Surat Cinta
Sebenarnya ini sudah kejadian dari dulu. Bahkan sejak Darma kelas 1 SMP. Sekarang, melihat ke belakang, dia tidak habis pikir. Kok bisa-bisanya anak-anak cewek di SMP-nya berpikir sejauh itu. Darma sendiri bisa dibilang masih culun.
Pertama kali mendapat surat cinta, dia masih berumur 13 tahun. Belum tertarik sama cewek, apalagi cewek yang menggaet lengan dan menyeretnya ke balik pohon rindang di belakang kantin sekolah.
"Mungkin itu kutukan, Ma. Sudah qadar nasibmu dikejar grup stalker yang agresif," sahut Bakti setengah tertawa ketika Darma curhat suatu sore, tapi dia ada benarnya.
Bunda mendidiknya untuk berlaku lemah lembut pada cewek, makanya dia bingung apa yang harus dilakukan saat itu. Kalau ada cowok yang mencengkeram lengan dan menyeretnya, dia tahu harus melawan. Biar cuma basic Taekwondo, yang penting berusaha. Tapi kalau cewek pelakunya?
Darma meringis saat cewek itu dengan semangatnya mendorong sampai punggungnya membentur batang pohon beringin. Angin bertiup semilir dan daun berguguran, buat si cewek mungkin terasa romantis. Buat Darma? Dia membelalak saat melihat ada ulat bulu yang jatuh ke pundak cewek itu.
Sampai di sini Bakti tertawa ngakak. Darma menimpuknya dengan bantal, tapi anak itu malah jatuh terguling dan cekikikan di lantai kamarnya Darma.
So anyway. Where was he--oh, yeah. Si ulat bulu. Darma menatap cewek itu dengan horor, ingin membantu menepis si ulat yang menggeliat, tapi takut disalahartikan sebagai tindakan yang tidak sopan. Nanti dipikir dia membelai rambut dan pundak cewek itu lagi? Selain itu, Bunda melarang keras, dia tidak boleh menyentuh cewek.
Jadi Darma memalingkan pandangan dengan wajah panas, berharap semoga tidak ada ulat bulu yang jatuh ke kepalanya. Dia mencuri pandang ke atas, mengawasi ulat-ulat lain yang bergelantungan sambil melambai tertiup angin, tidak mendengarkan sesi perkenalan cewek kelas sebelah yang lumayan panjang kali lebar itu.
"Darma, udah lama aku ingin bilang tentang perasaanku. Semoga kamu menerimanya," kata cewek itu penuh harap. Cewek itu menyerahkan surat beramplop merah jambu sembari setengah menunduk malu seperti di film anime--tunggu, waktu itu Darma belum wibu seperti sekarang--di kolong tempat tidur, Bakti ngakak lagi--petualangannya mengarungi dunia jejepangan baru mulai saat dia kelas 2 SMP.
Yah, pokoknya Darma cuma berdiri mematung, dan dengan klise adegan ditutup oleh bel masuk tanda jam istirahat sudah habis. Saved by the bell! Darma tidak ingat dia bilang apa ke cewek itu, yang jelas dia terbirit-birit lari ke kelas sambil meremas surat itu. Di depan kelas dia baru sadar orang-orang bisa melihat dia membawa-bawa amplop merah jambu, jadi dia langsung memasukkannya ke kantong celana, di mana surat itu remuk dan hampir tertukar dengan uang dua ribuan belel saat dia mau membayar ongkos pulang naik angkot (dia diketawain seisi penumpang angkot).
Di rumah, dia menghadap Bunda dan bercerita dengan takut, seperti maling yang mengaku mengambil kaos kutang di jemuran orang.
Bunda cuma tersenyum dan meminta surat itu. Mereka lalu membacanya bersama. Darma bengong membaca janji setia si cewek ulat bulu padanya--kok bisa sih cewek ini sudah berani janji akan bersama sehidup semati dengan Darma?
"A-aku mesti gimana, Bun?"
Bunda tersenyum bak sang dewi--oh ya, Bunda adalah idola Darma sejak kecil. Dia akan melakukan apa pun untuk Bunda.
"Kembalikan saja suratnya, bilang maaf kamu tidak bisa menjadi pacar cewek itu. Kalau ditanya kenapa, bilang aja kamu mau fokus sekolah dulu."
Tentu saja, sesi pengakuan malam itu membuat Bunda mengulang kembali nasehatnya tentang pergaulan antara laki-laki dan perempuan, lengkap dengan bahaya pacaran. Darma sudah hapal isinya sejak awal kelas 6 SD, walau tidak satupun dalilnya keluar di ujian akhir kelulusan.
Keesokan harinya, Darma mendatangi cewek itu ke kelasnya. Anak-anak seisi kelas ribut, pada kepo ingin mendengar pembicaraan Darma dan si cewek Ulat Bulu (sampai sekarang Darma tidak ingat namanya). Kali ini mereka bicara di pojok perpustakaan. Darma tidak tega melihat wajah kecewa cewek itu, jadi dia menunduk memerhatikan ubin perpustakaan yang sudah mulai retak.
Terus terang dia juga sudah tidak ingat apa yang dia katakan. Rasanya grogi seperti pas dipanggil ustadz untuk ujian hapalan surat. Kayaknya dia sudah berhasil bilang aku, kamu, tak bisa bersatu (atau sejenisnya--dibilang lupa enggak percaya amat sih). Yang jelas cewek itu menghambur keluar perpus sambil menangis dengan air mata berlinang--Darma sampai megap-megap waktu dipanggil dan dimarahi penjaga perpustakaan karena menimbulkan keributan.
Mulai saat itu dia tidak pernah lagi melakukan sesi penolakan surat cinta di perpus. Spot yang disukainya adalah di depan musala sekolah di jam istirahat pertama, karena setelah menolak dia bisa langsung kabur dengan alasan mau salat Duha. Kalau beruntung, bakal ada anak rohis yang membantu dia melarikan diri.
Oh ya, setelah si cewek Ulat Bulu itu ditolak, bukannya berkurang pemberi surat cintanya malah bertambah. Mungkin mau mencoba peruntungan, kayak gacha Super Special Rare--Bakti meraung geli mendengarnya. Kalau suratnya ditemukan di meja atau di loker, dia bisa langsung membuangnya. Tapi kebanyakan diberikan secara pribadi, dia yang tadinya merasa sangat bersalah setiap membuat cewek menangis akhirnya sampai kebal. Padahal itu baru selang tiga bulan.
And then… puberty hit and everything got so much more difficult.
"Wait, ceritain waktu kamu pertama balegh dong," sahut Bakti menginterupsi sambil menaik-turunkan alis dan tersenyum nakal. Darma mengabaikannya.
Darma mulai tertarik pada cewek. Menolak cewek saat dia bengong mengagumi paras bening, senyum misterius, dan wangi bunga (oke, dia tahu itu cuma parfum, but still) itu… susah. Dia pernah kepeleset salah omong dan membuat cewek itu tertawa--telinga Darma sampai berdenging. Kayaknya cewek-cewek ini tidak menyadari pengaruh perubahan fisiknya pada cowok. Cowok itu gampang sekali ke-trigger oleh suara, wangi, dan bentuk yang… ah, you know lah.
Di ujung tempat tidur, Bakti mengangguk-angguk mengamini sambil berusaha mengosongkan toples kue nastar.
Nah, masalah surat-suratan ini lebih pelik lagi saat Valentine. Dia diteror dari detik pertama dia sampai di sekolah sampai detik terakhir pulang sekolah. Rasanya ingin bolos saja, tapi dia takut dimarahi Bunda. Ke UKS? Cewek-cewek bar-bar itu mengejarnya ke sana!
Dia dipepet ke pojok ruangan dan terpaksa menerima setumpuk cokelat dan surat. Mereka bergerombol dan bicara dekat sekali--ada yang sok akrab sampai menepuk pundak. Wangi sampo serta rambut halus yang menggelitik sisi wajah Darma membuat lututnya lemas dan kepala mendadak pening.
Untung sejak kelas 1 SMA ada Bakti, bodyguard yang kalau Valentine selalu stand by menempel di sisinya kayak nasi benyek yang lengket--"Woi! Gak ada perumpamaan yang lebih bagus apa?!" Bakti protes dengan mulut celemotan nastar.
Secara default muka Bakti itu kayak orang yang siap ngegampar orang--Oke, kali ini Bakti kelihatan bingung apa sebaiknya dia tersinggung atau tersanjung dengan deskripsi itu. Walau masih ada saja cewek yang nekat memberi surat, tidak ada cewek yang berani sok kenal sok dekat sambil memegang-megang Darma. Kadang kalau cewek-cewek itu sudah keterlaluan, Bakti merebut surat dan membacakannya keras-keras di depan seisi penghuni kantin. Kadang ada juga sih cewek yang setelah itu balas dendam, tapi Bakti bisa menjaga dirinya sendiri.
Sejak Darma Fans Club alias DFC resmi berdiri di semester satu Darma berkuliah, kegiatan cewek-cewek stalker ini lebih terorganisir. Taruna--yang entah bagaimana sukses menyusup ke barisan DFC garis keras--mengumpulkan dan membagikan semua cokelat untuk Darma ke cowok-cowok jones yang belum beruntung tak menerima cokelat Valentine. Dia juga menyortir semua surat untuk Darma.
Kadang kalau baiknya lagi kumat, dia membantu Darma membalas surat-surat tersebut dengan penolakan halus. Tapi kalau isengnya lagi kambuh, dia akan membacakan surat-surat itu satu per satu, lengkap dengan suara cewek yang mengirimnya (semua setuju voice actingnya layak mendapat Grammy award), di depan anak-anak pramuka yang lagi nongkrong di ruang UKM Pramuka kampus mereka.
Suatu insiden hampir terjadi saat Taruna membacakan surat cewek yang Bakti sukai, tapi itu cerita untuk lain waktu. Saat dipaksa main Truth or Dare Darma mesti melakukan Dare demi tidak menyebut nama cewek yang dia dan Bakti sama-sama sukai? Oh yeah, someday dia juga akan cerita tentang itu.
Yang jelas sekarang dia sedang repot membereskan toples nastar yang berantakan di atas kasur karena ditinggal tidur dan tertendang oleh Bakti. Akhirnya dia memandangi sahabatnya yang asyik ngiler di bantal, berdecak kesal, lalu mengambil ponsel dan mengirimkan foto Bakti ke grup pramuka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar