Halaman

Minggu, 12 Juni 2022

Baju Lebaran

Baju Lebaran

Bunda membeli baju setahun sekali, yaitu saat mau Lebaran. Bukan berebutan pas malam takbiran, melainkan sebulan sebelum puasa. Bunda akan mengecek kebutuhan baju Darma dan Satya, lalu membelinya sekaligus. Setelah itu ya sudah. Kalau ada baju mereka yang kekecilan, robek, modelnya jadul, dan segala macam keluhan lainnya, mereka harus tahan sampai waktunya membeli baju di tahun berikutnya.

Bunda juga mengajari mereka menjahit. Kalau ada bajunya yang robek atau rusak, Darma akan berusaha memperbaikinya dulu. Dengan itu dia bisa berhemat. Jarang sekali Darma benar-benar mendadak harus membeli baju di luar “jadwal” yang ditentukan.

Salah seorang teman Darma pernah mengejeknya karena memakai baju yang modelnya itu-itu saja, tapi Darma mencoba mengabaikannya. Yang penting kan selama ini dia sudah berusaha tampil rapi dan sopan.

Lagipula, Satya jauh lebih berhak mengeluh karena akan mewarisi baju-bajunya. Darma berusaha menjaga agar bajunya masih layak dipakai ketika lungsur ke Satya. Walaupun begitu bukan berarti Satya tidak pernah memakai baju baru. Bunda tetap membelikan baju model terbaru untuk Satya, atau Satya yang akan meminta sesuai seleranya, saat waktunya belanja baju tahunan.

Sejak SMP, Darma berusaha tidak minta apa-apa ke Bunda dan membeli kebutuhan bajunya dengan tabungan sendiri. Memang sih, dia tidak bisa beli baju terlalu mahal karena tabungannya terbatas. Tapi tidak apa-apa, karena begitu pun rasanya sudah cukup.

Lalu saat masuk SMA dan Bakti kerja sampingan untuk punya uang sendiri, Bakti mulai membelikan Darma baju.

Saat dulu Darma bolak-balik ke rumah Bakti untuk mengurus keperluan Bakti selama di panti rehab, Darma sudah melihat koleksi bajunya Bakti di lemari. Bakti itu ... koleksi bajunya bagus-bagus, baik model mupun kualitas bahannya. Kebanyakan bajunya bermerk. Sepertinya almarhumah ibunya Bakti terbiasa membelikan baju Bakti mengikuti trend terkini.

Menurut Darma, penampilan Bakti itu terlihat modis. Atau mungkin, body dan wajahnya Bakti juga mendukung, sehingga dia kelihatan keren. FYI, kalau tidak melihat bekas luka di badannya, kulitnya Bakti terbilang bersih, walau tidak pakai skincare.

Kadang, kalau rasa mindernya lagi kumat, Darma merasa seperti rakyat jelata saat jalan bareng dengan Bakti. Seperti orang pribumi yang jadi pelayan tuan muda dari mana, gitu. Soalnya kulit Darma terbakar matahari karena sering beraktivitas di luar saat latihan pramuka.

Kalau dipikir-pikir, dia itu sudah berkulit cokelat, pakai kacamata, model bajunya sederhana, lagi. Bila berjalan bersebelahan dengan Bakti, rasanya penampilannya kebanting. Dia benar-benar tidak habis pikir kenapa cewek-cewek itu malah menjadi anggota fans club-nya. Seharusnya mereka menjadi fans club Bakti. Dibandingkan dengan Bakti, Darma merasa kelihatan seperti orang cupu.

Yah ... itu perasaannya saja, sih. Darma tidak pernah bilang siapa-siapa, karena merasa memperhatikan penampilan untuk menilai seseorang itu dangkal banget. Sejujurnya, dia juga tidak terlalu memikirkannya kalau rasa mindernya tidak sedang lewat.

Namun, saat pertama kali Bakti membelikan Darma baju, rasa minder itu mampir lagi.

Bahan bajunya bagus, harganya mahal menurut kantong Darma. Cuma sepotong kaos dengan model sederhana, tapi entah kenapa kelihatan berkelas, gitu. Darma sempat berpikir negatif. Apa dia benar-benar kelihatan jelek sampai Bakti merasa malu jalan dengannya? Apa Bakti membelikan Darma baju bagus supaya bisa mendongkrak penampilannya dan enggak kelihatan malu-maluin?

Tentu saja, Darma tidak mengatakan apa yang dia pikirkan. Itu hanya pemikiran sekilas yang pupus setelah dia melihat Bakti memberinya hadiah baju itu sambil cengar-cengir tidak jelas, seolah justru Baktilah yang menerima hadiah ulang tahun. Darma tersenyum melihatnya, lalu mengucap terima kasih dengan sungguh-sungguh. Bakti tersenyum puas. Episode insecure-nya Darma pun selesai dengan sendirinya.

Di waktu lain, Darma bertanya kenapa Bakti sering membelikannya baju. Bakti hanya mengedikkan bahu, seolah menjelaskan kenapa langit itu biru.

"Kamu kelihatan senang waktu nerima hadiah," jawabnya simpel. "Apa kamu enggak pengen bikin adikmu senang?"

Darma membayangkan Satya yang besemangat setiap kali membongkar hadiah dari Darma, lalu mengakui bahwa dia memang senang melihatnya.

Bakti senang karena Darma senang, Darma juga senang karena Bakti senang. Jadi pas.

Darma sering memakai baju-baju pemberian Bakti. Soalnya setiap kali Bakti melihat Darma memakai baju pemberiannya, Bakti kelihatan senang sekali.

Kadang mereka janjian. Bakti menyuruh Darma memakai baju tertentu, karena dia juga mau memakai baju yang serupa.

Ada salah satu kaos hitam milik Bakti dengan tulisan “Best” di depannya, bergambar Winnie the Pooh. Sedangkan kaos hitam yang dia berikan untuk Darma bergambar gentong madu dengan tulisan “Friend”.

Best Friend.

Darma terbahak ketika pertama kali melihatnya, apalagi saat Satya merajuk dan minta dibelikan baju juga. Bakti membelikan Satya baju bergambar pohon dan bertuliskan “Forever”.

Best Friend Forever.

Satya terkikik ketika menyadarinya.

Itu adalah baju favorit yang paling sering mereka pakai. Antusiasme Bakti saat meminta Darma memakai baju itu membuat Darma tersenyum geli, sehingga dia tidak keberatan memenuhi permintaan Bakti.

Seperti Bakti yang ingin menyenangkan adik-adiknya, Darma juga ingin membuat abangnya senang.


Setelah naik ke kelas 11 SMA, Darma menyadari sesuatu.

Sebenarnya, sudah lama Darma juga ingin membelikan baju untuk Bakti. Tapi ... dia merasa tidak jago dalam hal fashion. Lalu, dia tidak tahu apakah Bakti akan suka atau tidak dengan modelnya. Bakal cocok dipakai Bakti atau tidak. Kan tidak lucu kalau dia membelikan baju yang jelek dan Bakti terpaksa memakainya.

Kemudian, dia juga tidak ada uang untuk membeli baju bermerk. Oke, yang terakhir itu bisa dia usahakan. Karena kesibukannya di rumah, di sekolah, dan di pramuka, dia memang belum bisa kerja sampingan seperti Bakti. Dia bisa menabung dari uang sakunya, tapi kalau sudah terlanjur beli mahal-mahal dan ternyata pas dipakai tidak cocok, gimana dong?

But ... life is about taking risks, right? Jadi Darma membulatkan tekad.

Dia bermaksud membelikan Bakti baju koko untuk Lebaran. Bakti belum punya baju koko, jadi sepertinya pas.

Malam itu Darma lalu menyempatkan diri melihat-lihat model baju di toko online. Sebenarnya itu adalah toko langganan Bunda di Cipadu, tapi sekarang mereka buka toko online juga untuk memudahkan pembeli. Saat itu dia baru melihat-lihat saja, sih, belum benar-benar mencari untuk membeli. Dia mau lihat harganya dulu, sekaligus cuci mata siapa tahu ada baju yang menarik untuk dia pakai sendiri.

"Kakak mau beli baju koko?" tanya Satya waktu melihat Darma browsing toko itu di ponsel. Mereka sedang tiduran santai di kamar Satya. Malam Senin, sudah selesai makan malam dan berberes. Setelah mengerjakan PR dan tugas, Satya berbaring telungkup di sebelah Darma, sibuk main Tetris di ponsel.

"Ehm ... enggak," gumam Darma mengelak. Entah kenapa dia merasa malu untuk bilang ke adiknya. Mungkin karena dia sadar duitnya hanya tak seberapa. Darma menyuruh Satya menutup ponsel dan bersiap-siap tidur, lalu beranjak keluar.

Darma pindah ke kamar sendiri dan melanjutkan browsing toko baju itu. Tadi pas ditegur Satya, Darma sempat melihat baju koko yang modelnya bagus. Warnanya hitam. Darma ingin membelinya untuk diri sendiri, karena dia belum punya. Kadang dia ingin pakai baju koko hitam untuk melayat. Sebenarnya, dia sudah punya kemeja hitam tangan panjang untuk berbagai keperluan, tapi dia merasa kelihatan seperti sales penjaga toko atau kayak anak magang salah alamat tiap kali memakainya.

Namun, saat megecek kembali harga baju koko yang ditaksirnya, Darma tahu bahwa dia tidak akan membelinya. Dia tidak mampu membeli baju tersebut untuk dirinya sendiri, kalau dia masih mau membeli hadiah baju untuk Bakti. Duitnya kurang untuk membeli dua baju sekaligus. Dia sudah menabung beberapa lama, tapi kemarin sempat terpakai untuk kegiatan pramuka di sekolah Satya. Darma segera menabung kembali, tapi jumlahnya memang baru sedikit. Itu pun dia sudah berhemat mati-matian.

Dia tidak jajan sama sekali. Ke sekolah naik sepeda. Dia membawa makanan dari rumah, seadanya lauk di atas meja makan saja. Seringnya sih nasi goreng. Kalau tidak ada, dia akan memasak lauk berupa sayuran, telur, atau tahu tempe. Itu pun jatah makannya dia bagi dua dengan Bakti—dia berusaha agar mereka selalu makan siang bersama. Soalnya kalau dibiarkan makan sendiri, Bakti itu kadang jajan sembarangan dan kurang gizi.

Suatu hari salah satu teman sekelasnya berkomentar saat melihat Darma makan bersama Bakti.

"Kok kalian cuma makan sayur?"

Darma memperhatikan gado-gado yang dibuatnya sebagai variasi menu hari ini. Bakti sepertinya tidak peduli, tapi Darma teringat perkataan Pak Ihsan saat menegurnya dengan keras tentang kewajiban menjadi wali.

“Sebagai wali kamu tidak hanya memberikan keamanan dan perlindungan baginya. Tidak hanya bertanggung jawab atas pendidikan dan kesejahteraannya. Kamu harus memastikan dia punya makanan dan pakaian yang cukup. Kamu harus menjaga martabat, kehormatan, dan kemuliaannya.”

Perih merayap di dada Darma saat memandangi sayuran di hadapan Bakti. Walau Bakti sudah keluar rehab, Darma masih bertanggung jawab atasnya sebagai wali, bukan? Darma cuma bisa meminta maaf di dalam hati dan berjanji besok akan membeli dan memasak ayam atau daging untuk Bakti, walau lusanya Darma harus puasa karena kehabisan uang.

So anyway, kembali ke kamarnya Darma.

Jadi ... baju koko hitam itu cuma keinginan Darma semata. Dia lebih memprioritaskan membeli baju kokonya Bakti.

Akhirnya Darma menemukan model yang bagus untuk Bakti. Tabungannya langsung habis, tapi dia senang sudah bisa membelinya. Darma memberikan baju itu pada Bakti sebelum puasa.

Bakti terdiam ketika menerimanya. Darma sempat ketar-ketir takut Bakti tidak suka, tapi sebuah senyum lalu terbit di wajah Bakti, makin lama makin cerah. Darma lantas berpaling, benar-benar merasa malu. Hanya dengan pemberian yang sederhana, ternyata Bakti bisa sampai sesenang itu.

Bakti memakai baju kokonya untuk Tarawih setiap hari selama Ramadhan, sampai Darma harus memaksanya menyerahkan baju itu untuk dicuci setidaknya seminggu sekali karena bau keringat.

Melihat itu, akhirnya Bunda memberitahu bahwa Bunda akan membelikan mereka semua baju koko. Buat Satya, Darma, Bakti, dan Ayah. Semuanya matching, karena pas lebaran mereka mau foto keluarga. Satya memberitahu Bunda model yang waktu itu dilihat Darma, tapi Bunda tidak mau baju koko mereka hitam semua.

Rupanya Bakti mendengarnya. Dia lalu kasak-kusuk di kamar Satya dan melarang Darma masuk. Dua hari kemudian baju koko hitam itu tiba lewat kurir paket untuk Darma.

Bakti berada di samping Darma ketika Darma menerimanya. Dia cengar-cengir tidak keruan ketika Darma mengucap terima kasih. Satya nongol di pintu ketika Darma mencobanya, dan berkomentar bahwa Darma terlihat seperti bapak-bapak yang mau melayat. Darma tidak bisa menahan tawa.

Saat Lebaran tiba, Bakti ikut salat bersama mereka. Mereka bersalaman dengan banyak orang di tempat salat, lalu pulang ke rumah. Darma dan Satya bergantian sungkeman pada Ayah dan Bunda, lalu Bakti ikut menyalami Ayah.

"Semoga Allah selalu menjagamu, Nak," ucap Ayah mendoakan, mengelus kepala Bakti. Satya sungkeman pada Darma, lalu Darma menghampiri Bakti.

"Maafin kesalahanku ya Ti," pinta Darma sembari mencium tangannya. Bakti terpana, tampak kaget setengah mati dan tak menyangka Darma akan menuakannya juga.

"Berasa jadi kakek-kakek," gumam Bakti.

"Kakek Bakti," ujar Satya sambil nyengir. Dia juga mencium tangan Bakti.

Bakti melotot. "Ini si bocil belom minta maaf udah bikin kesalahan lagi."

Satya tertawa. "Maafin aku ya Kak. Jangan lupa angpaunya."

Bakti menjitaknya, lalu memberinya amplop.

Mereka lalu makan ketupat. Bakti balapan dengan Satya menghabiskan lauk. Darma sampai harus memotongkan tambahan ketupat.

"Awas kuahnya kena baju kamu," ujar Darma mengingatkan Satya.

"Aku udah kenyang," keluh Satya tidak bergerak.

"Eh, kita belom foto, lho." Bunda lalu mengambil ponsel. "Foto di depan rumah aja, ya?"

Mereka lalu berbaris di depan garasi, meminta satpam memfotokan mereka.

"Satu ... dua ... tiga!"

Cekrek!

Semua tersenyum.

Lebaran berakhir dengan menyenangkan. Darma mencetak foto tersebut dan memperbesarnya, kemudian memberinya pigura. Foto itu lantas menjadi foto keluarga favorit mereka, tergantung di ruang makan untuk jangka waktu yang sangat lama.


FIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar