Rakata Writer's Gym Tema “Cantik”
=== ooo ===
Malam Jumat Bakti ketemu cewek cantik. Rambut panjang, senyum mengerling, dan yang terpenting kaki masih menjejak tanah dan punggungnya tidak bolong. Cewek itu ikut membeli sate di seberang kampus, tidak sengaja menyalip antrian dan mengambil pesanan Bakti.
"Maaf Mbak, tadi Abang ini udah mesen duluan," kata tukang sate.
"Oh, sori, aku nggak tahu." Si cewek memandangi tusuk sate yang sudah termakan setengah dengan tampang bersalah.
Sebenarnya Bakti tidak rela, tapi dia bisa membayangkan apa yang akan Darma katakan kalau tahu Bakti merebut sepiring sate dari cewek. Minimal kuliah tujuh menit tentang memuliakan wanita, menolong nenek-nenek menyeberang jalan, dan pakta perdamaian Amerika dan Korea Utara.
"Gapapa, kok. Aku pesen yang baru aja hehe...." Itu akan terdengar sangat meyakinkan kalau saja perutnya tidak berkokok seperti ayam jago mencari perhatian betina.
"Eh, kasihan itu si abang kelaperan, pasti abis nugas ya. Ini kita makan bareng aja, yuk. Ntar tinggal nambah kalau pesenan satunya udah jadi."
Bakti melongo. Makan sepiring berdua dengan cewek cantik di tenda temaram yang wangi bunga melati? Mimpi apa dia semalam?
"Ehm, nama kamu siapa?" tanya Bakti sebelum kepalanya keburu mengangguk. Just to make sure nama si mbaknya bukan Kunti atau Kanti.
"Aku Canthi."
Eh. Sebenarnya mirip Kanti, ya... tapi perut Bakti terlanjur mem-veto dan tiba-tiba saja dia sudah duduk di depan cewek itu, makan sate sambil lirik-lirikan.
Singkat cerita malam itu berlangsung dengan magis. Bakti jadi suka wangi melati, Canthi minta nomor teleponnya, dan karena Bakti menghabiskan gaji kerja sampingannya bulan ini dengan membelikan oleh-oleh sate untuk semua teman kos Canthi, si tukang sate sebentar lagi bakal naik haji.
Seminggu kemudian Darma menginterogasinya.
"Kamu pacaran, ya?"
Bakti berhenti meraup toples nastar di kamar Darma. "Kata siapa? Enggak, kok! Jadi orang tuh gak boleh terlalu husnudzon!"
Baru juga nelpon dan jalan tiap hari, sungut Bakti dalam hati. Walau optimis seperti capres saat pemilu, Bakti belum berani bilang apa-apa ke Canthi.
Darma berkacak pinggang. "Kamu tuh ya… udah bokek, ke mana-mana nebeng motor, ngabisin stok makanan sebulan, tiap pagi juga bokernya lama banget! Mana tiba-tiba sering cekikikan di kamar mandi, lagi."
"Astagfirullahaladziim! Kok kamu bisa ngambil kesimpulan akurat kayak gitu, sih, Ma? Fitnah itu lebih kejam dari sakit gigi!"
"Udah deh gosah banyak ngeles kek bajay. Satya udah ngebaca chat kamu sama Canthi."
Apaa?! Dasar bociiil! Awas ya kalau ketemu!
Akhirnya Bakti cuma bisa pasrah mendengarkan ceramah semalam suntuk tentang pacaran itu dosa, pentingnya menjaga pergaulan, dan mencairnya es di kutub utara karena pemanasan global. Untungnya toples nastar Darma masih sisa setengah dan Bakti tahu di mana Darma menyembunyikan kue kering sisa lebaran.
Besoknya Bakti masih bete, karena Darma cuma membawakan roti selai kacang sebagai bekal makan siang Bakti. Memangnya anak TK?! Bakti sedang kalap menjilati selai kacang yang menempel di kotak makan siangnya ketika tiba-tiba Canthi muncul dari balik semak-semak dengan baju putih-putih.
"Huaa! Setan eh setan...." Bakti berdeham supaya berhenti latah. Dia lantas mengatur jambul poninya dan memberikan senyum cemerlang. "Eh, ada kamu Canthi... bikin kaget aja hehe...."
Mereka pun mengobrol. Entah kenapa suasananya agak berbeda, membuat Bakti jadi sedikit deg-degan.
"Masa sih Abang belom punya pacar?" tanya Canthi sambil menggeser duduknya agak mendekat. Bakti mengelap keringat. Rasanya matahari siang itu lebih panas dari titik didih lilin. Bagaimana ini? Apakah ini kode keras dari Yang Maha Kuasa?
"Belom... soalnya selama ini belom ada cewek seperti kamu, Canthi." Bakti langsung meringis. Dasar begoo! Dia kesambet setan apa, sih? Cringe banget, deh!
Canthi tertawa kecil. "Ah, Abang bisa aja. Kalau adeknya Abang yang katanya jurusan Akuntansi itu gimana?"
"Darma?"
Canthi mengangguk sambil menyibakkan rambutnya. Parfum wangi melatinya menggelitik penciuman Bakti. Perasaan tidak enak mulai mengganggu.
"Emangnya kenapa?" tanya Bakti sedikit malas. Membahas tentang Darma pada cewek yang disukainya? Itu sama menariknya dengan menjelaskan anatomi kodok di lab waktu praktikum Biologi.
Canthi tersenyum, pipinya bersemu. "Ehm... dari cerita Abang selama ini, kayaknya dia orangnya asyik, ya?"
Bakti membeku. Napasnya tertahan di kerongkongan. "Kamu... naksir Darma?"
Wajah Canthi memerah kayak kelamaan disetrap di lapangan upacara. "Sebenernya udah lama aku merhatiin dia. Orangnya baik banget, tapi dia enggak banyak omong di luar urusan kampus. Kenapa sih dia tertutup gitu? Aku kan jadi segen. Apalagi kata orang dia selalu menolak cewek yang menembaknya. Abang mau nggak bantuin aku ngedeketin dia?"
Kretek... kretek... krakk... Sebuah simfoni patah hati menyayat bak orkestra terakhir Titanic sebelum tenggelam.
"—Bang? Abang kenapa? Kok pucet gitu, sih?"
Bakti terpaksa mencongkel suaranya dari tenggorokan. "Enggak. Enggak apa-apa. Tadi cuma keselek. Kamu... mau PDKT ke Darma?"
Dengan tidak tahu malu, Canthi mengangguk. Bakti menatapnya datar.
"Darma is not available."
"Hah? Maksudnya gimana?"
Siaaal... kenapa gue yang mesti ngejelasin, sih?! Dahlah asbun aja.
"Darma gak boleh pacaran sama Bunda. Dia udah dijodohin dari kecil. Kamu tahu kan? Kek sinetron gitu, dia harus ngebayar hutang keluarga. Begitu lulus dia bakal langsung dikawinin." Jiahh, kayak ayam aja dikawinin. "Makanya dia enggak pernah nerima cewek yang nembak dia."
"Oh..." Canthi berkaca-kaca. Bakti semakin sebal melihatnya. Dia lalu segera pamit sebelum wangi melati menempel di baju dan orang mengiranya baru balik dari ziarah kubur.
Begitu pulang kuliah sore itu, Bakti menyikat stok kue kering yang disimpan Darma di lemari sebagai pelampiasan. Untungnya anak itu masak opor ayam karena disuruh Bunda menyiapkan makan malam, jadi Bakti makan dengan senang hati dan batal uring-uringan. Dia hampir sukses melupakan derita lara hidup ini ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Darma yang kebetulan berada di samping ponsel itu lalu memanggil.
“Telpon dari Canthi, nih,” katanya dengan pandangan menuduh. "Bukannya kemaren udah aku nasehatin? Kenapa kamu masih berhubungan sama dia—"
"Eh, bawel! Matiin aja telponnya. Henpon kamu mana? Sini aku pinjem bentar."
Darma menyerahkan dan mengintip saat Bakti mengotak-atik ponselnya. "Lagi ngapain, sih?"
Bakti mengembalikan ponsel itu. "Bilang makasih dulu."
Darma masih kelihatan bingung, tapi dia menurut. "Makasih ya, Ti."
"Sama-sama." Bakti lalu menggeletak di kasur.
"Wait, kok enggak dijelasin? Emangnya kamu abis ngapain?"
"Ngeblokir nomornya Canthi, menangkal kuntilanak, dan menyelamatkan kamu dari hidup yang penuh dosa. Dah ah jangan berisik! Aku mau bobo!"
Malam itu malam Jumat. Sayangnya Bakti tidak bisa tidur karena kamarnya bau melati.
[ SELESAI ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar