ya Bimo juga selama ini gitu, Mas. Waktu orang bilang suara Bimo bagus, bukan berarti Bimo lantas mau jadi penyanyi. Enggak tau kenapa, Bimo enggak kepikiran ke sana. Nggak ngerasa kayak itu bakal jadi profesi yang Bimo pilih, gitu. Bimo cuma seneng aja sesekali melakukannya. Gimana ya jelasinnya... mungkin kayak lagi perjalanan mudik terus pas lagi haus kebetulan ketemu Indomaret. Bawaannya seneng aja bisa mampir beli minuman. Jadi bukan berarti tiap ketemu Indomaret harus berhenti, gitu."

Mas Erwin tertawa kecil. "Ya udah Bim, mungkin harusnya dari awal kamu bilang kalau kamu dapat tugas dari sekolah, supaya Ayah enggak salah sangka. Kalau dari awal kamu bilang baik-baik, Mas pikir Ayah mau ngasih izin. Sebenarnya ini karena kamu ketahuan bolos ngajar kan, makanya Ayah jadi marah."

Bimo menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Jazakallah khoir Mas... tapi ini ya aku nggak bisa lanjut juga. Jadwalnya bentrok dengan jadwal ujian tahfiz. Hari Sabtu pagi aku ujian. Malamnya acara lomba."

"Kamu lomba di mana? Mau Mas antar? Kamu nyusul aja, abis ujian langsung ke sana."

Bimo menengadah penuh harap. "Yang bener, Mas?"

"Iya, gapapa. Tapi ntar kita naik motor ya, Mas nggak enak mau minjem mobil Ayah. Kamu juga harus ngomong dulu sama Ayah. Jangan kabur dari rumah, oke?"

Bimo cengar-cengir. "Iyaaa... insya Allah nanti Bimo ngomong sama Ayah."

"Nah, gitu dong. Jangan cemberut mulu, ntar gantengnya luntur hahaha..."

***


Bab Empat


***

Sejujurnya, Bimo takut pada Ayah.

Ayah itu orangnya pendiam, tapi kalau sudah bicara, suaranya menggelegar. Setiap memberi perintah atau melarang maunya harus langsung ditaati. Terutama masalah ibadah.

Malas-malasan waktu disuruh salat? Oh, rotan beraksi. Susah dibangunkan salat malam dan subuh? Bisa kena siram. Kebablasan salat wajib karena ketiduran? Diseret ke kamar mandi, kena kafaroh istigfar seribu kali, plus tambahan bacaan Al-Qur'an dan piket bersih-bersih di panti.

Sebenarnya semua masih dalam batas wajar. Cuma... entah kenapa selama ini Ayah lebih sering menasehati dan bersikap tegas pada Bimo. Jarang memuji pekerjaannya yang baik. Sementara Ayah tampak lebih sabar dan memberikan dukungan pada adik-adiknya Bimo yang perempuan.

Pada Mas Erwin? Bimo belum pernah melihat Ayah memarahinya. Mungkin karena Mas Erwin itu 12 tahun lebih tua dari Bimo dan sudah paham bagaimana cara berbicara dan bersikap di depan Ayah.

Yah, pokoknya... Bimo jadi agak iri pada saudara-saudaranya. Dia ingin Ayah senang padanya. Dia kan juga ingin disayang. Mungkin karena itulah, tiap kali Bimo mendengar suara keras dan menerima tatapan kecewa dari Ayah, rasanya seperti ditampar. Dia merasa seperti jadi anak yang gagal.

Oleh karena itu, ketika Bimo minta waktu bicara dengan Ayah selepas subuh, rasanya deg-degan setengah mati. Mereka bicara berdua saja, di teras atas mushola panti yang suasananya relatif sepi. Bimo menyuguhi Ayah teh manis dan pisang goreng. Dengan keringat dingin dan pembukaan yang tersendat, dia lalu mengemukakan pemikirannya.

"Bimo mohon sekali ini aja, Ayah... soalnya waktunya udah mepet. Kalau Bimo mengundurkan diri sekarang, belum ada penggantinya. Kalau bisa dipilih dengan cepat pun, mereka belum latihan sama sekali. Kasihan teman-teman yang lain, Ayah... mereka berharap ada yang bisa mewakili sekolah dengan baik di pentas seni ini. Mereka udah memberi amanat pada Bimo, Bimo ingin menunaikannya dengan baik," pinta Bimo.

"Bimo tetap akan ujian tahfiz dulu, baru setelah itu malamnya ikut lomba. Nanti Mas Erwin mengantar pakai motor."

Ayah menatap Bimo lekat-lekat, lalu menghela napas. "Kamu tahu, Nak, kenapa Ayah melarang kamu menyanyi?"

Bimo melirik Ayah dengan takut. "Kemarin... Mas Erwin cerita tentang... kakaknya Ayah," gumamnya. Ayah tidak langsung menimpali perkataan Bimo. Ayah tampak mendengarkan dengan sabar. Bimo lalu memutuskan untuk menumpahkan curahan hatinya.

"Sebenarnya selama ini... Bimo pikir Ayah melarang Bimo nyanyi atau main musik karena dosa, gitu... tapi, Bimo ngelihat anak rohis ada yang nyanyi juga kok, walau syairnya bernada dakwah. Ada juga yang cuma dengerin lagu aja, enggak ikut nyanyi. Ada yang main musik pas ada pesta nikahan doang. Makanya... Bimo merasa Ayah nggak adil udah melarang Bimo dengan keras."

Ayah lantas kelihatan agak prihatin. Lalu berdeham dan mengambil nada menjelaskan seperti biasa saat berceramah di depan umum. Tapi kali ini suaranya tenang, terasa lebih personal.

"Begini, Nak... untuk masalah agama, kamu jangan hanya melihat dan meniru pengamalannya orang lain. Si A kelihatannya soleh, lalu kamu ikutin semua perbuatannya begitu saja. Dalam beribadah, kamu harus punya ilmunya.

"Kalau kamu benar-benar ingin tahu apakah bernyanyi atau bermain musik itu dosa atau tidak, kamu harus mempelajari dalilnya. Ikuti pedoman yang sebenarnya dari Allah dan Rasul. Hukumnya bagaimana, apakah ada keringanan, mana yang boleh dan yang tidak. Baru kamu ambil keputusan sendiri, apa yang harus kamu perbuat. Jangan melihat pengamalan teman kamu dan menyimpulkan dari sana.

"Kenapa? Karena kepahaman dan kemampuan ibadah masing-masing orang itu berbeda.

"Pengamalan itu butuh proses. Ada yang begitu dapat hidayah bisa langsung mengamalkan—beruntung sekali! Ada yang hijrahnya sejengkal demi sejengkal, pelan-pelan mengubah diri dalam meninggalkan larangan Allah dan mengerjakan perintah-Nya. Karena kondisi pengamalan orang yang beragam seperti itulah, kamu nggak bisa meniru amalan seseorang begitu saja.

"Kamu harus pelajari ilmunya. Adapun setelah itu kamu lantas terseok-seok dalam mengamalkan... ada perintah yang kamu baru mampunya segini... ada larangan Allah yang rasanya sulit untuk kamu tinggalkan, atau entah bagaimana terpaksa kamu kerjakan... ya perbanyaklah istigfar. Kamu sadar bahwa kamu salah, toh? Jadi minta ampunlah pada Allah. Minta agar Allah melapangkan hati kamu dan memudahkan kamu dalam ketaatan.

"Jadi untuk masalah nyanyi dan main musik itu dosa atau tidak, sekarang ayo kita kaji ilmunya. Setelah itu coba kamu amalkan sesuai kemampuanmu. Kira-kira begitu, Nak," ujar Ayah menutup nasehatnya.

"Sedangkan untuk masalah salah pergaulan seperti yang telah terjadi pada pamanmu... yang dikatakan Mas Erwin itu memang benar. Ayah yakin kemarin masmu sudah memberikan arahan yang baik. Intinya Ayah tidak keberatan kamu punya teman dan kegiatan di luar sekolah, Nak. Ayah hanya ingin kamu memilih teman yang baik dan kegiatan yang bermanfaat. Kamu bisa mengerti, ya?"

Bimo menarik napas perlahan, lalu mengangguk. Tidak menyangka Ayah akan bicara panjang lebar seperti ini. Rasanya spesial. Bimo merasa begitu diperhatikan.

Barangkali... sebenarnya dari dulu Ayah justru lebih memerhatikannya daripada saudara-saudaranya. Hanya saja, kondisi dia atau ayahnya sedang emosional, sehingga pesan yang ingin disampaikan tidak diterima dengan maksimal.

Nafsu dan egonya membuat dia berprasangka buruk, mengira Ayah selalu kecewa dan mengkritiknya. Astagfirullahalazim...

"Mengenai lomba pentas seni pramuka kamu, Ayah tidak tahu kondisinya seperti itu. Kalau kamu yakin bisa mengatur waktunya, ya sudah lanjutkan saja."

Bimo perlahan tersenyum, memandang Ayah yang menatapnya penuh pengertian.

Hari pentas seni datang dengan cepat. Bimo sudah menyelesaikan ujian tahfiznya dengan sungguh-sungguh. Mas Erwin mengantar Bimo dan menonton acara lomba di dekat para kakak pembina. Masalah dengan Ayah sudah selesai, Bimo tidak lagi sembunyi-sembunyi.

Rasanya lega.

Dia mencurahkan semua dalam penampilannya malam itu. Menghayati dengan sepenuh hati. Suaranya merengkuh jauh ke luar panggung, menarik orang untuk mendekat. Menuturkan sebuah kisah yang menggetarkan bilik-bilik hati.

Malam sunyi senyap saat Bimo selesai menyanyi. Dari tempat para pembina, Kak Rosi memandangnya lamat-lamat dengan air mata di pipi, kemudian mengangkat dua jempol. Bimo tersenyum lebar dan memberi salam penutup. Panggung lalu meledak dengan riuh tepuk tangan dan teriakan penonton. Teman-teman seregunya memeluknya erat.

Bimo menarik napas puas. Tugas-tugasnya sudah terselesaikan dengan baik.

Seminggu setelah acara pentas seni itu, dia mentraktir semua anggota Regu Elang makan-makan.

***

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar