Saka
Oleh: Caritra Sari
***
Bab Satu
Kalau Saja Aku Bisa Menyelamatkanmu Sebagaimana Kamu Menyelamatkanku
***
Tahun keenam Saka di sekolah dasar rasanya begitu berat.
Persis sebelum ujian kenaikan kelas 6 Saka kecelakaan. Pemulihannya cukup lama sehingga dia tidak bisa ikut ujian, jadi dia terpaksa mengulang kelas 5. Temannya yang lama kini bergaul dengan sesama kelas 6, sibuk dengan persiapan ujian kelulusan.
Saka sudah bukan bagian dari mereka lagi, sedangkan teman sekelas yang baru segan mengobrol dengannya. Sebagian menyangka dia murid idiot atau bermasalah, sehingga harus dihindari.
Anak ekskul PMR memang masih menyapanya, tapi latihan PMR kan hanya seminggu sekali. Tidak punya teman dekat, sehari-hari Saka merasa terasing. Tidak ada yang mau duduk di sebelah Saka, saat istirahat dan makan siang dia selalu sendiri.
Di rumah sudah sepi, di sekolah juga sepi.
Kalau saja Saka tidak punya biola untuk melampiaskan rasa frustasinya, mungkin dia bisa gila.
***
Pagi itu ada murid pindahan dari SD Pembangunan Jaya, sekolah swasta bergengsi di Bintaro. Namanya Badai. Bu Guru menyuruhnya duduk di samping Saka.
Anak ekskul PMR memang masih menyapanya, tapi latihan PMR kan hanya seminggu sekali. Tidak punya teman dekat, sehari-hari Saka merasa terasing. Tidak ada yang mau duduk di sebelah Saka, saat istirahat dan makan siang dia selalu sendiri.
Di rumah sudah sepi, di sekolah juga sepi.
Kalau saja Saka tidak punya biola untuk melampiaskan rasa frustasinya, mungkin dia bisa gila.
***
Pagi itu ada murid pindahan dari SD Pembangunan Jaya, sekolah swasta bergengsi di Bintaro. Namanya Badai. Bu Guru menyuruhnya duduk di samping Saka.
Anaknya easy going dan murah senyum, tubuhnya tinggi kekar dan suaranya nge-bass. Waktu berkenalan, Saka kaget karena Badai sudah berusia 13 tahun, padahal baru kelas lima.
"Waktu kecil aku tinggal di rumah Papa di New Zealand. Setelah pindah ke Jakarta aku baru masuk SD, saat umurku 8 tahun," jawabnya sambil tertawa.
"Waktu kecil aku tinggal di rumah Papa di New Zealand. Setelah pindah ke Jakarta aku baru masuk SD, saat umurku 8 tahun," jawabnya sambil tertawa.
Tentu saja dia tidak mempermasalahkan Saka yang harus mengulang kelas lima karena kecelakaan dan tidak bisa ikut ujian.
Dengan cepat mereka bersahabat. Badai anak yang pintar, nilainya rata-rata di atas Saka. Dia senang belajar bersama Saka, sama sekali tidak keberatan bila Saka bertanya dan minta diajari.
Dengan cepat mereka bersahabat. Badai anak yang pintar, nilainya rata-rata di atas Saka. Dia senang belajar bersama Saka, sama sekali tidak keberatan bila Saka bertanya dan minta diajari.
Mereka selalu makan siang bersama dan nyambung kalau ngobrol. Badai orangnya perhatian. Dia suka mengirim pesan pribadi ke Saka, baik itu berisi tebak-tebakan, meme, atau sekadar menemaninya belajar di malam hari. Hari-hari sepi Saka pun berakhir.
Badai ikut ekskul Basket dan saat istirahat lebih sering main di lapangan, tapi sepulang sekolah kadang dia suka nimbrung saat Saka ikut kegiatan PMR. Dia anak tunggal, jadi di rumah tidak banyak kegiatan.
Badai ikut ekskul Basket dan saat istirahat lebih sering main di lapangan, tapi sepulang sekolah kadang dia suka nimbrung saat Saka ikut kegiatan PMR. Dia anak tunggal, jadi di rumah tidak banyak kegiatan.
Dia pernah iseng mendatangi Saka saat les biola dan piano. Dia mengaku tidak jago main musik, tapi dia suka bernyanyi. Dia juga beberapa kali main ke rumah Saka, sempat bertemu Kak Melia dan Mami.
Saka tidak mengira mempunyai teman dekat bisa membuatnya sebahagia ini. Selama ada sahabat yang mendukung, rumahnya yang selalu sepi dan jadwal kegiatannya yang seabrek tidak lagi membuat dadanya sesak.
Saka tidak mengira mempunyai teman dekat bisa membuatnya sebahagia ini. Selama ada sahabat yang mendukung, rumahnya yang selalu sepi dan jadwal kegiatannya yang seabrek tidak lagi membuat dadanya sesak.
Saka merasa amat bersyukur memiliki sahabat seperti Badai. Rasanya hidup Saka sekarang sudah sempurna.
Tentu saja, tidak ada yang abadi di dunia ini.
Dua bulan sebelum ujian kenaikan kelas enam, Badai sering terlihat melamun. Saka mencoba bertanya, barangkali ada yang dapat dia bantu, tapi Badai hanya tersenyum tipis dan menggeleng.
"Tetap jadi sahabatku aja, Sak. Itu udah amat membantu."
Setelah ujian selesai Badai menginap di rumah Saka. Itu pertama kalinya Mami mengizinkan Saka bermain online game--mereka main menjadi kru bajak laut. Tengah malam Saka terbangun.
Kamarnya gelap, hanya ada cahaya lampu taman yang masuk lewat sela-sela tirai jendela yang terbuka. Di luar hujan turun deras. Aroma tanah yang segar menemani udara dingin malam itu.
Badai duduk di atas kasur gulung di samping jendela, memeluk lutut dan bersandar pada tempat tidur Saka. Ponselnya tergeletak di dekat kaki. Pandangannya terpaku pada lampu taman, alisnya berkerut, air mata mengalir seperti hujan yang sunyi.
Saka lalu duduk di sampingnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia harus bilang apa?
"Dai?" panggil Saka akhirnya. "Kamu kenapa?"
Badai tidak menjawabnya, lama. Saka hanya diam menemani, hampir tertidur ketika Badai menjawab dengan suara serak.
"Orang tuaku bercerai, Sak. Papa mau balik ke New Zealand."
***
Saka tidak bertemu Badai selama liburan kenaikan kelas. Percakapan mereka di chat juga tersendat. Saka amat khawatir. Dia tahu Badai sangat mencintai papanya, tapi kini papanya tega meninggalkan dia dan mamanya.
Tentu saja, tidak ada yang abadi di dunia ini.
Dua bulan sebelum ujian kenaikan kelas enam, Badai sering terlihat melamun. Saka mencoba bertanya, barangkali ada yang dapat dia bantu, tapi Badai hanya tersenyum tipis dan menggeleng.
"Tetap jadi sahabatku aja, Sak. Itu udah amat membantu."
Setelah ujian selesai Badai menginap di rumah Saka. Itu pertama kalinya Mami mengizinkan Saka bermain online game--mereka main menjadi kru bajak laut. Tengah malam Saka terbangun.
Kamarnya gelap, hanya ada cahaya lampu taman yang masuk lewat sela-sela tirai jendela yang terbuka. Di luar hujan turun deras. Aroma tanah yang segar menemani udara dingin malam itu.
Badai duduk di atas kasur gulung di samping jendela, memeluk lutut dan bersandar pada tempat tidur Saka. Ponselnya tergeletak di dekat kaki. Pandangannya terpaku pada lampu taman, alisnya berkerut, air mata mengalir seperti hujan yang sunyi.
Saka lalu duduk di sampingnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia harus bilang apa?
"Dai?" panggil Saka akhirnya. "Kamu kenapa?"
Badai tidak menjawabnya, lama. Saka hanya diam menemani, hampir tertidur ketika Badai menjawab dengan suara serak.
"Orang tuaku bercerai, Sak. Papa mau balik ke New Zealand."
***
Saka tidak bertemu Badai selama liburan kenaikan kelas. Percakapan mereka di chat juga tersendat. Saka amat khawatir. Dia tahu Badai sangat mencintai papanya, tapi kini papanya tega meninggalkan dia dan mamanya.
Badai sering mengelak saat dia tanyakan kabar, termasuk ketika Saka meneleponnya. Tak jarang telepon dari Saka tak terangkat.
Kelas enam mereka sekelas lagi. Badai memilih tempat duduk di pojok belakang kelas. Saka lalu duduk di sampingnya. Sebulan tak bertemu membuat Saka pangling.
Kelas enam mereka sekelas lagi. Badai memilih tempat duduk di pojok belakang kelas. Saka lalu duduk di sampingnya. Sebulan tak bertemu membuat Saka pangling.
Rasanya Badai tambah tinggi, tampak lebih dewasa. Sekarang wajahnya lebih tirus dan selalu serius, jarang tersenyum. Lirikan matanya yang tajam membuat teman sekelas mereka takut bicara dengannya.
Dia jadi lebih pendiam. Dia juga sering terlambat datang dan selalu terlihat lelah. Waktu istirahat dia memilih tidur di kelas daripada main basket atau makan siang.
"Dai, makan dulu. Aku bawain makanan nih." Saka membongkar kotak bento miliknya. Badai mengangkat kepala dari meja. Saka memberikan kotak bergambar Batman padanya, sedangkan dia sendiri mendapat kotak bergambar Robin. Itu adalah kotak makan hadiah dari Papi saat Saka masuk SD, dia selalu merawatnya dengan baik sehingga masih awet sampai sekarang.
"Ini kotak makanmu dari TK?" Badai tampak geli, tapi dia menerima kotak itu dengan senang hati. Isinya nasi, telor dadar, dan sosis goreng. Saka yang masak sendiri. Melihat Badai makan dengan lahap Saka jadi senang. Dia pun berniat membawakan makanan lagi untuknya.
Awal tahun pelajaran ini benar-benar tidak mulus bagi Badai. Dia sering tidak mengerjakan tugas, kadang malah bolos. Dia juga ketiduran di kelas.
"Aku lembur kerja, Sak," akhirnya dia mengaku. Sejak ditinggal papanya, keluarga mereka tidak punya penghasilan tetap. Tentu saja dia lebih memprioritaskan bekerja daripada belajar. Makin lama nilai-nilai Badai makin hancur.
"Tolongin aku, Sak… aku enggak sempat ngerjain tugas-tugas sekolah," suatu hari akhirnya Badai berkata dengan lirih. Dia kelihatan kalut dan berantakan.
"Dai, makan dulu. Aku bawain makanan nih." Saka membongkar kotak bento miliknya. Badai mengangkat kepala dari meja. Saka memberikan kotak bergambar Batman padanya, sedangkan dia sendiri mendapat kotak bergambar Robin. Itu adalah kotak makan hadiah dari Papi saat Saka masuk SD, dia selalu merawatnya dengan baik sehingga masih awet sampai sekarang.
"Ini kotak makanmu dari TK?" Badai tampak geli, tapi dia menerima kotak itu dengan senang hati. Isinya nasi, telor dadar, dan sosis goreng. Saka yang masak sendiri. Melihat Badai makan dengan lahap Saka jadi senang. Dia pun berniat membawakan makanan lagi untuknya.
Awal tahun pelajaran ini benar-benar tidak mulus bagi Badai. Dia sering tidak mengerjakan tugas, kadang malah bolos. Dia juga ketiduran di kelas.
"Aku lembur kerja, Sak," akhirnya dia mengaku. Sejak ditinggal papanya, keluarga mereka tidak punya penghasilan tetap. Tentu saja dia lebih memprioritaskan bekerja daripada belajar. Makin lama nilai-nilai Badai makin hancur.
"Tolongin aku, Sak… aku enggak sempat ngerjain tugas-tugas sekolah," suatu hari akhirnya Badai berkata dengan lirih. Dia kelihatan kalut dan berantakan.
Sudah tiga hari berturut-turut dia disetrap karena tidak mengerjakan PR, Bu Guru mengancam akan memanggil orang tuanya kalau ini terus berlanjut.
"Mamaku enggak punya uang. Tahun depan mungkin aku akan putus sekolah," kata Badai getir.
"Mamaku enggak punya uang. Tahun depan mungkin aku akan putus sekolah," kata Badai getir.
"Aku mohon, Saka… aku mesti bisa menyelesaikan sekolahku sekarang, supaya minimal aku punya ijazah SD. Kamu tahu kan… aku enggak akan minta bantuan kamu kalau enggak kepepet banget. Cuma kamu yang aku percaya, Saka…"
Akhirnya Saka setuju. Dia bersedia mengerjakan PR dan membuatkan catatan rangkuman pelajaran agar Badai bisa belajar dengan cepat sebelum ujian.
Awalnya sulit untuk membagi waktu, karena jadwal kegiatan Saka sendiri sudah padat. Saka mengorbankan seluruh waktu luangnya untuk mengerjakan PR Badai. Mereka berdua semakin sibuk dan jarang bertemu di luar sekolah, chat dari Badai juga berhenti.
"Nggak ada uang buat beli pulsa dan kuota internet, Sak. Maaf ya…" kata Badai waktu Saka menanyakan kabarnya. Saka berusaha hadir untuknya, untuk membalas budi baik Badai yang menolongnya saat dia membutuhkan. Namun, sepertinya usaha Saka belum cukup baik.
Akhirnya Saka setuju. Dia bersedia mengerjakan PR dan membuatkan catatan rangkuman pelajaran agar Badai bisa belajar dengan cepat sebelum ujian.
Awalnya sulit untuk membagi waktu, karena jadwal kegiatan Saka sendiri sudah padat. Saka mengorbankan seluruh waktu luangnya untuk mengerjakan PR Badai. Mereka berdua semakin sibuk dan jarang bertemu di luar sekolah, chat dari Badai juga berhenti.
"Nggak ada uang buat beli pulsa dan kuota internet, Sak. Maaf ya…" kata Badai waktu Saka menanyakan kabarnya. Saka berusaha hadir untuknya, untuk membalas budi baik Badai yang menolongnya saat dia membutuhkan. Namun, sepertinya usaha Saka belum cukup baik.
Saka… merasa gagal sebagai teman. Dia tidak bisa menyelamatkan Badai, yang mulai bergaul dengan anak nakal. Badai sekarang merokok dan bergabung dengan geng bully.
Saka pernah memergokinya mengantongi uang hasil memalak. Saka mencoba menasehati, tapi Badai tidak terima. Mereka lalu bertengkar.
"Kamu enggak ngerti!" teriak Badai waktu itu. "Orang tuamu baik-baik saja, kamu berkecukupan, otakmu encer. Masa depan kamu terjamin. Kamu pasti akan jadi dokter yang kaya raya seperti yang diharapkan keluargamu. Kamu enggak akan pernah mengerti apa yang harus aku hadapi setiap hari, oke!"
Sejak itu Badai berbalik membenci dan menjauhinya. Dia juga mulai berlaku kasar dan menekan Saka.
Saka benar-benar merasa kehilangan.
Sudah jam tujuh malam ketika Saka menabrak pintu belakang rumah dengan lengan atas. Membungkuk memegangi lutut, batuk-batuk. Sesak. Napas pendek, kepala sakit, mata perih, pandangan mengabur. Buru-buru dia merogoh inhalernya di tas, lalu menyemprotkannya ke hidung.
"Saka?" panggil Kak Melia dari dalam. "Kok baru pulang?"
Saka memejamkan mata, masih terengah-engah. Terdengar langkah Kak Melia mendekat. Saka bangkit sembari menekan dada, mengatur napas. Saat Kak Melia muncul dari balik pintu dapur, Saka mencoba tersenyum.
"Dari mana saja?" tanya Kak Melia dengan tangan di pinggang. Dia mengerutkan kening. "Kok bau rokok begini?"
"Latihan PMR," gumam Saka. "Tadi di angkot duduk di sebelah bapak-bapak yang merokok terus."
Kak Melia menghela napas. "Kamu ini… bukannya ganti angkot saja. Ya sudah, mandi dulu sana, baru makan," perintah Kak Melia.
Saka mengiyakan, lalu segera masuk. Saat menunduk di depan kaca kamar mandi tangan kirinya mencengkeram pinggiran wastafel dengan kencang. Jemari kanannya yang tadi diinjak Badai sakit sekali, lecet dan bengkak. Rusuk memar, seluruh badan ngilu.
Bahu Saka gemetar, napas masih berantakan.
Persis seperti perasaannya saat itu.
***
Peraturan keluarga Saka cukup ketat. Mami sudah mendidik dia dan kakak-kakaknya untuk mandiri. Mulai dari membersihkan rumah, masak, dan mengurus diri sendiri. Mereka diajari untuk hidup sederhana, tidak boros, dan tidak mengeluh bila menghadapi kesulitan.
Mereka juga harus bisa mengelola uang jajan masing-masing. Tidak ada penambahan kalau habis sebelum waktunya. Badai sudah mengambil semua uang saku Saka minggu ini, Saka sudah tidak punya ongkos untuk naik angkot. Jadi pagi ini dia berangkat lebih awal karena mau jalan kaki.
Sampai di sekolah pas bel berbunyi. Saka memberikan buku PR Matematika Badai--tulisannya hampir tidak terbaca karena tangannya terlalu sakit untuk menulis. Dia sendiri tidak mengerjakan PR. Tentu saja dia disetrap.
Ini pertama kalinya Saka dihukum berdiri di depan kelas. Wajahnya panas, tapi dia cuma bisa menunduk, menatap kosong ke lantai. Berusaha tidak memikirkan bisik-bisik teman sekelasnya.
Katanya nilainya si Saka sekarang menurun lho.
Bukannya emang dia tinggal kelas?
Eh, enggak! Dulu dia sering rangking satu lho.
Iya, dia enggak pernah dapat nilai tertinggi lagi.
Sekarang kok sampai enggak ngerjain PR gitu ya?
Mungkin karena terpengaruh temannya si Badai itu kali?
Oalah.. memang mereka deket banget sih. Sayang ya, padahal tadinya mereka anak baik-baik.
Ssh… diam, Bu Guru nanti marah.
Saka cuma bisa memejamkan matanya yang perih.
***
"Tadi jam istirahat kok enggak datang?" tanya Friska ketika Saka tiba di perpustakaan sepulang sekolah.
Saat istirahat tiba Bimo mengajak Saka keluar.
"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Bimo memastikan.
Saka mengangguk. "Kalian… kenapa bisa merekam video itu?"
Bimo tersenyum kecil. "Proyeknya si Dwi. Dia memasang CCTV kecil di gudang belakang."
Saka belum mengerti. "Buat apa?"
"Gak tahu, emang anaknya iseng gitu, hobi bikin film pendek. Baru dipasang hari Minggu. Mungkin dia mau nunggu penampakan buat bikin film horor?" Bimo meliriknya.
Setelah memutus hubungan dengan Badai, semua berangsur membaik. Saka tidak perlu pontang-panting mengerjakan PR Badai lagi. Jadwal kegiatan Saka kembali normal, nilainya pun perlahan naik.
Saka pernah memergokinya mengantongi uang hasil memalak. Saka mencoba menasehati, tapi Badai tidak terima. Mereka lalu bertengkar.
"Kamu enggak ngerti!" teriak Badai waktu itu. "Orang tuamu baik-baik saja, kamu berkecukupan, otakmu encer. Masa depan kamu terjamin. Kamu pasti akan jadi dokter yang kaya raya seperti yang diharapkan keluargamu. Kamu enggak akan pernah mengerti apa yang harus aku hadapi setiap hari, oke!"
Sejak itu Badai berbalik membenci dan menjauhinya. Dia juga mulai berlaku kasar dan menekan Saka.
Saka benar-benar merasa kehilangan.
***
Bab Dua
Seandainya Aku Bertahan Seperti Ini, Apakah Nanti Kamu Akan Berubah?
***
Sudah jam tujuh malam ketika Saka menabrak pintu belakang rumah dengan lengan atas. Membungkuk memegangi lutut, batuk-batuk. Sesak. Napas pendek, kepala sakit, mata perih, pandangan mengabur. Buru-buru dia merogoh inhalernya di tas, lalu menyemprotkannya ke hidung.
"Saka?" panggil Kak Melia dari dalam. "Kok baru pulang?"
Saka memejamkan mata, masih terengah-engah. Terdengar langkah Kak Melia mendekat. Saka bangkit sembari menekan dada, mengatur napas. Saat Kak Melia muncul dari balik pintu dapur, Saka mencoba tersenyum.
"Dari mana saja?" tanya Kak Melia dengan tangan di pinggang. Dia mengerutkan kening. "Kok bau rokok begini?"
"Latihan PMR," gumam Saka. "Tadi di angkot duduk di sebelah bapak-bapak yang merokok terus."
Kak Melia menghela napas. "Kamu ini… bukannya ganti angkot saja. Ya sudah, mandi dulu sana, baru makan," perintah Kak Melia.
Saka mengiyakan, lalu segera masuk. Saat menunduk di depan kaca kamar mandi tangan kirinya mencengkeram pinggiran wastafel dengan kencang. Jemari kanannya yang tadi diinjak Badai sakit sekali, lecet dan bengkak. Rusuk memar, seluruh badan ngilu.
Bahu Saka gemetar, napas masih berantakan.
Persis seperti perasaannya saat itu.
***
Peraturan keluarga Saka cukup ketat. Mami sudah mendidik dia dan kakak-kakaknya untuk mandiri. Mulai dari membersihkan rumah, masak, dan mengurus diri sendiri. Mereka diajari untuk hidup sederhana, tidak boros, dan tidak mengeluh bila menghadapi kesulitan.
Mereka juga harus bisa mengelola uang jajan masing-masing. Tidak ada penambahan kalau habis sebelum waktunya. Badai sudah mengambil semua uang saku Saka minggu ini, Saka sudah tidak punya ongkos untuk naik angkot. Jadi pagi ini dia berangkat lebih awal karena mau jalan kaki.
Sampai di sekolah pas bel berbunyi. Saka memberikan buku PR Matematika Badai--tulisannya hampir tidak terbaca karena tangannya terlalu sakit untuk menulis. Dia sendiri tidak mengerjakan PR. Tentu saja dia disetrap.
Ini pertama kalinya Saka dihukum berdiri di depan kelas. Wajahnya panas, tapi dia cuma bisa menunduk, menatap kosong ke lantai. Berusaha tidak memikirkan bisik-bisik teman sekelasnya.
Katanya nilainya si Saka sekarang menurun lho.
Bukannya emang dia tinggal kelas?
Eh, enggak! Dulu dia sering rangking satu lho.
Iya, dia enggak pernah dapat nilai tertinggi lagi.
Sekarang kok sampai enggak ngerjain PR gitu ya?
Mungkin karena terpengaruh temannya si Badai itu kali?
Oalah.. memang mereka deket banget sih. Sayang ya, padahal tadinya mereka anak baik-baik.
Ssh… diam, Bu Guru nanti marah.
Saka cuma bisa memejamkan matanya yang perih.
***
"Tadi jam istirahat kok enggak datang?" tanya Friska ketika Saka tiba di perpustakaan sepulang sekolah.
Saka meringis. Tadi dia mencuri waktu untuk mengerjakan PR IPA.
"Kalau kamu enggak becus begitu mendingan mengundurkan diri, deh."
Tidak mungkin. Mami sudah tahu dia terpilih jadi wakil sekolah untuk Olimpiade Sains. Kalau dia mengundurkan diri, Mami pasti kecewa.
"Maaf, Friska," gumamnya. "Hari ini dikasih tugas apa sama Pak Fauzi?"
Friska mendengus, lalu memberinya sebundel lembar soal pembinaan tim olimpiade. Belum lama membahas soal, seseorang tiba-tiba menepuk pundak Saka dengan keras.
Badai. Anak itu melempar buku PR-nya ke depan Saka, lalu ngeloyor pergi. Tidak mengindahkan tatapan Friska, Saka segera menyimpan buku tersebut ke dalam tasnya. Friska melotot dengan tatapan tajam.
"Kamu mencontek PR Badai?" tuduh Friska.
"Enggak, kok!" bantah Saka cepat. Pupil mata Friska lalu membesar.
"Kamu mengerjakan PR-nya Badai?" desis Friska. "Sejak kapan?"
Saka berpaling dan pura-pura tidak tahu apa maksudnya.
"Aku nggak nyangka hubungan kalian seperti itu," kata Friska. Saka tidak mau meladeninya, jadi dia diam saja.
"Kamu sadar, kan, kalau kamu sedang di-bully sama Badai?"
Saka menekan pensilnya terlalu kuat. Ujung pensil mekanik itu patah.
"Apa lagi yang sudah dia lakukan? Meminta uang jajanmu?"
Saka meringis. Tebakan Friska tidak sepenuhnya salah.
Suatu hari Saka sedang tidak enak badan. Dia tidak sempat mengerjakan PR Badai, sehingga anak itu disetrap Bu Guru. Sepulang sekolah Badai memukul Saka di gudang belakang. Namun, keesokan paginya dia mencegat saat Saka memarkir sepeda.
"M-maafin aku, Saka… a-aku khilaf," bisik Badai sambil menangis tanpa suara. "Nggak tahu kenapa kemarin rasanya marah banget. Urusan rumahku berantakan. A-aku udah melampiaskannya pada kamu. Padahal kamu cuma mau bantuin aku. Aku jahat banget… aku minta maaf--"
Saka tertegun, memperhatikan badan Badai yang gemetar. Hatinya luluh.
"Nggak apa-apa, Dai. Kamu… mau cerita? Mungkin kamu bakal lebih lega."
Badai memalingkan pandangan ke bawah, tampak rapuh. Dia lalu menggeleng, menutup rapat perasaannya. "Bukan apa-apa, Sak. Biasa, cuma masalah uang. Kemarin ada debt collector yang meneror Mama."
Entah apa yang membuat Saka menawarkan uang sakunya sendiri. Wajah Badai saat itu seperti orang kehausan yang tidak menyangka akan menemukan oase.
"Kamu yakin? A-aku mungkin enggak bisa mengembalikannya, Sak."
"Nggak usah dipikirin… ini cuma sedikit. Mungkin hanya bisa nambahin uang makan keluargamu hari ini."
Saka kira masalah itu sudah selesai, namun ternyata tidak. Beberapa hari kemudian Badai meminta uang Saka, sedangkan Saka sudah memakai uang sakunya untuk fotokopi. Badai menuduh Saka berbohong dan memukulnya. Saka janji akan memberinya di hari Senin, setelah menerima uang saku mingguan.
Setelah menerima uang tersebut Badai meminta maaf, beralasan dia sangat terpaksa. Saka kembali memaafkannya. Semua lalu terulang kembali. Begitu terus sampai akhirnya Saka pasrah. Dia menyetorkan semua uang jajan mingguannya setiap Senin pada Badai.
Memikirkan hal itu sebenarnya membuat Saka merasa malu sekali, tapi daripada dipukuli terus, lebih baik dia menyerahkannya terlebih dahulu.
Terus terang Saka sudah tidak bisa memahami temannya itu. Tiap kali Badai tersadar dan meminta maaf, secercah harapan muncul di hati Saka. Mungkin Badai masih bisa insyaf. Saka hanya perlu… tetap bersabar.
Tentu saja dia tidak mungkin bisa menjelaskan semua itu pada Friska. "Enggak usah ikut campur, Fris. Ini bukan urusanmu," kata Saka akhirnya.
"Terus kamu mau ditindas begitu sampai kapan? Kamu enggak capek?" tanya Friska tidak puas.
Saka sudah sangat capek, tapi… memangnya dia bisa berbuat apa? Paling tidak dia harus bisa menanggung semua ini sampai mereka lulus ujian. Toh kalau benar Badai putus sekolah, mereka tidak akan bertemu lagi.
Yakin? Apa yang menghalangi dia untuk mencegatmu di tengah jalan? Selama kamu masih sekolah di sekitar sini, bisa-bisa dia memalakmu sampai kamu lulus SMA. Suara hati kecilnya berkata, membuatnya takut. Saka menelan ludah.
"Badai bukan seperti yang kamu bayangkan. Sebenarnya dia itu baik, cuma sedang banyak masalah saja," kata Saka mencoba meyakinkan Friska--dan dirinya sendiri.
"Kamu kok malah ngebelain dia sih? Kamu nyadar nggak sih kalo kasus bullying ini udah parah banget, sampai korbannya sendiri membela penindasnya?"
Saka menunduk, lalu berbisik, "Lalu aku harus gimana, Fris?"
"Kamu udah nggak bisa mengatasi ini sendirian, Saka. Cobalah cari pertolongan orang dewasa. Cerita ke orang tuamu, atau ke guru BK. Atau lebih baik lagi, kamu bisa curhat ke mamaku. Dia psikolog. Kalau kamu mau aku bisa bantu kamu untuk daftar konsultasi."
Saka melongo menatap Friska. Dia tidak mungkin bilang ke Guru BK, nanti masalahnya membesar. Pihak sekolah bisa tahu kasus bullying Badai pada siswa lain dan Badai bisa diskorsing atau lebih buruk, dikeluarkan dari sekolah.
Cerita ke Mami? Dia malu dan takut. Mami pasti marah kalau tahu dia menyerahkan sendiri uang jajannya ke Badai.
Mau ke psikolog? Uangnya dari mana? Sekarang saja dia terpaksa memecahkan celengan yang tak seberapa untuk membeli bahan makanan agar dia bisa masak dan makan sepulang sekolah.
Tapi… barangkali lebih baik Badai yang konsultasi ke mamanya Friska, bukan? Mungkin saja beliau bisa menangani Badai sampai insyaf. Penderitaan Saka otomatis akan berakhir tanpa harus konfrontasi dengan sekolah atau orang tua. Saka hanya perlu… membiayainya.
Saka meringis. Mungkin dia bisa mengambil tabungannya di bank? Dia harus memikirkan mesti bilang apa ke Mami saat minta izin menarik uang di bank. Masalahnya, bagaimana caranya dia bisa meminta Badai untuk konsultasi?
"Nanti kupikirkan," putus Saka akhirnya, lalu tersenyum pada Friska. "Terima kasih banyak, Fris."
Seperti biasa, hari Senin Saka menemui Badai di gudang belakang sekolah. Tampaknya hari itu suasana hati Badai sedang jelek.
"Mana uangmu, cepat!" hardik Badai. Saka merogoh kantong, cepat menyerahkan uang itu. Badai mengambilnya dengan kasar dan langsung berpaling.
"Dai… Badai, tunggu. Mamanya Friska seorang psikolog. Kalau kamu butuh cerita tentang kesulitanmu--"
"Gila apa kamu??" Badai langsung berbalik dan mendorong badan Saka ke tembok dengan keras.
"Kamu ngadu ke cewek itu?!"
"Enggak! Enggak, Dai, jangan marah dulu. Friska cuma nanya kenapa aku sempat enggak datang ke pertemuan--"
Badai membenturkan kepala Saka. Saka memekik kesakitan, tapi Badai tidak mengindahkan. "Terus kamu bilang apa?!"
"Aku enggak jawab, lalu dia bilang kalau aku butuh bantuan, ibunya bisa membantu."
"Dasar bodoh!" Badai melepasnya tiba-tiba. Saka terduduk jatuh. Kepalanya sakit sekali, seperti ada kembang api yang meledak di dalam. Darah menetes di lantai. Dia mimisan.
Badai lalu tertawa miris. "Kamu pikir aku butuh psikolog?! Aku butuh uang, bukan ngabisin uang ke psikolog!"
Saka bangkit dengan gemetar. "A-aku bantu biayanya, Dai. Aku akan pakai tabunganku--"
"Kamu punya tabungan?" tanya Badai tajam.
Saka membeku, menyadari telah salah ucap.
"Bawa ke sini tabunganmu," perintah Badai.
Saka mundur selangkah, lamat menggeleng. "Aku nggak bisa pakai sembarangan, harus izin Mami."
"Terus kamu mau cerita tentang aku ke mamimu?!"
Saka tidak bisa menjawab. Kalau dia bilang akan berbohong, Badai akan menyuruhnya berbohong demi mencarikan tabungannya untuk kemudian dia ambil. Kalau dia bilang akan jujur ke Mami, Badai pasti akan marah.
"Kamu punya waktu tiga hari," bisik Badai. "Kalau tidak, pacarmu si Friska itu tidak akan selamat."
Saka memandangnya terkejut, tapi Badai sudah keburu pergi sebelum dia bisa bereaksi. Saka berdiri mengepalkan tangan, gemetar. Mulutnya asin oleh darah. Dia menengadahkan kepala sejenak, menunggu sampai mimisannya berhenti.
Menarik napas panjang, Saka lalu membuka baju kemeja seragam dan mencucinya di bawah keran air di dekat gudang. Untung kaos dalamnya berwarna hitam, jadi tidak begitu kelihatan nodanya.
Saat itu dia melihat seorang siswa berjalan ke arahnya. Tidak mau kepergok, dia lalu menyambar kemejanya yang basah dan beranjak kabur ke lawan arah. Saka memakai bajunya sembari jalan dan hanya bisa diam ketika duduk di samping Badai di kelas.
Tentu saja Saka tidak akan menuruti permintaan Badai.
Kalau dia sengaja tidak datang, apa Badai akan semakin marah? Tapi kalau dia lapor ke Guru BK, dia harus bilang apa?
Pak saya dipalak oleh teman sebangku saya? Dia sama sekali tidak punya bukti.
Lapor ke Mami? Sama saja. Selain tidak ada bukti, dia juga malah akan membuat malu dan merepotkan maminya.
Masa sih dia harus datang untuk dipukuli? Memangnya kalau dia babak belur masalahnya akan selesai? Dan lagi Badai tidak main-main memakai kekuatannya. Saka sempat menyangka kepalanya juga bocor waktu Badai menghantamnya ke tembok. Kalau dia pasrah tidak melawan, bisa-bisa dia mati atau koma!
Apa dia harus bilang ke Friska? Tapi bagaimana Friska bisa membantu? Selain itu Badai juga mengancam akan mencelakainya.
Sampai pada hari H Saka belum menemukan jawaban. Dia tidak punya rencana apa-apa, selain mencoba kabur kalau Badai benar-benar mengamuk.
Kamis pagi Badai datang lebih dulu dari Saka. Hati Saka mencelos saat melihat Badai menatapnya tajam, lalu memberinya kode untuk keluar kelas. Mereka jalan beriringan, Badai setengah mendorongnya untuk jalan lebih cepat.
"Jadi? Mana uangmu?" tanya Badai ketika mereka sampai di lokasi. Tempat mereka biasa bertemu itu tersembunyi.
Saka memandangnya gugup. "Aku nggak bisa ambil tabunganku, Dai…"
"Nggak bisa apa nggak mau?!" hardik Badai.
"Enggak bisa," gumam Saka, menguatkan diri. Mungkin… mungkin dia bisa mencoba bicara untuk terakhir kalinya. "Dan enggak mau."
"Apa katamu?!" Badai meninju perutnya. Saka menunduk sakit. Pukulan Badai selalu membuatnya memar, tapi anak itu tidak pernah memukulnya di wajah atau tempat lain yang mudah terlihat.
"A-aku enggak mau kamu begini terus," bisik Saka dengan nada memohon. "Yang kamu lakukan ini salah, Badai…, kamu sadar, kan? Kalau aku enggak menegurmu, berarti aku juga turut bersalah atas kelakuanmu mem-bully siswa lain."
"Sok suci rupanya. Kamu sudah jijik tidak mau berteman denganku? Kamu mau meninggalkanku di saat aku butuh kamu, Saka? Kamu benar-benar pengkhianat, sama saja seperti Papa!" geram Badai. Dia menghantam perut Saka lagi. Saka langsung roboh berlutut di depannya. Mengabaikan rasa sakit yang membelitnya, Saka meraih kaki Badai.
"Aku masih di sini, Dai. K-kalau akhirnya sama-sama dihukum, lebih baik aku bolos dan ikut membantumu bekerja daripada harus berbohong dan mencuri uang untukmu--"
Badai kembali menjambak rambutnya.
"Kamu tahu apa tentang pekerjaan yang harus kulakukan, heh?! Anak sok suci seperti kamu enggak akan bertahan barang sedetik pun. Kamu enggak tahu apa-apa tentang aku, cuma sok mengatur aku harus ke psikolog lah, harus berhenti memalak dan mencari pekerjaan halal lah. Berengsek!" umpat Badai. Dia mendorong kepala Saka sampai tersungkur dan mencekiknya.
"Kamu punya kemampuan materi buat menolong aku, tapi kamu malah menolak. Aku benci orang-orang kayak kamu, cuma bisa omong doang! Dasar payah! Pantas orang tuamu selalu meninggalkanmu sendiri di rumah, mereka pasti tidak menginginkanmu. Mamimu pasti tahu sebenarnya kamu enggak mau jadi dokter, makanya dia enggak pernah memperhatikanmu. Biar mampus sekalian--"
Saka mencengkeram pergelangan tangan Badai, tidak bisa bernapas. Dia sudah yakin akan mati ketika seseorang tiba-tiba menarik dan menampar Badai dengan keras.
"Nggak tahu diuntung! Dinasehatin baik-baik malah mukulin orang!"
Orang itu lalu bergelut dengan Badai. Sepertinya mereka imbang, sampai sebuah suara mengagetkan mereka. Sementara Saka sendiri merasa asmanya mulai kambuh.
"Terus aja, Dai. Kamu udah live dari tadi. Hey guys makasih udah nonton bareng. Kita lagi bersama Badai Anderson dari kelas 6A SDN 03 Bintaro. Kalian lihat kan tadi dia udah mukulin temen sekelasnya, dan kini dia lagi berantem sama anak kelas sebelah. Begitu siaran ini selesai link-nya akan terkirim pada kepala sekolah--"
"Sial! Awas kalian!!" Badai langsung lari tunggang langgang.
Anak yang memegang kamera itu tertawa. Dia mematikan kameranya.
"T-tolong, inhaler-ku tadi terlempar. Asmaku kambuh," pinta Saka dengan suara tercekik.
Anak yang tadi bergelut dengan Badai mencari dan memungut inhaler Saka, lalu menunggu sampai napas Saka melega.
"Bimo, dari kelas 6B," kata anak itu sambil tersenyum. "Ini sahabatku Dwi, kami sekelas. Kamu baik-baik saja? Namamu Saka, kan, ya?"
"Ck… udah jelas dia bonyok gitu kok pake ditanya-tanya segala. Udah, ke UKS aja, yuk," ajak Dwi.
"N-nggak usah!" refleks Saka menolak, tidak ingin bertemu anak PMR. Dia berusaha bangun, meringis menahan sakit. "A-aku enggak apa-apa, kok. Aku ke kelas aja, sebentar lagi pelajaran mau mulai."
Bimo dan Dwi berpandangan.
"Aku antar, ya," putus Bimo.
"Aku rapiin bentar videonya, segera aku kirim," kata Dwi pada Bimo.
"E-eh, jangan!" seru Saka. Bimo dan Dwi memandanginya. Saka menelan ludah.
"Makasih banyak kalian udah nolongin aku, t-tapi tolong video yang tadi j-jangan disebar, ya?"
"Kenapa, Saka?" tanya Bimo sambil mengerutkan kening.
Karena dia sahabatku? Membayangkan mengucapkan hal tersebut sudah bikin perut Saka melilit. Mereka akan mencemoohnya, menganggapnya bodoh karena masih menganggap Badai sebagai seorang sahabat.
Mereka benar, kan? Mana ada orang yang memukuli sahabatnya sendiri? Suara hatinya berbisik.
Mungkin dia memang bodoh, tapi dia tidak bisa melupakan semua kebaikan Badai begitu saja.
Saka menengadah, Bimo masih memperhatikannya. "Aku cuma enggak mau dia dikeluarkan dari sekolah. Ujian tinggal sebentar lagi. Aku ingin dia bisa lulus."
Dwi mendengus. "Aku tetap akan mengeditnya. Akan kukirim ke Bimo."
Bel masuk berbunyi. Bimo lalu mengantarnya ke kelas tanpa berkata apa-apa.
Tidak mungkin. Mami sudah tahu dia terpilih jadi wakil sekolah untuk Olimpiade Sains. Kalau dia mengundurkan diri, Mami pasti kecewa.
"Maaf, Friska," gumamnya. "Hari ini dikasih tugas apa sama Pak Fauzi?"
Friska mendengus, lalu memberinya sebundel lembar soal pembinaan tim olimpiade. Belum lama membahas soal, seseorang tiba-tiba menepuk pundak Saka dengan keras.
Badai. Anak itu melempar buku PR-nya ke depan Saka, lalu ngeloyor pergi. Tidak mengindahkan tatapan Friska, Saka segera menyimpan buku tersebut ke dalam tasnya. Friska melotot dengan tatapan tajam.
"Kamu mencontek PR Badai?" tuduh Friska.
"Enggak, kok!" bantah Saka cepat. Pupil mata Friska lalu membesar.
"Kamu mengerjakan PR-nya Badai?" desis Friska. "Sejak kapan?"
Saka berpaling dan pura-pura tidak tahu apa maksudnya.
"Aku nggak nyangka hubungan kalian seperti itu," kata Friska. Saka tidak mau meladeninya, jadi dia diam saja.
"Kamu sadar, kan, kalau kamu sedang di-bully sama Badai?"
Saka menekan pensilnya terlalu kuat. Ujung pensil mekanik itu patah.
"Apa lagi yang sudah dia lakukan? Meminta uang jajanmu?"
Saka meringis. Tebakan Friska tidak sepenuhnya salah.
Suatu hari Saka sedang tidak enak badan. Dia tidak sempat mengerjakan PR Badai, sehingga anak itu disetrap Bu Guru. Sepulang sekolah Badai memukul Saka di gudang belakang. Namun, keesokan paginya dia mencegat saat Saka memarkir sepeda.
"M-maafin aku, Saka… a-aku khilaf," bisik Badai sambil menangis tanpa suara. "Nggak tahu kenapa kemarin rasanya marah banget. Urusan rumahku berantakan. A-aku udah melampiaskannya pada kamu. Padahal kamu cuma mau bantuin aku. Aku jahat banget… aku minta maaf--"
Saka tertegun, memperhatikan badan Badai yang gemetar. Hatinya luluh.
"Nggak apa-apa, Dai. Kamu… mau cerita? Mungkin kamu bakal lebih lega."
Badai memalingkan pandangan ke bawah, tampak rapuh. Dia lalu menggeleng, menutup rapat perasaannya. "Bukan apa-apa, Sak. Biasa, cuma masalah uang. Kemarin ada debt collector yang meneror Mama."
Entah apa yang membuat Saka menawarkan uang sakunya sendiri. Wajah Badai saat itu seperti orang kehausan yang tidak menyangka akan menemukan oase.
"Kamu yakin? A-aku mungkin enggak bisa mengembalikannya, Sak."
"Nggak usah dipikirin… ini cuma sedikit. Mungkin hanya bisa nambahin uang makan keluargamu hari ini."
Saka kira masalah itu sudah selesai, namun ternyata tidak. Beberapa hari kemudian Badai meminta uang Saka, sedangkan Saka sudah memakai uang sakunya untuk fotokopi. Badai menuduh Saka berbohong dan memukulnya. Saka janji akan memberinya di hari Senin, setelah menerima uang saku mingguan.
Setelah menerima uang tersebut Badai meminta maaf, beralasan dia sangat terpaksa. Saka kembali memaafkannya. Semua lalu terulang kembali. Begitu terus sampai akhirnya Saka pasrah. Dia menyetorkan semua uang jajan mingguannya setiap Senin pada Badai.
Memikirkan hal itu sebenarnya membuat Saka merasa malu sekali, tapi daripada dipukuli terus, lebih baik dia menyerahkannya terlebih dahulu.
Terus terang Saka sudah tidak bisa memahami temannya itu. Tiap kali Badai tersadar dan meminta maaf, secercah harapan muncul di hati Saka. Mungkin Badai masih bisa insyaf. Saka hanya perlu… tetap bersabar.
Tentu saja dia tidak mungkin bisa menjelaskan semua itu pada Friska. "Enggak usah ikut campur, Fris. Ini bukan urusanmu," kata Saka akhirnya.
"Terus kamu mau ditindas begitu sampai kapan? Kamu enggak capek?" tanya Friska tidak puas.
Saka sudah sangat capek, tapi… memangnya dia bisa berbuat apa? Paling tidak dia harus bisa menanggung semua ini sampai mereka lulus ujian. Toh kalau benar Badai putus sekolah, mereka tidak akan bertemu lagi.
Yakin? Apa yang menghalangi dia untuk mencegatmu di tengah jalan? Selama kamu masih sekolah di sekitar sini, bisa-bisa dia memalakmu sampai kamu lulus SMA. Suara hati kecilnya berkata, membuatnya takut. Saka menelan ludah.
"Badai bukan seperti yang kamu bayangkan. Sebenarnya dia itu baik, cuma sedang banyak masalah saja," kata Saka mencoba meyakinkan Friska--dan dirinya sendiri.
"Kamu kok malah ngebelain dia sih? Kamu nyadar nggak sih kalo kasus bullying ini udah parah banget, sampai korbannya sendiri membela penindasnya?"
Saka menunduk, lalu berbisik, "Lalu aku harus gimana, Fris?"
"Kamu udah nggak bisa mengatasi ini sendirian, Saka. Cobalah cari pertolongan orang dewasa. Cerita ke orang tuamu, atau ke guru BK. Atau lebih baik lagi, kamu bisa curhat ke mamaku. Dia psikolog. Kalau kamu mau aku bisa bantu kamu untuk daftar konsultasi."
Saka melongo menatap Friska. Dia tidak mungkin bilang ke Guru BK, nanti masalahnya membesar. Pihak sekolah bisa tahu kasus bullying Badai pada siswa lain dan Badai bisa diskorsing atau lebih buruk, dikeluarkan dari sekolah.
Cerita ke Mami? Dia malu dan takut. Mami pasti marah kalau tahu dia menyerahkan sendiri uang jajannya ke Badai.
Mau ke psikolog? Uangnya dari mana? Sekarang saja dia terpaksa memecahkan celengan yang tak seberapa untuk membeli bahan makanan agar dia bisa masak dan makan sepulang sekolah.
Tapi… barangkali lebih baik Badai yang konsultasi ke mamanya Friska, bukan? Mungkin saja beliau bisa menangani Badai sampai insyaf. Penderitaan Saka otomatis akan berakhir tanpa harus konfrontasi dengan sekolah atau orang tua. Saka hanya perlu… membiayainya.
Saka meringis. Mungkin dia bisa mengambil tabungannya di bank? Dia harus memikirkan mesti bilang apa ke Mami saat minta izin menarik uang di bank. Masalahnya, bagaimana caranya dia bisa meminta Badai untuk konsultasi?
"Nanti kupikirkan," putus Saka akhirnya, lalu tersenyum pada Friska. "Terima kasih banyak, Fris."
***
Bab Tiga
Aku Cuma Tidak Ingin Kamu Terus Begini
***
Seperti biasa, hari Senin Saka menemui Badai di gudang belakang sekolah. Tampaknya hari itu suasana hati Badai sedang jelek.
"Mana uangmu, cepat!" hardik Badai. Saka merogoh kantong, cepat menyerahkan uang itu. Badai mengambilnya dengan kasar dan langsung berpaling.
"Dai… Badai, tunggu. Mamanya Friska seorang psikolog. Kalau kamu butuh cerita tentang kesulitanmu--"
"Gila apa kamu??" Badai langsung berbalik dan mendorong badan Saka ke tembok dengan keras.
"Kamu ngadu ke cewek itu?!"
"Enggak! Enggak, Dai, jangan marah dulu. Friska cuma nanya kenapa aku sempat enggak datang ke pertemuan--"
Badai membenturkan kepala Saka. Saka memekik kesakitan, tapi Badai tidak mengindahkan. "Terus kamu bilang apa?!"
"Aku enggak jawab, lalu dia bilang kalau aku butuh bantuan, ibunya bisa membantu."
"Dasar bodoh!" Badai melepasnya tiba-tiba. Saka terduduk jatuh. Kepalanya sakit sekali, seperti ada kembang api yang meledak di dalam. Darah menetes di lantai. Dia mimisan.
Badai lalu tertawa miris. "Kamu pikir aku butuh psikolog?! Aku butuh uang, bukan ngabisin uang ke psikolog!"
Saka bangkit dengan gemetar. "A-aku bantu biayanya, Dai. Aku akan pakai tabunganku--"
"Kamu punya tabungan?" tanya Badai tajam.
Saka membeku, menyadari telah salah ucap.
"Bawa ke sini tabunganmu," perintah Badai.
Saka mundur selangkah, lamat menggeleng. "Aku nggak bisa pakai sembarangan, harus izin Mami."
"Terus kamu mau cerita tentang aku ke mamimu?!"
Saka tidak bisa menjawab. Kalau dia bilang akan berbohong, Badai akan menyuruhnya berbohong demi mencarikan tabungannya untuk kemudian dia ambil. Kalau dia bilang akan jujur ke Mami, Badai pasti akan marah.
"Kamu punya waktu tiga hari," bisik Badai. "Kalau tidak, pacarmu si Friska itu tidak akan selamat."
Saka memandangnya terkejut, tapi Badai sudah keburu pergi sebelum dia bisa bereaksi. Saka berdiri mengepalkan tangan, gemetar. Mulutnya asin oleh darah. Dia menengadahkan kepala sejenak, menunggu sampai mimisannya berhenti.
Menarik napas panjang, Saka lalu membuka baju kemeja seragam dan mencucinya di bawah keran air di dekat gudang. Untung kaos dalamnya berwarna hitam, jadi tidak begitu kelihatan nodanya.
Saat itu dia melihat seorang siswa berjalan ke arahnya. Tidak mau kepergok, dia lalu menyambar kemejanya yang basah dan beranjak kabur ke lawan arah. Saka memakai bajunya sembari jalan dan hanya bisa diam ketika duduk di samping Badai di kelas.
Tentu saja Saka tidak akan menuruti permintaan Badai.
Kalau dia sengaja tidak datang, apa Badai akan semakin marah? Tapi kalau dia lapor ke Guru BK, dia harus bilang apa?
Pak saya dipalak oleh teman sebangku saya? Dia sama sekali tidak punya bukti.
Lapor ke Mami? Sama saja. Selain tidak ada bukti, dia juga malah akan membuat malu dan merepotkan maminya.
Masa sih dia harus datang untuk dipukuli? Memangnya kalau dia babak belur masalahnya akan selesai? Dan lagi Badai tidak main-main memakai kekuatannya. Saka sempat menyangka kepalanya juga bocor waktu Badai menghantamnya ke tembok. Kalau dia pasrah tidak melawan, bisa-bisa dia mati atau koma!
Apa dia harus bilang ke Friska? Tapi bagaimana Friska bisa membantu? Selain itu Badai juga mengancam akan mencelakainya.
Sampai pada hari H Saka belum menemukan jawaban. Dia tidak punya rencana apa-apa, selain mencoba kabur kalau Badai benar-benar mengamuk.
Kamis pagi Badai datang lebih dulu dari Saka. Hati Saka mencelos saat melihat Badai menatapnya tajam, lalu memberinya kode untuk keluar kelas. Mereka jalan beriringan, Badai setengah mendorongnya untuk jalan lebih cepat.
"Jadi? Mana uangmu?" tanya Badai ketika mereka sampai di lokasi. Tempat mereka biasa bertemu itu tersembunyi.
Saka memandangnya gugup. "Aku nggak bisa ambil tabunganku, Dai…"
"Nggak bisa apa nggak mau?!" hardik Badai.
"Enggak bisa," gumam Saka, menguatkan diri. Mungkin… mungkin dia bisa mencoba bicara untuk terakhir kalinya. "Dan enggak mau."
"Apa katamu?!" Badai meninju perutnya. Saka menunduk sakit. Pukulan Badai selalu membuatnya memar, tapi anak itu tidak pernah memukulnya di wajah atau tempat lain yang mudah terlihat.
"A-aku enggak mau kamu begini terus," bisik Saka dengan nada memohon. "Yang kamu lakukan ini salah, Badai…, kamu sadar, kan? Kalau aku enggak menegurmu, berarti aku juga turut bersalah atas kelakuanmu mem-bully siswa lain."
"Sok suci rupanya. Kamu sudah jijik tidak mau berteman denganku? Kamu mau meninggalkanku di saat aku butuh kamu, Saka? Kamu benar-benar pengkhianat, sama saja seperti Papa!" geram Badai. Dia menghantam perut Saka lagi. Saka langsung roboh berlutut di depannya. Mengabaikan rasa sakit yang membelitnya, Saka meraih kaki Badai.
"Aku masih di sini, Dai. K-kalau akhirnya sama-sama dihukum, lebih baik aku bolos dan ikut membantumu bekerja daripada harus berbohong dan mencuri uang untukmu--"
Badai kembali menjambak rambutnya.
"Kamu tahu apa tentang pekerjaan yang harus kulakukan, heh?! Anak sok suci seperti kamu enggak akan bertahan barang sedetik pun. Kamu enggak tahu apa-apa tentang aku, cuma sok mengatur aku harus ke psikolog lah, harus berhenti memalak dan mencari pekerjaan halal lah. Berengsek!" umpat Badai. Dia mendorong kepala Saka sampai tersungkur dan mencekiknya.
"Kamu punya kemampuan materi buat menolong aku, tapi kamu malah menolak. Aku benci orang-orang kayak kamu, cuma bisa omong doang! Dasar payah! Pantas orang tuamu selalu meninggalkanmu sendiri di rumah, mereka pasti tidak menginginkanmu. Mamimu pasti tahu sebenarnya kamu enggak mau jadi dokter, makanya dia enggak pernah memperhatikanmu. Biar mampus sekalian--"
Saka mencengkeram pergelangan tangan Badai, tidak bisa bernapas. Dia sudah yakin akan mati ketika seseorang tiba-tiba menarik dan menampar Badai dengan keras.
"Nggak tahu diuntung! Dinasehatin baik-baik malah mukulin orang!"
Orang itu lalu bergelut dengan Badai. Sepertinya mereka imbang, sampai sebuah suara mengagetkan mereka. Sementara Saka sendiri merasa asmanya mulai kambuh.
"Terus aja, Dai. Kamu udah live dari tadi. Hey guys makasih udah nonton bareng. Kita lagi bersama Badai Anderson dari kelas 6A SDN 03 Bintaro. Kalian lihat kan tadi dia udah mukulin temen sekelasnya, dan kini dia lagi berantem sama anak kelas sebelah. Begitu siaran ini selesai link-nya akan terkirim pada kepala sekolah--"
"Sial! Awas kalian!!" Badai langsung lari tunggang langgang.
Anak yang memegang kamera itu tertawa. Dia mematikan kameranya.
"T-tolong, inhaler-ku tadi terlempar. Asmaku kambuh," pinta Saka dengan suara tercekik.
Anak yang tadi bergelut dengan Badai mencari dan memungut inhaler Saka, lalu menunggu sampai napas Saka melega.
"Bimo, dari kelas 6B," kata anak itu sambil tersenyum. "Ini sahabatku Dwi, kami sekelas. Kamu baik-baik saja? Namamu Saka, kan, ya?"
"Ck… udah jelas dia bonyok gitu kok pake ditanya-tanya segala. Udah, ke UKS aja, yuk," ajak Dwi.
"N-nggak usah!" refleks Saka menolak, tidak ingin bertemu anak PMR. Dia berusaha bangun, meringis menahan sakit. "A-aku enggak apa-apa, kok. Aku ke kelas aja, sebentar lagi pelajaran mau mulai."
Bimo dan Dwi berpandangan.
"Aku antar, ya," putus Bimo.
"Aku rapiin bentar videonya, segera aku kirim," kata Dwi pada Bimo.
"E-eh, jangan!" seru Saka. Bimo dan Dwi memandanginya. Saka menelan ludah.
"Makasih banyak kalian udah nolongin aku, t-tapi tolong video yang tadi j-jangan disebar, ya?"
"Kenapa, Saka?" tanya Bimo sambil mengerutkan kening.
Karena dia sahabatku? Membayangkan mengucapkan hal tersebut sudah bikin perut Saka melilit. Mereka akan mencemoohnya, menganggapnya bodoh karena masih menganggap Badai sebagai seorang sahabat.
Mereka benar, kan? Mana ada orang yang memukuli sahabatnya sendiri? Suara hatinya berbisik.
Mungkin dia memang bodoh, tapi dia tidak bisa melupakan semua kebaikan Badai begitu saja.
Saka menengadah, Bimo masih memperhatikannya. "Aku cuma enggak mau dia dikeluarkan dari sekolah. Ujian tinggal sebentar lagi. Aku ingin dia bisa lulus."
Dwi mendengus. "Aku tetap akan mengeditnya. Akan kukirim ke Bimo."
Bel masuk berbunyi. Bimo lalu mengantarnya ke kelas tanpa berkata apa-apa.
***
Bab Empat
Di Sini Kita Berpisah, Kuharap Kamu Menemukan Teman yang Lebih Baik
***
"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Bimo memastikan.
Saka mengangguk. "Kalian… kenapa bisa merekam video itu?"
Bimo tersenyum kecil. "Proyeknya si Dwi. Dia memasang CCTV kecil di gudang belakang."
Saka belum mengerti. "Buat apa?"
"Gak tahu, emang anaknya iseng gitu, hobi bikin film pendek. Baru dipasang hari Minggu. Mungkin dia mau nunggu penampakan buat bikin film horor?" Bimo meliriknya.
"Dia kaget waktu Senin pas lagi ngecek rekaman lihat Badai memalak kamu. Dia kasih tahu aku, aku langsung ke belakang. Cuma kamu udah keburu kabur. Aku gak tahu kamu kelas berapa, jadi kami memutuskan untuk menunggu saja di sana tadi pagi."
Ternyata Bimo anak ekskul pramuka. Siang itu juga Bimo meminta Ardi, salah satu anak pramuka yang jago bela diri, ikut membantunya mengawal Saka.
"Masukin nomor aku dan Ardi ke kontak emergensi kamu," kata Bimo. "Kalau Badai mencegatmu di jalan dan kamu butuh pertolongan, segera telpon."
Saka mengangguk. Perasaan haru menyeruak. Dia baru kenal dengan anak-anak pramuka ini, tapi mereka sudah begitu menjaganya.
Bimo bahkan memasukkannya ke grup WA Kekerabatan Pramuka SDN 03 Bintaro. Tiap malam ada saja anak yang iseng mengabsen anggota grup yang sedang online, mengajak bercanda atau menyemangati yang lagi belajar. Saka merasa menemukan rumah baru yang menerimanya dengan hangat.
"Saka. Jangan kasih dia duit lagi, oke?" pinta Bimo.
Sayangnya Badai tidak terima saat Senin berikut Saka menolak ikut ke gudang belakang dan bilang bahwa dia tidak bisa kasih uang lagi. Senin sore terjadilah kehebohan. Seseorang menempel foto Saka di mading sekolah. Dalam waktu cepat fotonya beredar di semua grup, termasuk grup pramuka.
***
Saka baru membuka ponselnya sepulang les biola. Semua grup sekolah yang dia ikuti ramai. Bimo sepuluh kali menelepon--Saka langsung menelepon balik.
"Saka! Itu beneran foto kamu?!" tanya Bimo saat mengangkat teleponnya.
"Foto yang mana, Bim?"
"Aku kirimin bentar."
Saat foto itu muncul, Saka langsung terduduk lemas. Di foto itu, Saka sedang merokok. Dia duduk di teras toserba Indomaret Point, rokok di tangan kiri. Dia menengok ke kanan, raut wajahnya keras. Alis berkerut dan matanya memicing, tidak pakai kacamata.
Ternyata Bimo anak ekskul pramuka. Siang itu juga Bimo meminta Ardi, salah satu anak pramuka yang jago bela diri, ikut membantunya mengawal Saka.
"Masukin nomor aku dan Ardi ke kontak emergensi kamu," kata Bimo. "Kalau Badai mencegatmu di jalan dan kamu butuh pertolongan, segera telpon."
Saka mengangguk. Perasaan haru menyeruak. Dia baru kenal dengan anak-anak pramuka ini, tapi mereka sudah begitu menjaganya.
Bimo bahkan memasukkannya ke grup WA Kekerabatan Pramuka SDN 03 Bintaro. Tiap malam ada saja anak yang iseng mengabsen anggota grup yang sedang online, mengajak bercanda atau menyemangati yang lagi belajar. Saka merasa menemukan rumah baru yang menerimanya dengan hangat.
"Saka. Jangan kasih dia duit lagi, oke?" pinta Bimo.
Sayangnya Badai tidak terima saat Senin berikut Saka menolak ikut ke gudang belakang dan bilang bahwa dia tidak bisa kasih uang lagi. Senin sore terjadilah kehebohan. Seseorang menempel foto Saka di mading sekolah. Dalam waktu cepat fotonya beredar di semua grup, termasuk grup pramuka.
***
Saka baru membuka ponselnya sepulang les biola. Semua grup sekolah yang dia ikuti ramai. Bimo sepuluh kali menelepon--Saka langsung menelepon balik.
"Saka! Itu beneran foto kamu?!" tanya Bimo saat mengangkat teleponnya.
"Foto yang mana, Bim?"
"Aku kirimin bentar."
Saat foto itu muncul, Saka langsung terduduk lemas. Di foto itu, Saka sedang merokok. Dia duduk di teras toserba Indomaret Point, rokok di tangan kiri. Dia menengok ke kanan, raut wajahnya keras. Alis berkerut dan matanya memicing, tidak pakai kacamata.
Dari sudut itu dia kelihatan sangar, seperti para berandalan yang mengepungnya. Mereka sedang bermain kartu, meja di depan penuh dengan kartu, kulit kacang, puntung rokok, dan kaleng bir.
Itu geng bully-nya Badai. Badai menyeretnya ke sana sepulang sekolah, menyuruhnya merokok. Karena tidak bisa, akhirnya Saka hanya pura-pura dan memegang puntungnya seolah habis menghisap.
Itu geng bully-nya Badai. Badai menyeretnya ke sana sepulang sekolah, menyuruhnya merokok. Karena tidak bisa, akhirnya Saka hanya pura-pura dan memegang puntungnya seolah habis menghisap.
Sebenarnya dia berpaling ke samping untuk menjauhkan diri dari asap rokok. Dia tidak tahu mukanya akan kelihatan seperti apa, yang jelas saat itu dia sedang menahan napas.
"Itu kamu, Sak?" tanya Bimo lagi. "Kamu merokok?"
Saka memejamkan mata.
"Iya, itu aku," jawabnya pelan. "Aku enggak bisa merokok, Bim. Aku punya asma."
Jangankan menghisap batang rokok, mencium asapnya saja sudah membuatnya batuk berkepanjangan dan asmanya kambuh. Waktu itu dia batuk terus. Duduk selama dua jam di sana benar-benar menyiksa.
Bimo diam sejenak. "Badai memaksamu?" bisik Bimo.
Saka mengepalkan tangannya yang gemetar. "Waktu itu kucingku sakit. Aku pake uang saku untuk berobat. Uang yang aku kasih ke Badai jauh lebih sedikit dari yang biasanya. Dia… marah besar. Dia memukul dan memaksaku ikut hang out bareng teman-temannya."
"Dia tahu kamu punya asma dan enggak bisa ngerokok, kan?" tanya Bimo perlahan.
Saka menggigit bibirnya. "Tahu, Bim. Dia ngambil kacamata dan inhaler aku dan enggak mau balikin kalau aku belum ikuti kemauannya. Asmaku kambuh sore itu. Dia baru ngasih dan nyuruh aku pulang waktu aku hampir pingsan."
"Saka… aku minta maaf, tapi aku terpaksa ambil tindakan. Ini udah gak bener banget, Sak. Dia udah aniaya kamu. Besok pasti rame. Kamu pasti dipanggil kepala sekolah. Aku akan kirim video itu sekarang. Besok aku akan temani kamu, oke."
Saka menggigit bibir. "Makasih ya Bim, aku nggak tahu harus gimana lagi."
Setelah selesai menelepon pintu kamar Saka terbanting terbuka. Kak Melia terlihat amat marah.
"Ini maksudnya apa?!" Dia mengacungkan ponselnya. Foto Saka ada di situ. Saka menelan ludah.
***
Kak Melia adalah perwakilan Mami di sekolah Saka. Mami sering tidak bisa menghadiri undangan dan acara dari sekolah, jadi Kak Melia yang menggantikannya. Kak Melia mendapat foto itu dari grup Orang Tua Siswa Kelas 6A. Tidak ada murid yang bergabung di grup itu, tapi tidak sulit untuk membayangkan perbincangan yang terjadi di sana.
"Jadi gimana ceritanya?" desak Kak Melia. Dia duduk di tempat tidur Saka, sementara Saka duduk di kursi meja belajar, tercenung menatap lantai.
"Ini semacam challenge gitu? Truth or dare? Prank untuk konten Youtube?"
Tenggorokan Saka tercekat.
"Saka… mending kamu jujur deh, daripada masalah ini sampai ke Mami. Kamu bakalan nyakitin Mami, tahu nggak?"
Saka meringis. "A-aku dipaksa, Kak."
"Maksudnya gimana? Kamu bakal dipukul kalo enggak nurut?"
Saka menutup wajahnya yang panas dengan kedua tangan, lalu mengangguk. Dia pasti kelihatan bodoh sekali… cowok macam apa yang tidak bisa melawan orang yang mendindasnya?
"Siapa yang bully kamu?"
"… Badai."
Kak Melia terdiam.
"Sejak kapan?" tanyanya muram.
Saka menggigit bibir.
"Awal kelas enam."
Kak Melia mengusap wajah. Rautnya yang tadi terlihat tidak sabar lantas berubah. Dia meraih tangan Saka, menatapnya dengan lembut.
"Foto ini waktu kamu pulang telat dan bilang duduk di samping bapak yang ngerokok di angkot?" tanyanya pelan.
Saka tidak sanggup menjawab, jadi dia hanya mengangguk.
"Kakak enggak pernah lihat kamu pulang babak belur. Dia sering mukul kamu?"
"Enggak pernah di wajah atau yang mudah terlihat," aku Saka. Dia berhenti sejenak, tidak yakin harus melanjutkan. "Biasanya di perut, rusuk, bahu, atau punggung."
Kak Melia terlihat sedih. Dia meremas jemari Saka. "Tadi kamu dipukuli lagi? Sekarang kamu lagi kesakitan, Saka?"
Saka menggeleng. "Aku dijagain sama anak pramuka sejak minggu lalu. Dia yang nyuruh aku--"
Saka berhenti, baru menyadari dia belum cerita tentang setoran uangnya, apalagi tentang mengerjakan PR Badai.
"Nyuruh kamu apa?"
Saka memejamkan mata. "Nyuruh aku berhenti ngasih uang saku ke Badai. Tadi pagi akhirnya aku bilang ke Badai, tapi sorenya foto ini udah beredar."
Sunyi mengisi ruangan.
"Ada lagi yang ingin kamu ceritakan?" tanya Kak Melia, satu tangan mengelus rambut Saka. "Kakak akan dengerin."
Saka menunduk, tidak tahu dari mana harus memulai.
"Kak… a-aku payah banget ya?" gumam Saka. "Badai dulu teman baikku. Tapi saat dia ada masalah keluarga aku enggak berhasil jadi teman yang baik untuknya. Mungkin… mungkin itu sebabnya dia jadi nakal."
Kak Melia menatapnya lama.
"Kamu enggak bisa melawan karena dia sahabatmu, ya? Kamu berharap kalau kamu terus menemaninya, suatu saat dia akan berubah dan kembali insyaf?"
Saka menggigit bibir dan mengangguk. Seandainya Badai bukan sahabatnya, Saka pasti akan melaporkan perbuatannya pada Mami sejak awal. Saka tidak akan membuatkan PR untuknya, tidak memberinya uang saku, dan tidak mau menuruti perintahnya.
"Apa dia memohon, mengancam, dan membuatmu merasa jadi teman yang terburuk sedunia kalau tidak menuruti perintahnya? Dia sering membuatmu mempertanyakan diri sendiri dan merasa bersalah, Saka?"
Saka memejamkan mata dan mengangguk.
Kak Melia menggenggam tangannya erat.
"Itu namanya toxic friend. Dia sakit, Saka, makanya dia menyiksa kamu secara fisik dan mental. Kamu enggak salah apa-apa. Kamu enggak berhutang padanya. Perbuatannya adalah pilihannya sendiri, kamu enggak bertanggung jawab atas kenakalan yang dia perbuat," kata Kak Melia perlahan.
"Kakak minta maaf masalah sebesar ini sampai bisa luput dari perhatian Kakak. Bukan cuma dia yang perlu disembuhkan, Saka, kamu juga. Nanti Kakak bicara sama Mami supaya kamu bisa konsultasi ke psikolog."
Saka terkejut. "Eng-enggak usah, Kak… Saka enggak apa-apa, kok."
Kak Melia menggeleng. "Pukulan dia mungkin udah enggak berbekas di badan kamu, tapi perkataan dan perlakuannya pada kamu pasti masih menyisakan sakit di sini," Kak Melia menyentuh dada Saka.
"T-tapi Kak--"
"Saka, kamu enggak bisa menyembuhkan temanmu. Kakak juga enggak bisa menyembuhkan luka mental kamu. Kita bukan psikolog," kata Kak Melia. Dia lalu menarik Saka ke dalam rangkulannya. "Kamu enggak bodoh. Kamu bukan teman yang payah. Kakak ngerti betapa kamu ingin temanmu berubah. Kamu teman yang baik, Saka."
A-ah. Akhirnya… akhirnya ada yang mengerti apa yang selama ini dia pikirkan, apa yang dia rasakan. Saka memeluk kakaknya erat, gemetar menahan tangis.
"Ssh… kamu telah berusaha sebaik mungkin. Kita hadapi bersama, ya? Semuanya akan baik-baik saja, Saka."
Keesokan harinya Kak Melia mengantar Saka ke sekolah. Kepala sekolah sudah memanggilnya lewat pesan WA. Bimo juga dipanggil. Badai tidak masuk sekolah, orang tuanya juga tidak bisa dihubungi.
Pak Kepala Sekolah menjelaskan bahwa dia sudah menerima video dari Bimo, juga rekaman audio saat Bimo menelepon Saka.
"Itu kamu, Sak?" tanya Bimo lagi. "Kamu merokok?"
Saka memejamkan mata.
"Iya, itu aku," jawabnya pelan. "Aku enggak bisa merokok, Bim. Aku punya asma."
Jangankan menghisap batang rokok, mencium asapnya saja sudah membuatnya batuk berkepanjangan dan asmanya kambuh. Waktu itu dia batuk terus. Duduk selama dua jam di sana benar-benar menyiksa.
Bimo diam sejenak. "Badai memaksamu?" bisik Bimo.
Saka mengepalkan tangannya yang gemetar. "Waktu itu kucingku sakit. Aku pake uang saku untuk berobat. Uang yang aku kasih ke Badai jauh lebih sedikit dari yang biasanya. Dia… marah besar. Dia memukul dan memaksaku ikut hang out bareng teman-temannya."
"Dia tahu kamu punya asma dan enggak bisa ngerokok, kan?" tanya Bimo perlahan.
Saka menggigit bibirnya. "Tahu, Bim. Dia ngambil kacamata dan inhaler aku dan enggak mau balikin kalau aku belum ikuti kemauannya. Asmaku kambuh sore itu. Dia baru ngasih dan nyuruh aku pulang waktu aku hampir pingsan."
"Saka… aku minta maaf, tapi aku terpaksa ambil tindakan. Ini udah gak bener banget, Sak. Dia udah aniaya kamu. Besok pasti rame. Kamu pasti dipanggil kepala sekolah. Aku akan kirim video itu sekarang. Besok aku akan temani kamu, oke."
Saka menggigit bibir. "Makasih ya Bim, aku nggak tahu harus gimana lagi."
Setelah selesai menelepon pintu kamar Saka terbanting terbuka. Kak Melia terlihat amat marah.
"Ini maksudnya apa?!" Dia mengacungkan ponselnya. Foto Saka ada di situ. Saka menelan ludah.
***
Kak Melia adalah perwakilan Mami di sekolah Saka. Mami sering tidak bisa menghadiri undangan dan acara dari sekolah, jadi Kak Melia yang menggantikannya. Kak Melia mendapat foto itu dari grup Orang Tua Siswa Kelas 6A. Tidak ada murid yang bergabung di grup itu, tapi tidak sulit untuk membayangkan perbincangan yang terjadi di sana.
"Jadi gimana ceritanya?" desak Kak Melia. Dia duduk di tempat tidur Saka, sementara Saka duduk di kursi meja belajar, tercenung menatap lantai.
"Ini semacam challenge gitu? Truth or dare? Prank untuk konten Youtube?"
Tenggorokan Saka tercekat.
"Saka… mending kamu jujur deh, daripada masalah ini sampai ke Mami. Kamu bakalan nyakitin Mami, tahu nggak?"
Saka meringis. "A-aku dipaksa, Kak."
"Maksudnya gimana? Kamu bakal dipukul kalo enggak nurut?"
Saka menutup wajahnya yang panas dengan kedua tangan, lalu mengangguk. Dia pasti kelihatan bodoh sekali… cowok macam apa yang tidak bisa melawan orang yang mendindasnya?
"Siapa yang bully kamu?"
"… Badai."
Kak Melia terdiam.
"Sejak kapan?" tanyanya muram.
Saka menggigit bibir.
"Awal kelas enam."
Kak Melia mengusap wajah. Rautnya yang tadi terlihat tidak sabar lantas berubah. Dia meraih tangan Saka, menatapnya dengan lembut.
"Foto ini waktu kamu pulang telat dan bilang duduk di samping bapak yang ngerokok di angkot?" tanyanya pelan.
Saka tidak sanggup menjawab, jadi dia hanya mengangguk.
"Kakak enggak pernah lihat kamu pulang babak belur. Dia sering mukul kamu?"
"Enggak pernah di wajah atau yang mudah terlihat," aku Saka. Dia berhenti sejenak, tidak yakin harus melanjutkan. "Biasanya di perut, rusuk, bahu, atau punggung."
Kak Melia terlihat sedih. Dia meremas jemari Saka. "Tadi kamu dipukuli lagi? Sekarang kamu lagi kesakitan, Saka?"
Saka menggeleng. "Aku dijagain sama anak pramuka sejak minggu lalu. Dia yang nyuruh aku--"
Saka berhenti, baru menyadari dia belum cerita tentang setoran uangnya, apalagi tentang mengerjakan PR Badai.
"Nyuruh kamu apa?"
Saka memejamkan mata. "Nyuruh aku berhenti ngasih uang saku ke Badai. Tadi pagi akhirnya aku bilang ke Badai, tapi sorenya foto ini udah beredar."
Sunyi mengisi ruangan.
"Ada lagi yang ingin kamu ceritakan?" tanya Kak Melia, satu tangan mengelus rambut Saka. "Kakak akan dengerin."
Saka menunduk, tidak tahu dari mana harus memulai.
"Kak… a-aku payah banget ya?" gumam Saka. "Badai dulu teman baikku. Tapi saat dia ada masalah keluarga aku enggak berhasil jadi teman yang baik untuknya. Mungkin… mungkin itu sebabnya dia jadi nakal."
Kak Melia menatapnya lama.
"Kamu enggak bisa melawan karena dia sahabatmu, ya? Kamu berharap kalau kamu terus menemaninya, suatu saat dia akan berubah dan kembali insyaf?"
Saka menggigit bibir dan mengangguk. Seandainya Badai bukan sahabatnya, Saka pasti akan melaporkan perbuatannya pada Mami sejak awal. Saka tidak akan membuatkan PR untuknya, tidak memberinya uang saku, dan tidak mau menuruti perintahnya.
"Apa dia memohon, mengancam, dan membuatmu merasa jadi teman yang terburuk sedunia kalau tidak menuruti perintahnya? Dia sering membuatmu mempertanyakan diri sendiri dan merasa bersalah, Saka?"
Saka memejamkan mata dan mengangguk.
Kak Melia menggenggam tangannya erat.
"Itu namanya toxic friend. Dia sakit, Saka, makanya dia menyiksa kamu secara fisik dan mental. Kamu enggak salah apa-apa. Kamu enggak berhutang padanya. Perbuatannya adalah pilihannya sendiri, kamu enggak bertanggung jawab atas kenakalan yang dia perbuat," kata Kak Melia perlahan.
"Kakak minta maaf masalah sebesar ini sampai bisa luput dari perhatian Kakak. Bukan cuma dia yang perlu disembuhkan, Saka, kamu juga. Nanti Kakak bicara sama Mami supaya kamu bisa konsultasi ke psikolog."
Saka terkejut. "Eng-enggak usah, Kak… Saka enggak apa-apa, kok."
Kak Melia menggeleng. "Pukulan dia mungkin udah enggak berbekas di badan kamu, tapi perkataan dan perlakuannya pada kamu pasti masih menyisakan sakit di sini," Kak Melia menyentuh dada Saka.
"T-tapi Kak--"
"Saka, kamu enggak bisa menyembuhkan temanmu. Kakak juga enggak bisa menyembuhkan luka mental kamu. Kita bukan psikolog," kata Kak Melia. Dia lalu menarik Saka ke dalam rangkulannya. "Kamu enggak bodoh. Kamu bukan teman yang payah. Kakak ngerti betapa kamu ingin temanmu berubah. Kamu teman yang baik, Saka."
A-ah. Akhirnya… akhirnya ada yang mengerti apa yang selama ini dia pikirkan, apa yang dia rasakan. Saka memeluk kakaknya erat, gemetar menahan tangis.
"Ssh… kamu telah berusaha sebaik mungkin. Kita hadapi bersama, ya? Semuanya akan baik-baik saja, Saka."
Keesokan harinya Kak Melia mengantar Saka ke sekolah. Kepala sekolah sudah memanggilnya lewat pesan WA. Bimo juga dipanggil. Badai tidak masuk sekolah, orang tuanya juga tidak bisa dihubungi.
Pak Kepala Sekolah menjelaskan bahwa dia sudah menerima video dari Bimo, juga rekaman audio saat Bimo menelepon Saka.
Selain itu ada kesaksian dari Friska juga. Saka hanya diminta memberikan pernyataan lengkap tentang apa yang sudah dilakukan Badai padanya selama ini. Saka menceritakan semua dari awal.
"Terima kasih, Saka. Bapak akan bicara dengan orang tuanya Badai."
Saka menatapnya cemas. "Pak, maaf… dia tidak dikeluarkan dari sekolah, kan? Badai… pernah cerita kalau dia ingin ikut ujian, agar bisa dapat ijazah SD. Dia tidak yakin orang tuanya bisa menyekolahkannya lagi tahun depan. Kalau Bapak keluarkan dia sekarang, dia akan putus sekolah."
Pak Kepala Sekolah tampak tertegun, lalu tersenyum pada Saka. "Kamu baik sekali, Nak. Kita akan cari jalan yang terbaik, yang jelas untuk sementara Badai akan kami skorsing."
"Mengenai pencemaran nama baik Saka bagaimana, Pak?" tanya Bimo. "Gara-gara foto itu semua anak jadi mencemoohnya."
"Kami sudah mengadakan rapat internal, nanti kami berikan klarifikasi dan sangkalan resmi dari sekolah, kalau foto itu bukan Saka, melainkan hasil editan photoshop dari oknum," kata Pak Kepala Sekolah dengan berat hati. "Maaf lho ya Saka, Dek Melia, jalan ini kami ambil karena bukan Saka saja yang merasakan dampak dari beredarnya foto itu. Nama baik sekolah juga ikut tercemar."
"Iya Pak, enggak apa-apa. Kami ikut jalan yang terbaik saja," jawab Kak Melia sambil tersenyum.
Mereka pun menyudahi pertemuan. Bimo memeluk dan menepuk punggung Saka.
"Sabar ya bro. Semua anak pramuka akan mendukung dan melindungi kamu."
Saka menggigit bibirnya. "Terima kasih, Bimo. Aku nggak tahu bisa membalas apa buat kamu dan teman-teman."
"Ah, enggak usah dipikirin. Emang udah seharusnya kita saling membantu teman," jawab Bimo sambil tersenyum.
"Terima kasih, Saka. Bapak akan bicara dengan orang tuanya Badai."
Saka menatapnya cemas. "Pak, maaf… dia tidak dikeluarkan dari sekolah, kan? Badai… pernah cerita kalau dia ingin ikut ujian, agar bisa dapat ijazah SD. Dia tidak yakin orang tuanya bisa menyekolahkannya lagi tahun depan. Kalau Bapak keluarkan dia sekarang, dia akan putus sekolah."
Pak Kepala Sekolah tampak tertegun, lalu tersenyum pada Saka. "Kamu baik sekali, Nak. Kita akan cari jalan yang terbaik, yang jelas untuk sementara Badai akan kami skorsing."
"Mengenai pencemaran nama baik Saka bagaimana, Pak?" tanya Bimo. "Gara-gara foto itu semua anak jadi mencemoohnya."
"Kami sudah mengadakan rapat internal, nanti kami berikan klarifikasi dan sangkalan resmi dari sekolah, kalau foto itu bukan Saka, melainkan hasil editan photoshop dari oknum," kata Pak Kepala Sekolah dengan berat hati. "Maaf lho ya Saka, Dek Melia, jalan ini kami ambil karena bukan Saka saja yang merasakan dampak dari beredarnya foto itu. Nama baik sekolah juga ikut tercemar."
"Iya Pak, enggak apa-apa. Kami ikut jalan yang terbaik saja," jawab Kak Melia sambil tersenyum.
Mereka pun menyudahi pertemuan. Bimo memeluk dan menepuk punggung Saka.
"Sabar ya bro. Semua anak pramuka akan mendukung dan melindungi kamu."
Saka menggigit bibirnya. "Terima kasih, Bimo. Aku nggak tahu bisa membalas apa buat kamu dan teman-teman."
"Ah, enggak usah dipikirin. Emang udah seharusnya kita saling membantu teman," jawab Bimo sambil tersenyum.
***
Epilog
***
Setelah memutus hubungan dengan Badai, semua berangsur membaik. Saka tidak perlu pontang-panting mengerjakan PR Badai lagi. Jadwal kegiatan Saka kembali normal, nilainya pun perlahan naik.
Konsultasi dengan psikolog membantu Saka memaafkan dan menerima diri sendiri. Dia semakin dekat dengan anak-anak pramuka, namun tidak ikut bergabung ke ekskul tersebut karena sudah dekat masa ujian.
"Insya Allah tahun depan aku mau ikut, kalau kita satu sekolah lagi," ucapnya pada Bimo. Bimo menyambutnya dengan semangat.
Dua minggu setelah ujian Saka menerima telepon dari nomor tidak dikenal.
"Saka?"
Saka membeku. Suara itu… Saka menggenggam ponselnya erat. Rasa takut menyergapnya tiba-tiba.
Orang itu berdehem. "Saka, ini aku, Badai. Kamu lagi di rumah?"
Saka berpaling, setengah yakin Badai akan muncul dari balik jendela.
Hari itu Kamis sore. Seperti biasa rumahnya kosong, Saka sendirian di rumah. Dia sedang bermain biola di kamar, ditemani kucingnya si Buntal.
"Maaf nelpon tiba-tiba, tapi ini… ini mungkin terakhir kali aku bisa ngomong sama kamu," kata Badai pelan. "Aku di depan rumah kamu. Aku… boleh ketemu?"
Jantung Saka berdebar, napasnya mulai berantakan. Dia dan Badai sama-sama menjalani program konsultasi pada psikolog. Psikolognya bilang dia boleh bertemu Badai kapan pun dia siap. Masalahnya Saka sama sekali tidak merasa siap.
"Saka?"
"A-aku di rumah," bisik Saka. "Aku akan ke teras depan. T-tolong, jangan masuk."
Badai terdiam. "Aku mengerti. Aku di luar pagar. Aku enggak bermaksud buruk. Aku cuma ingin lihat keadaanmu."
Saka lalu berjalan ke teras depan. Dia berhenti di bawah kanopi teras, di samping jejeran pot bunga. Benar saja, Badai menunggu di balikgerbang, hanya sepuluh meter di depan Saka. Untuk sesaat mereka hanya berpandangan, tidak melepas ponsel masing-masing.
"Kamu kelihatan jauh lebih baik dari sebelumnya," gumam Badai. "Kamu sehat, Saka? Asma kamu masih sering kambuh?"
Saka menggeleng. "Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri gimana?"
Badai mengedikkan bahu, tersenyum tipis. "Seperti yang kamu lihat. Tenang saja, sekarang aku bisa makan setiap hari."
Saka menggigit bibir, tidak tahu mau bilang apa. "Besok mamamu datang untuk ambil raport?"
Badai membeku, raut wajahnya berubah. "Mamaku sudah meninggal, Saka," ujarnya pelan.
Saka memucat. "Maaf, Dai, aku nggak tahu. Sejak kapan?"
Badai memejamkan mata. "Seminggu sebelum ujian. Mama sakit kanker paru-paru. Penyakit itu adalah salah satu alasan kenapa dulu aku mencari uang dengan membabi-buta. Di rumah sakit, ternyata mamimu yang menangani Mama. Mamimu baik sekali, dia membantuku agar bisa menemani Mama di saat-saat terakhirnya."
Oh… jadi itu sebabnya Saka tidak pernah melihat Badai lagi di sekolah. Dia hanya tahu sekolah meminta Badai mengikuti pembelajaran jarak jauh dari rumah.
"Kamu baik-baik saja, Dai?" tanya Saka khawatir.
Badai mengangguk. "Aku akan pindah ikut Papa ke New Zealand. Besok Papa mengambil raport dan mengurus dokumen sekolahku. Lusa kami berangkat, makanya… aku ingin ketemu kamu sebelum pergi."
Badai menarik napas, lalu menatap Saka lekat. "Aku… mau berterima kasih pada kamu, Saka. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku tidak bisa ikut ujian. Kamu… sabar sekali padaku, terus memberi aku kesempatan untuk memperbaiki kelakuanku, walau aku sudah menyakiti kamu lahir dan batin," bisik Badai, suaranya bergetar.
"Saka, Aku juga mau meminta maaf. Aku tahu, enggak ada yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahan dan membalas semua kebaikanmu. Aku cuma bisa mendoakan semoga Tuhan memberimu kehidupan yang baik. Aku pun akan terus berusaha memperbaiki diri. Semua kenangan tentang kamu akan aku simpan baik-baik, karena kamu hal yang terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku enggak tahu kenapa aku bisa mendapat teman sebaik kamu," ujar Badai tercekat. Dia mengusap pipinya yang basah.
"Aku akan belajar sebaik mungkin agar bisa menjadi dokter seperti keluargamu. Aku ingin membalas budi baik kalian dengan membaktikan diri di jalan yang sama. Aku ingin menjadi orang baik dan meneruskan kebaikan kalian pada orang lain yang butuh bantuan. Maafin aku, Saka. Aku benar-benar minta maaf."
Saka terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasa sakit yang ditinggalkan Badai kadang masih terasa, Saka pun sedang berjuang memulihkan diri. Tapi dia sungguh bersyukur akhirnya Badai bisa kembali ke jalan yang benar. Pengorbanannya selama ini ternyata tidak sia-sia.
"A-aku sudah memaafkan kamu, Dai. Aku senang sekali semua berakhir baik untukmu. Aku doakan semoga amal baik mamamu diterima di sisi-Nya, dan semoga kamu mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik bersama papamu ya…"
Badai terisak, menangis tanpa suara. Untuk sesaat tidak ada yang bicara. "Kamu teman yang baik sekali, Saka. Aku sungguh beruntung bertemu denganmu. Salam buat keluargamu, ya… Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali, dengan kondisi yang lebih baik dari sekarang. Semoga pada saat itu aku diberikan kesempatan untuk membalas budi baikmu."
Badai lalu mematikan teleponnya. Mereka bersitatap sambil tersenyum. Badai mengangguk padanya, lalu berbalik pulang. Saka lantas terduduk di tepian paving block teras. Rasanya lemas dan lega, seperti habis menangis semalaman. Si Buntal mengeong dan menempelkan kepala di betis Saka, seolah bertanya apa dia baik-baik saja. Saka tertawa kecil. Dia menggendong Buntal ke dalam pangkuan dan mengelus-elus kepalanya.
"Aku baik-baik saja, Buntal. Semuanya akan baik-baik saja."
***
SELESAI
"Insya Allah tahun depan aku mau ikut, kalau kita satu sekolah lagi," ucapnya pada Bimo. Bimo menyambutnya dengan semangat.
Dua minggu setelah ujian Saka menerima telepon dari nomor tidak dikenal.
"Saka?"
Saka membeku. Suara itu… Saka menggenggam ponselnya erat. Rasa takut menyergapnya tiba-tiba.
Orang itu berdehem. "Saka, ini aku, Badai. Kamu lagi di rumah?"
Saka berpaling, setengah yakin Badai akan muncul dari balik jendela.
Hari itu Kamis sore. Seperti biasa rumahnya kosong, Saka sendirian di rumah. Dia sedang bermain biola di kamar, ditemani kucingnya si Buntal.
"Maaf nelpon tiba-tiba, tapi ini… ini mungkin terakhir kali aku bisa ngomong sama kamu," kata Badai pelan. "Aku di depan rumah kamu. Aku… boleh ketemu?"
Jantung Saka berdebar, napasnya mulai berantakan. Dia dan Badai sama-sama menjalani program konsultasi pada psikolog. Psikolognya bilang dia boleh bertemu Badai kapan pun dia siap. Masalahnya Saka sama sekali tidak merasa siap.
"Saka?"
"A-aku di rumah," bisik Saka. "Aku akan ke teras depan. T-tolong, jangan masuk."
Badai terdiam. "Aku mengerti. Aku di luar pagar. Aku enggak bermaksud buruk. Aku cuma ingin lihat keadaanmu."
Saka lalu berjalan ke teras depan. Dia berhenti di bawah kanopi teras, di samping jejeran pot bunga. Benar saja, Badai menunggu di balikgerbang, hanya sepuluh meter di depan Saka. Untuk sesaat mereka hanya berpandangan, tidak melepas ponsel masing-masing.
"Kamu kelihatan jauh lebih baik dari sebelumnya," gumam Badai. "Kamu sehat, Saka? Asma kamu masih sering kambuh?"
Saka menggeleng. "Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri gimana?"
Badai mengedikkan bahu, tersenyum tipis. "Seperti yang kamu lihat. Tenang saja, sekarang aku bisa makan setiap hari."
Saka menggigit bibir, tidak tahu mau bilang apa. "Besok mamamu datang untuk ambil raport?"
Badai membeku, raut wajahnya berubah. "Mamaku sudah meninggal, Saka," ujarnya pelan.
Saka memucat. "Maaf, Dai, aku nggak tahu. Sejak kapan?"
Badai memejamkan mata. "Seminggu sebelum ujian. Mama sakit kanker paru-paru. Penyakit itu adalah salah satu alasan kenapa dulu aku mencari uang dengan membabi-buta. Di rumah sakit, ternyata mamimu yang menangani Mama. Mamimu baik sekali, dia membantuku agar bisa menemani Mama di saat-saat terakhirnya."
Oh… jadi itu sebabnya Saka tidak pernah melihat Badai lagi di sekolah. Dia hanya tahu sekolah meminta Badai mengikuti pembelajaran jarak jauh dari rumah.
"Kamu baik-baik saja, Dai?" tanya Saka khawatir.
Badai mengangguk. "Aku akan pindah ikut Papa ke New Zealand. Besok Papa mengambil raport dan mengurus dokumen sekolahku. Lusa kami berangkat, makanya… aku ingin ketemu kamu sebelum pergi."
Badai menarik napas, lalu menatap Saka lekat. "Aku… mau berterima kasih pada kamu, Saka. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku tidak bisa ikut ujian. Kamu… sabar sekali padaku, terus memberi aku kesempatan untuk memperbaiki kelakuanku, walau aku sudah menyakiti kamu lahir dan batin," bisik Badai, suaranya bergetar.
"Saka, Aku juga mau meminta maaf. Aku tahu, enggak ada yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahan dan membalas semua kebaikanmu. Aku cuma bisa mendoakan semoga Tuhan memberimu kehidupan yang baik. Aku pun akan terus berusaha memperbaiki diri. Semua kenangan tentang kamu akan aku simpan baik-baik, karena kamu hal yang terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku enggak tahu kenapa aku bisa mendapat teman sebaik kamu," ujar Badai tercekat. Dia mengusap pipinya yang basah.
"Aku akan belajar sebaik mungkin agar bisa menjadi dokter seperti keluargamu. Aku ingin membalas budi baik kalian dengan membaktikan diri di jalan yang sama. Aku ingin menjadi orang baik dan meneruskan kebaikan kalian pada orang lain yang butuh bantuan. Maafin aku, Saka. Aku benar-benar minta maaf."
Saka terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasa sakit yang ditinggalkan Badai kadang masih terasa, Saka pun sedang berjuang memulihkan diri. Tapi dia sungguh bersyukur akhirnya Badai bisa kembali ke jalan yang benar. Pengorbanannya selama ini ternyata tidak sia-sia.
"A-aku sudah memaafkan kamu, Dai. Aku senang sekali semua berakhir baik untukmu. Aku doakan semoga amal baik mamamu diterima di sisi-Nya, dan semoga kamu mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik bersama papamu ya…"
Badai terisak, menangis tanpa suara. Untuk sesaat tidak ada yang bicara. "Kamu teman yang baik sekali, Saka. Aku sungguh beruntung bertemu denganmu. Salam buat keluargamu, ya… Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali, dengan kondisi yang lebih baik dari sekarang. Semoga pada saat itu aku diberikan kesempatan untuk membalas budi baikmu."
Badai lalu mematikan teleponnya. Mereka bersitatap sambil tersenyum. Badai mengangguk padanya, lalu berbalik pulang. Saka lantas terduduk di tepian paving block teras. Rasanya lemas dan lega, seperti habis menangis semalaman. Si Buntal mengeong dan menempelkan kepala di betis Saka, seolah bertanya apa dia baik-baik saja. Saka tertawa kecil. Dia menggendong Buntal ke dalam pangkuan dan mengelus-elus kepalanya.
"Aku baik-baik saja, Buntal. Semuanya akan baik-baik saja."
***
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar