Halaman

Selasa, 21 Juli 2020

Character - Bakti

Bakti

Oleh: Caritra Sari



***

Bab Satu

Kalau Bisa Melihat masa Depan

***

Kalau bisa melihat masa depan, tentu Bakti akan pulang cepat siang itu.

Pulang sekolah seharusnya dia menemani Ibu cuci darah ke rumah sakit, tapi Egi, anak paling tajir dan jago basket di kelas 9 saat itu, mengajaknya nonton lomba motor. Lebih tepatnya, balapan liar geng motor kampung sebelah.

"Deket, kok, di Sektor Satu. Paling cuma sebentar," Egi yang belum punya SIM kelihatan keren waktu dia mengeluarkan motor gede dari parkiran samping kantin--entah kenapa tidak ada guru yang menegurnya bawa motor ke sekolah.

Bakti yang bukan siapa-siapa--hanya anak yang ditakuti karena wajahnya seram, tinggi, dan berbadan besar--kontan langsung melompat naik saat Egi menawari boncengan.

Di lokasi Egi lalu mengenalkannya pada ketua geng, Desta, beserta kroni-kroninya. Rata-rata anak kelas 11 dan 12, semua tersenyum ramah saat menyambut Bakti. Tidak ada yang menganggapnya anak kecil, tidak ada yang meremehkan. Mereka mengajak mengobrol, tertawa oleh guyonan Bakti, dan menjawab segala keingintahuannya tentang modifikasi motor.

"Temen lo asik, Gi," kata Desta. Egi cuma nyengir dan menepuk-nepuk pundak Bakti. "Ntar abis racing nongkrong di Burger Spot, yuk. Gue yang traktir."

Ibarat ikan yang sudah tersangkut kail, Bakti yang sudah berbunga-bunga dengan senang hati menerima ajakan tersebut. Dia pun pergi main sampai malam.

Sesekali pulang terlambat tidak apa-apa, bukan? Ibu pasti mengerti.

Kalau saja dia tahu siang itu Ibu pergi sendiri dan tewas tertabrak motor saat dia sedang tertawa lepas bersama teman-teman barunya, tentu dia tidak akan menganggap hari itu hari yang terbaik dalam hidupnya.

***

Bakti tidak sempat melihat ibunya untuk terakhir kali.

Tidak sempat menunjukkan hasil ulangan matematikanya yang dapat 100. Tidak sempat memberitahu dia terpilih jadi peserta terbaik dalam coding bootcamp yang didaftarkan Ibu. Tidak sempat berbagi video kucing yang semalam dia temukan ke WA ibunya. Tidak sempat bilang pagi itu nasi goreng rendang hasil eksperimen Ibu rasanya lezat sekali.

Tidak sempat memeluk Ibu dan bilang sayang.

Tidak sempat meminta maaf karena tadi lupa mengabari kalau dia main sama Egi dan akan pulang telat.

Ketika dia pulang, mereka sedang mengubur ibunya.

Semua terasa seperti mimpi buruk. Ayah tidak menegurnya--dia seperti tidak ada di mata Ayah sebagaimana Ayah sering tidak ada untuknya. Hanya Ibu yang selalu ada dan Bakti baru benar-benar menyadari Ibu sudah tiada pada keesokan sorenya.

Pagi buru-buru berangkat--kenapa semua orang di sekolah memandanginya dan mengucap belasungkawa? Rumah kosong saat dia pulang, pasti Ibu sedang pergi ke pasar. Namun, sampai malam Ibu belum pulang. Setelah PR beres Bakti mengeluh lapar, memanggil Ibu, dan cepat duduk manis di ruang makan. Biasanya Ibu akan segera membuatkannya makan, tapi kali itu Ibu tidak kunjung menjawab.

Ibu tidak akan bisa menjawab panggilannya.

Tidak akan mengacak rambut dan mencium keningnya.

Bakti tidak akan pernah lagi melihat senyumnya. Rumah terasa sangat sepi tanpa Ibu. Dia kini sendiri.

Kalau saja ayahnya tidak sibuk dan sempat mengantar Ibu ke dokter waktu itu, tentu Ibu tidak akan mati.

Beberapa bulan berlalu dan malam itu Bakti menutup pintu rumah, sedikit meringis. Perutnya tadi sempat kena tinju, rahangnya sedikit lebam. Tidak apa-apa, toh lawannya sekarang sudah tak berdaya. Geng lawan kalah telak dalam tawuran kali itu. Walau statusnya selama ini seperti seorang penggemar yang mengintil artis idola, Desta mengizinkannya ikut membela nama geng mereka.

"Oi! Minum dulu buat sang juru selamat!" Begitu Desta memujinya di depan semua anggota geng, jadi sakit sedikit adalah hal yang sebanding.

Bakti ingin segera roboh di kamar dan tidur untuk menghilangkan pusing, tapi rupanya Ayah sudah menunggunya dari tadi.

"Bakti! Dari mana saja kamu?!" bentaknya. Pandangan tajamnya tidak luput dari baju seragam yang lecek dan kotor, rambut yang acak-acakan, dan bercak darah yang belum diseka. Tentu saja, Ayah juga pasti mencium bau alkohol.

"Bagus! Habis tawuran kamu?! Sudah berani minum-minum kamu ya? Udah ditungguin bukannya pulang--"

Bakti terlalu lelah menunggu Ayah hadir untuknya, sampai-sampai tidak bisa mengerem mulutnya seperti biasa. "Kalau iya emang kenapa?"

Ayah sontak menamparnya.

"Kurang ajar kamu! Berani durhaka sama orang tua, hah?! Sudah membunuh ibu sendiri, sekarang membangkang--"

"Ibu mati karena Ayah nggak becus menjaga--"

Ayah lalu meledak.

Malam itu Bakti terkapar setengah sadar di lantai kamarnya, menyesal karena tadi tidak membawa pulang botol alkohol yang dibelikan Desta. Selama ini dia masih menolak minum walau semua orang di sekitarnya membujuk, tapi barangkali… kalau dia minum sampai mabuk, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini.

***

Ayah berhenti memberinya uang saku secara rutin. Tergantung mood saja, Ayah kadang memberinya uang saat ingat bahwa Bakti masih ada, tapi seringnya tidak.

Hari ini adalah hari ulang tahun yang terburuk.

Bakti sudah tiga hari belum makan ketika Desta menyuruh datang ke markas dan memberinya sebuah misi. Kalau berhasil maka dia resmi diangkat menjadi anggota geng. Tugasnya hanya memberi pelajaran pada salah seorang anggota geng lawan yang kemarin menghina Desta. Bakti tidak peduli apakah dia akan menjadi anggota resmi atau tidak--toh selama ini dia sudah loyal pada geng mereka. Dia hanya menyadari satu hal.

Kalau dia mengikuti perintah, Desta akan senang. Kalau lagi senang, Desta akan mentraktirnya makan. Artinya walau tidak mendapat uang dari Ayah, dia tidak akan kelaparan. Tidak perlu disuruh dua kali, Bakti langsung melaksanakan tugas.

Ketika ditemukan, targetnya sedang memalak anak kecil, mungkin masih kelas dua atau tiga SD. Cih, benar-benar memalukan. Dia menghentikan dan menyuruh anak kecil itu pulang, lalu menghajar musuhnya sampai KO.

Setelah kenyang makan, dia bersantai di markas sampai malam. Rumah kosong karena Ayah ke luar kota, jadi buat apa buru-buru pulang?

"Aku sudah dengar tentang kasus tabrak lari ibumu," kata Desta penuh perhatian. "Jangan khawatir, kita akan menyelidikinya dan membalas dendam."

Bakti mengerjap. Belum pernah ada orang yang berhasil membaca pikirannya.

Di malam-malam yang sunyi, kerinduan pada Ibu menjerat dadanya dalam belitan duri tajam. Masa lalu tidak dapat diubah, tapi masa depan? Kalau Bakti bisa menemukan orang yang telah menabrak ibunya, dia akan membereskannya.

Nyawa harus dibayar dengan nyawa, itu baru adil. Ibu akan beristirahat dengan tenang.

Dia akan terbebas dari rasa bersalah yang begitu menyiksa.

Desta mengembalikannya pada masa kini. Dia meletakkan dan membuka minuman kaleng kecil yang jelas bukan berisi air putih di depan Bakti, lalu mengajaknya bersulang.

"Untuk awal yang baru," ujarnya sambil mengangkat alis, seolah mempertanyakan pendirian Bakti saat itu.

Bakti mengambil kaleng itu dengan perlahan, lalu mengangkatnya tanda setuju.

Tidak usah dipertanyakan lagi, bukan? Tidak ada lagi yang peduli padanya seperti Desta. Entah Desta yang mengadopsi Bakti atau sebaliknya, Bakti kini punya keluarga baru.

"Untuk awal yang baru." Bakti lalu menenggak minumannya.

"Oh, ya. Selamat ulang tahun. Great job buat misi pertama kamu!"

Bakti tertawa.

Malam itu terasa panjang. Hari itu batal jadi hari ulang tahun terburuk. Semua permasalahan hidup Bakti sepertinya mulai tersusun rapi. Dia tidak sabar menunggu hari esok yang terlihat cerah. Malam ini terasa begitu sempurna.

Bakti genap berusia 16 tahun saat mabuk untuk yang pertama kalinya.

***

Bab Dua

Kamu Membuat Ibu Mati

***

Kamu di mana? Pulang ke rumah sekarang.
Pesan dari Ayah satu jam yang lalu itu baru dia baca. Setelah itu ada sembilan missed call, semua dari Ayah. Tadi tidak terdengar karena Bakti mensenyapkan ponselnya saat sedang bersama Desta menonton balapan. Bakti lalu mendengus dan melempar tubuhnya ke sofa.

"Kenapa, Ti?"

"Enggak, cuma disuruh pulang sama orang rumah. Males, ah."

Temannya cuma tertawa. Bakti membuka aplikasi permainan di ponsel dan asik main sampai tiba-tiba sebuah pangilan masuk menutupi layar ponsel.

Ayah.

Dia membiarkannya tidak terangkat. Sayangnya permainannya sudah berakhir.

You lose! Begitu tertera di layar.

Bakti berdecak dan dengan dongkol mengulang permainan tersebut. Saat sudah hampir berhasil menyelesaikan, panggilan masuk kembali membuatnya kalah.

Siaaal!

Bakti menekan tombol "Tolak".

Tak berapa lama sebuah pesan masuk.

Bakti! Angkat teleponnya, penting! Dari Ayah.

Ugh, benar-benar menyebalkan!

Bakti memasukkan ponselnya ke tas, tidak sengaja melihat buku PR yang belum dia kerjakan. Ah, dikerjakan atau tidak, tidak ada pengaruhnya. Sekarang sudah mau UTS. Nilai-nilainya sudah terjun bebas sejak awal semester, jadi bikin PR atau tidak nilainya tidak akan langsung berubah jadi bagus. Lagipula selama ini Ayah tidak tidak peduli, bukan? Tidak pernah menanyakan nilai dan sebagainya.

Namun, lima belas menit tanpa ponsel dan sedang tidak berminat mengobrol, rasa bosan akhirnya mendorongnya mengambil buku dan mengerjakan PR. PR selesai tidak lantas membuat mood-nya membaik. Begitu memegang ponselnya lagi, sudah ada banyak missed call dan pesan dari Ayah. Bakti tidak membacanya, kepalanya mendadak pusing.

"Aku duluan ya, ada urusan," kata Egi menepuk pundaknya tidak lama kemudian. Bakti cuma mengangguk. Egi lalu meninggalkan sebuah obat tablet berwarna putih padanya.

"Apaan, nih?"

"Obat sakit kepala. Abis kasihan kayaknya mukamu kok ngenes banget gitu," jawab Egi nyengir. "Sampai ketemu besok."

Bakti lalu meminumnya.

Obatnya… sangat manjur.

Sakit kepalanya menghilang, badannya terasa ringan dan nyaman. Bakti merasa lebih kuat, seolah bisa melakukan apa saja. Semua masalah terasa kecil dan remeh. Ponselnya bergetar, ada panggilan dari Ayah. Ah, namanya orang tua wajar kalau khawatir. Mungkin memang saatnya pulang, pasti ayahnya senang dia sudah bikin PR.

Ternyata ada tamu di rumah. Seorang perempuan cantik, berdiri di samping Ayah dengan wajah cemas. Ayah memperhatikan dan menatapnya marah. Entah bagaimana memperkenalkan perempuan itu sebagai calon istrinya yang baru.

Belum genap setahun Ibu meninggal, Ayah sudah ingin menggantikan Ibu?

Bakti tidak begitu ingat--oke, lebih tepatnya dia tidak peduli karena itu bukan hal penting, makanya buat apa diingat--apa yang dia katakan pada mereka, tapi Ayah menamparnya.

Oh. Apa itu hobi baru ayahnya? Muka ayahnya lucu waktu memerah marah. Apa yang perlu dimarahi, sih?

Bakti tertawa.

Ayah menyeretnya ke kamar dan menghajarnya. Bakti tidak melawan--bukankah selama ini dia sudah jadi anak baik? Dia tidak pernah melawan saat Ayah menghukumnya!

Yah, pokoknya kali itu tidak sakit, jadi tidak perlu dipikirkan. Mungkin akhirnya Ayah kasihan dan mau mulai menyayanginya. Yay! Terserahlah, Bakti cuma mengantuk, ingin tidur.

Saat terbangun di lantai keesokan harinya dengan kepala berdenyut kencang dan setiap inci tubuhnya sakit, semua cacian Ayah terus berputar di benak dan menelanjangi semua kebobrokannya, tidak bisa bernapas karena dia tengah dikubur dalam kamu membuat Ibu mati, Bakti cuma bisa meringkuk dan menangis.

***

"Ti, ada yang nyariin, tuh," kata teman sebangkunya.

Bakti melirik ke pintu kelas, malas bergerak. Badan meriang dan kepala sakit, tanda dia mulai nagih. Boro-boro punya uang buat beli obat itu lagi--oh ya, Egi ternyata jualan dan menolak memberikan "obat sakit kepala"-nya secara gratis--uang buat makan saja tidak ada. Belum ada tugas baru dari Desta, jadi dia belum bisa makan.

Ada seorang anak laki-laki di depan kelas, sepertinya adik kelas. Anak itu melambai saat pandangan mereka bertemu, membuat beberapa orang menoleh ke arah Bakti.

Huh, siapa, sih?!

Bakti meringis saat beranjak bangun. Dia berjalan sampai ke pojok lorong yang tidak terlihat dari kelas. Anak berseragam pramuka itu tentu saja mengikutinya.

"Kak Bakti, ya?" tanya anak itu setelah mereka berhenti.

Bakti memelototinya, bete. "Ada apa?"

Kurus, berkacamata, hanya setinggi bahunya, berbaju rapi--Bakti berani bertaruh dia duduk di deretan terdepan di kelas--anak model begini biasanya tidak ada yang berani mendekati Bakti, tapi anak itu dengan tenang mengulurkan tangan dan tersenyum.

"Saya Darma, Kak, dari kelas 8A. Mau ngasih ini." Darma menyerahkan bungkusan kotak bergambar mangkok bakso dan bertulisan "Selamat Menikmati". Wangi kuahnya benar-benar menggugah selera.

Bakti mengerutkan kening, tapi menerimanya sebelum perutnya keburu berbunyi dan membuatnya malu.

"Apaan nih?"

"Kak Bakti pernah nyelamatin adik saya dari tukang palak. Makasih banyak ya, Kak. Maaf baru nyadar kalau dulu Kak Bakti yang nolongin. Habisnya si Satya deskripsiin orangnya enggak jelas, maklumlah masih kelas 3 SD. Waktu itu dia juga bener-bener ketakutan, jadi enggak terlalu perhatiin ciri-ciri Kakak. Pas kemaren dateng ke bazaar sekolah dan ngelihat Kak Bakti secara langsung dia baru bilang."

Bakti mengerjap, bingung anak ini menyerocos tentang apa. Karena kepalanya masih sakit dan tidak mau repot, akhirnya Bakti cuma mengangguk.

"Aku bikin baksonya sendiri. Maaf kalau ukurannya enggak sama hehehe… tapi kuahnya pasti enak, kok, soalnya bikinan Bunda."

Bel masuk berbunyi dan anak itu pamit pergi.

Siang itu Bakti sedang menghabiskan bakso malang dari Darma di markas ketika Desta memanggilnya.

"Aku sudah menemukan orang yang menabrak ibumu," ujar Desta sambil tersenyum, memberikan secarik foto yang belakangnya berisi nama dan alamat orang yang dimaksud. Ah, ternyata masih sepantaran Desta. "Anak SMA 86. Egi bilang kalau sore anak itu sering lewat lapangan bola deket rumahnya."

Bakti mengangguk, meneguk minumnya dan menyeringai.

"Kalau butuh motor pakai punyaku aja. Kunci ada di meja."

***

Ah, ini terlalu mudah. Bakti menarik pedal gas dan melesat. Kepalanya terasa ringan, sekosong jalanan pada sore hari itu. Dia hanya perlu mengunci fokus pada target, tepat segaris dengan jalur laju motornya. Senggol keras sampai terpental, lalu langsung kabur. Begitu saja rencananya.

Dunia menjadi sunyi, ikut menahan napas.

Dua puluh meter.

Bakti menahan panas di dada yang memberontak ingin keluar.

Sepuluh meter.

Ini untukmu, Ibu.
Lengkingan peluit dari anak-anak yang sedang latihan pramuka di lapangan membelokkan konsentrasinya sesaat.

Lima meter sebelum titik tujuan, motor itu terantuk lubang. Menabrak target dan hilang kendali, suara rem berdecit ngilu. Motornya selip dan berputar.

Bakti terlempar jauh. Menghantam pohon, terguling. Entah apa yang membuatnya terhenti. Terkapar di tanah, terengah memandangi langit jingga yang diam menyaksikan perbuatannya.

Bukannya berhasil mencelakai orang lain, dia malah mencelakai diri sendiri.

Bakti ingin tertawa histeris.

Mungkin… akhirnya sore ini dia diizinkan untuk bertemu Ibu.

Lalu rasa sakit merenggut kesadarannya.

***

Bab Tiga

Seandainya, Seandainya, Seandainya

***

Bakti… Bakti… bangunlah.

Bakti mengerjap. Apa Ibu barusan menyuruhnya bangun?

Ugh, kepalanya pening. Seseorang menempelkan kompres dingin ke atas keningnya. Dia berusaha untuk duduk, lalu memekik saat rusuknya meraung sakit. Orang itu menahannya sebelum dia jatuh.

"Pelan-pelan, Kak. Rusukmu memar."

Suara itu… perlahan pandangannya pulih. Darma sedang menatapnya khawatir. Bakti ingin tanya kenapa dia ada di sana, tapi untuk bernapas saja sulit. Dadanya seperti ditusuk-tusuk pecahan kaca.

"Di, udah telpon ambulans belum?" seseorang bertanya panik.

"Aku enggak ada pulsa!"

"Pake ponselku aja, ada di tas," tukas Darma setengah berteriak. Bakti meringis, suara Darma terlalu kencang.

"Cepetan, kepalanya bocor. Korbannya udah enggak napas!"

Ah. Jadi dia berhasil?

Bakti ingin melihat sendiri orang yang ditabraknya benar-benar mati, tapi dia masih belum bisa bergerak. Rasanya lebih sakit dari pukulan Ayah. Namun, karena sepertinya misinya sukses, tentu saja ini semua adalah harga yang sebanding.

"Hubungi polisi dan orang tua mereka!"

Mendadak Bakti membeku.

Polisi… dan Ayah?

Tentu saja, kamu kan tertangkap basah menabrak orang sampai mati. Salahmu sendiri tidak bisa kabur. Selamat menikmati hari-hari di penjara.

… sial. Dia tidak berpikir sejauh itu.

***

Bakti tidak percaya keberuntungannya.

Darma memberikan kesaksian bahwa motornya selip dan tidak sengaja menabrak korban. Seorang pembina pramuka di lokasi kejadian juga melihat hal yang sama. Bakti tidak mau mengoreksi mereka, bahwa itu sebenarnya bukan kecelakaan.

Dia sudah sengaja mengambil nyawa orang.

Entah kenapa perutnya mulas. Bakti menggigit giginya kuat-kuat, menahan dorongan muntah. Mereka masih di rumah sakit, ibu si korban menangis memeluk jasad anaknya.

Ayah sedang bicara dengan bapak korban yang masih emosi, berusaha menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Keluarga korban belum terima, karena Bakti telah mengebut dan lalai dalam berkendara. Di mata hukum, Bakti juga salah karena mengendarai motor di bawah umur. Setelah melalui diskusi yang alot, akhirnya mereka sepakat untuk damai.

Bakti sama sekali tidak merasa lega.

***

Semua tidak seperti bayangannya. Bukannya membaik, keadaan malah memburuk.

Desta tidak meminta ganti rugi karena motornya rusak, tapi dia memberi Bakti banyak tugas--kali ini tanpa traktiran atau perayaan makan-makan. Desta bilang dia kecewa berat. Dia juga mengingatkan bahwa Bakti banyak berhutang budi padanya. Dengan perbuatannya yang hampir menyeret Desta sebagai pemilik motor ke polisi, Bakti sama sekali tidak pantas menyebut dirinya sebagai teman.

Setelah puas menghukum Bakti, Ayah mulai memonitor kegiatan dan nilai-nilainya di sekolah. Mulai rutin memberinya uang saku untuk sekali makan setiap harinya, sekadar agar dia tidak mati kelaparan. Sulit sekali untuk membuat Ayah tidak marah-marah di rumah. Salah napas sedikit saja Ayah akan meradang.

Tiada hari yang berlalu tanpa rasa sakit, jadi Bakti mulai mengandalkan obat dari Egi untuk menjaga kewarasannya. Uang makan habis buat beli obat, sampai dia pernah pingsan di toilet sekolah.

Untungnya waktu itu Darma pas sedang ada di sana dan langsung membawanya ke UKS. Saat itu otak Bakti lagi macet, jadi ketika ditanya dia keburu mengaku kalau dia belum makan. Mulai hari itu, setiap beberapa hari sekali Darma mengantar makanan untuknya.

Semua mengira Bakti menindas Darma dan memaksanya membelikan makanan. Bakti tidak meluruskan asumsi itu dan Darma tidak kelihatan peduli apa kata orang, jadi klop. Itu adalah awal dari persahabatan mereka.

Saat Bakti ingin kabur dari hidupnya, dia akan mengunjungi Darma pada jam istirahat--atau seringnya waktu anak itu latihan pramuka.

Bakti cuma duduk-duduk di pinggir lapangan sambil menonton latihan atau mengerjakan PR, tidak memikirkan masalah apa-apa. Kadang Darma menemaninya duduk dan menawarkan camilan. Bercerita ini-itu tentang adiknya.

Bakti jarang berkomentar atau bercerita, tapi Darma tidak pernah memaksanya bicara. Anak itu tidak punya ekspektasi apa-apa terhadapnya, hal itu membuat Bakti merasa tenang. Sepertinya ini adalah bagian ternormal dalam kesehariannya, tapi itu saja ternyata belum cukup untuk memperbaiki keadaan.

Saat malam tiba dan sunyi berusaha mencekiknya dengan segenap hati, Bakti terbaring gelisah.

Orang yang membunuh ibunya sudah mati, tapi dia tidak merasa lebih baik. Tidak merasa bebas, dadanya masih terjerat kawat duri. Hatinya terasa gosong, habis terbakar bara yang tak kunjung padam. Semua malah terasa perih, seperti dicabik binatang buas dan dimakan hidup-hidup.

Setelah membunuh anak itu, dia tidak merasa puas. Perasaan bersalah karena "membunuh" Ibu yang tadinya dia pikir akan hilang, justru bertambah karena dia membunuh sang penabrak Ibu.

Kenapa dulu dia sampai bisa berpikiran seperti itu?

Seandainya kepalanya lebih jernih, mungkin dia tidak akan menabrak orang itu. Motornya Desta tidak rusak, Bakti tidak berhutang banyak padanya.

Seandainya tidak bertemu Desta, mungkin dia tidak akan bergaul dengan geng laknat itu. Ayahnya tidak akan marah dan menghukumnya. Dia tidak akan kesakitan maupun kelaparan.

Seandainya siang itu dia tidak silau oleh Egi, dia tidak akan pulang terlambat. Dia akan menemani ibunya, mereka akan lewat jalan lain saat ke dokter, Ibu tidak mati tertabrak. Atau paling tidak, dia yang akan tertabrak dan mati mulia dalam rangka melindungi ibunya.

Bakti sama sekali tidak dekat dengan Tuhan, tapi seandainya Tuhan berbaik hati memberinya keajaiban dan kesempatan sekali lagi, dia akan melakukan apa pun asalkan Ibu tidak jadi mati. Dia akan menuruti semua perintah Ayah. Dia tidak akan main ke luar lagi. Dia akan menjauhi geng nakal, minuman keras, dan narkoba. Dia akan belajar, mendapat nilai bagus, dan membuat orang tuanya bangga.

Seandainya, seandainya, seandainya.

Semua pertanyaan itu pada akhirnya hanya membuatnya hampa. Semakin lelah. Bagai mata air yang habis disedot, Bakti sudah kering. Sama sekali tidak tahu mengapa dia harus tetap hidup kalau hidup ini rasanya begitu kosong dan menyakitkan.

Dia sudah minum obat agar menjadi lebih kuat, lebih tegar menghadapi semua. Untuk sesaat memang berhasil, tapi percuma saja… setelah pengaruh obatnya habis dia akan kembali ke tempat semula. Terempas di dasar jurang, pupus dari harapan.

Sampai di sini sudah tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, jadi dia akan mengakhiri semua. Toh dia telah mengambil nyawa orang yang membunuh ibunya, jadi pantaslah kalau dia juga harus kehilangan nyawa.

Sore itu Bakti mendatangi makam Ibu.

Seratus persen teler setelah minum obat--pengecut sepertinya tentu butuh suntikan keberanian untuk melaksanakan rencananya. Dia terduduk bersimpuh memandangi rumput yang tumbuh di makam, botol Baygon tergeletak di depan, tidak memedulikan pelayat di kuburan sekeliling.

Bakti memejamkan mata, tenang karena pengaruh obat. Dia akan meneguk Baygon untuk mengakhiri hidupnya. Tidak akan sakit--oke, mati keracunan pasti akan sakit, tapi ayolah itu kan hal kecil yang tidak terlalu penting, jadi buat apa juga dipikirkan. Masalahnya akan selesai, beban hidup Ayah akan berkurang, tidak ada yang akan merindukannya.

Egi dan Desta? Jelas tidak. Bakti hanya seonggok kotoran yang menempel di sepatu mereka. Mungkin Darma akan sedikit terguncang, tapi Bakti bukan siapa-siapanya dan anak itu masih punya keluarga yang menyayanginya.

Darma tidak seperti Bakti, yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Bahkan tidak juga Tuhan--Tuhan sudah lama meninggalkannya. Bakti sudah terlalu banyak dosa, mana mungkin Tuhan masih sayang padanya?

Sudahlah.

Bakti akan masuk neraka dan tidak akan mungkin bertemu ibunya di sana, jadi sebaiknya sekarang dia titip salam pada Tuhan saja.

Mencoba menggali otaknya yang sudah karatan, Bakti lalu berdoa.

Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa Ibu dan Ayah. Sayangilah mereka melebihi rasa sayang mereka padaku saat aku masih kecil. Sampaikan rinduku pada mereka, Tuhan. Tolong sampaikan bahwa aku tidak pernah berhenti menyayangi mereka. Amin.

Sudah cukup, tidak usah pakai doa untuk diri sendiri segala, karena pasti tidak akan dikabulkan.

Bakti mengerjap dan menarik napas. Tangannya sedikit gemetar saat meraih dan membuka tutup Baygon.

Cih. Santai saja, anggap seperti minum alkohol.

Selamat tinggal, Ibu.
Bakti mengangkat dan menenggak botol itu.

***

Bab Empat

Rencana yang Terbaik

***

Sepertinya Tuhan benar-benar benci pada Bakti, sampai rencana sederhana saja tidak berhasil.

Seseorang menendang botol di tangannya. Cairan Baygon itu tumpah ke semak-semak. Bakti hanya berkedip seperti orang bego ketika ada orang lain yang memeluknya.

Apa-apaan--

"Ssh… Sayang, Bunda di sini. Jangan lakukan itu, ya? Sshh… semuanya akan baik-baik saja, oke? Bunda sayang padamu."

Bakti membeku, tidak bisa mencerna kata-kata penghibur yang terus mengalir dari perempuan berbaju hitam itu.

Bunda?

Perempuan ini bukan ibunya, kan? Namun, suaranya yang lembut mau tidak mau membuat Bakti teringat Ibu.

Ibu yang menjaganya ketika bermain perosotan. Ibu yang memeluknya ketika dia terjatuh saat belajar naik sepeda. Ibu yang mencium kening dan mengelus-elus kepalanya sebelum tidur, yang membuatnya hangat ketika menggigil sakit.

Ibu yang amat menyayanginya.

Ibu yang seandainya masih hidup, tentu tidak akan membiarkannya mati bunuh diri.

Bakti memejamkan mata, membiarkan dirinya hanyut dalam rasa aman.

Semuanya akan baik-baik saja, Bakti. Ibu sayang padamu.
Begitu sadar kembali, Bakti sedang duduk di teras mushola. Kepalanya mulai sakit, badannya berat. Pengaruh obatnya sudah berkurang. Semua emosi tajam yang tadi dibendung obat kini mengiris-iris dadanya.

Bakti menarik napas dengan susah payah. Melihat ke sekitar, dia masih di komplek kuburan. Suasana sepi, matahari sudah terbenam. Ibu yang menyelamatkannya sedang salat magrib. Suaminya sedang menelepon seseorang.

Bakti baru mengenali mereka. Ternyata mereka adalah orang tua anak yang telah dia tabrak.

"Cepat datang, ya. Dia sudah sadar." Bapak itu lalu mengembalikan ponsel Bakti.

"Ayahmu tidak bisa dihubungi. Saya menelepon temanmu yang ada di daftar kontak emergensi, dia akan menjemputmu sebentar lagi," jelasnya. Dia lalu berpaling pada penjaga mushola dan menyelipkan uang. "Tolong jaga anak ini, ya, Pak. Jangan biarkan dia pergi sendirian kalau temannya belum datang."

Bapak itu lalu pergi ke parkiran, tidak memandang Bakti lagi. Tak lama istrinya selesai salat.

Bakti menunduk, entah kenapa terus teringat sosok ibunya saat menatap perempuan itu. Rasa rindu mencengkeramnya begitu kencang.

"Saya kaget sekali waktu melihatmu ziarah ke sebelah makam anak saya. Ayahmu tidak cerita kalau ibumu sudah meninggal."

Bakti hanya mengedikkan bahu.

"Seharusnya Ibu membiarkan saya mati. Saya sudah membunuh anak Ibu," katanya dengan suara serak. Dia adalah pembunuh berantai, kalau dibiarkan mungkin dia akan kembali menyebabkan orang lain mati.

Dia tidak pantas untuk hidup.

Ibu itu menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Tidak, Nak, saya tidak ingin kamu mati. Saya sudah memaafkanmu."

Bakti terkesiap. Bagaimana mungkin Ibu itu memaafkannya? Dia bahkan masih belum bisa memaafkan anak itu, padahal dia sudah membunuhnya!

Ibu itu memejamkan mata. "Anak saya pernah menabrak orang," dia berkata dengan suara gemetar. "Dia sedang buru-buru membeli obat untuk ayahnya. Dia tidak mau cerita di mana dan siapa, dia cuma bilang tidak sengaja menyenggol orang tersebut dan kabur meninggalkannya. Dia merasa begitu bersalah, namun karena terlanjur kabur, dia sudah tidak bisa meminta maaf."

Ibu itu menarik napas. "Anak saya memikirkan terus kejadian itu. Bagaimana kalau orang itu meninggal? Bagaimana kalau dia meninggalkan keluarga yang membutuhkannya? Bagaimana kalau mereka tidak ridha? Anak saya bilang, kalau suatu saat bertemu kembali dengan orang yang ditabrak, dia ingin memohon ampun dengan sangat. Andai diminta, dia akan melakukan apa saja untuk membayar kesalahannya, bahkan bila memang harus berkorban nyawa. Kini dia sudah tiada sebelum hal itu terjadi, sebelum mendapat kata maaf."

Ibu itu menyeka air matanya, lalu menatap Bakti. "Rasa bersalah yang terpendam karena tak dilepas oleh maaf itu bagai daging yang membusuk dalam tubuh. Perasaan itu menggerogoti anak saya sedikit demi sedikit, membuatnya hancur. Ibu mana yang tega melihat anaknya seperti itu? Saya tidak bisa membiarkan hal yang sama terjadi padamu. Kalau kamu merasa begitu bersalah sepertinya, jangan akhiri nyawamu seperti tadi, Nak. Saya sudah merelakan kepergian anak saya."

Bakti menggigit bibir, tidak bisa menahan air mata. "Ibu tidak mengerti… saya sudah membunuh orang, Bu. Saya sudah banyak berdosa."

"Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat. Minta ampunlah pada Allah, Nak. Dialah Yang Maha Pengampun.

"Andai kamu tahu, kasih sayangnya Allah padamu itu 70 kali melebihi kasih sayang ibumu kepadamu. Apa kamu bisa membayangkan betapa besarnya itu?

"Allah tidak berhenti menyayangimu hanya karena kamu berdosa. Kalau kamu bertaubat, Dia akan mengampunimu, walau dosamu sebanyak buih lautan."

Bakti menyeka pipinya. Apakah benar Allah akan mengampuninya? "Mungkin pengampunan itu hanya untuk orang yang soleh. S-saya bahkan tidak pernah memikirkan-Nya. Saya sudah sangat jauh dari-Nya. Dia tidak mungkin mau mendengar doa saya."

Ibu itu menggeleng, lalu mengelus kepala Bakti dengan sedih. "Tidak, Nak, kasih sayang Allah itu melingkupi segala sesuatu. Apa kamu sadar, Allah itu selalu dekat." Dia lalu mengutip ayat dengan lembut, "Apabila hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila dia memohon pada-Ku.

"Allah tidak meninggalkan hamba-Nya, kitalah yang justru sering meninggalkan-Nya. Dia selalu hadir untukmu. Dia telah menyelamatkanmu hari ini, bukan? Dia sedang menunggumu, Nak. Kembali dan bertaubatlah pada-Nya."

Setelah ibu itu pergi, Bakti duduk termangu. Dia tidak ingat sejak kapan berhenti salat. Dia bahkan sudah lupa cara berwudhu. Dia tidak pernah hadir untuk Allah, tapi ternyata Allah selalu ada untuknya? Bakti mengangkat kepala, memandangi langit malam yang bertabur bintang. Menyadari sebuah kerinduan yang muncul.

Dia sudah lama meninggalkan Dzat yang memilikinya. Sudah lama melupakan-Nya. Sudah melakukan banyak dosa, tapi Allah tetap menyayanginya. Bakti merasa tidak pantas untuk meminta, tapi dia begitu ingin pulang ke dalam ridha-Nya.

Berdoalah pada-Ku, niscaya Ku-kabulkan.
Ah…

Bakti memejamkan mata, memberanikan diri berdoa.

Ya Allah, ampunilah aku… aku mohon… terimalah aku kembali.
Entah bagaimana, rasa sakit yang selama ini mengimpit dadanya perlahan memudar. Tergantikan oleh rasa pasrah dan syukur yang amat sangat.

Bakti memeluk lutut, gemetar oleh tangis. Pipinya masih basah saat seseorang menyentuh pundaknya. Perlahan Bakti menengadah. Darma menatapnya khawatir, terlihat sedikit lega saat mendapati Bakti tidak terluka. Sepertinya dia tahu Bakti butuh waktu untuk bangkit, jadi dia tidak berkata apa-apa. Bakti menatapnya dengan rasa terima kasih. Darma hanya tersenyum. Dia duduk di samping Bakti dalam diam, menemaninya sampai Bakti siap pulang.

***

Akhir tahun pelajaran pun tiba. Bakti berusaha keras mengejar ketinggalannya. Setelah berhasil lulus SMP dengan nilai pas-pasan, Bakti mengikuti program rehabilitasi narkoba atas kemauan sendiri. Karena harus dirawat inap, dia lalu cuti sekolah selama setahun, menunda masuk SMA.

Darma selalu menjenguknya setiap minggu. Membawakan makanan dan buku yang menarik, atau streaming film aksi favorit. Darma bercerita tentang keluarganya dan hal-hal yang terjadi di sekolah, lalu mendengarkan dengan penuh perhatian saat Bakti ingin bercerita. Darma membantunya melewati hari-hari yang sulit. Dia juga mengajari Bakti salat dan membaca Al Qur'an. Bakti merasa beruntung memiliki teman sepertinya.

Mereka memulai kelas 10 di sekolah yang sama. Walau tidak sekelas, Darma mengajaknya ikut ekskul pramuka. Bakti satu regu dengannya, menikmati kegiatan yang mereka lakukan. Setelah regu mereka memenangkan lomba dan membawa nama baik untuk sekolah, perlahan sikap Ayah padanya mulai berubah.

Ayah masih mendidik Bakti dengan keras, tapi setidaknya sudah mengurangi main tangan. Ayah juga sudah menikah lagi. Bakti berupaya menjaga sikap dan kata-katanya. Dia belajar dengan rajin, ingin membahagiakan kedua orang tuanya.

Sore itu Bakti ziarah ke makam ibunya. Hampir dua tahun berlalu semenjak percobaan bunuh dirinya yang gagal. Masa-masa yang kelam itu telah berlalu. Rasanya seperti mimpi. Sama sekali tidak terbayang hidupnya akan membaik seperti ini. Banyak hal yang terjadi yang membuat Bakti amat bersyukur.

Sejak insyaf dan kembali mempelajari agama, hatinya juga berangsur menjadi tenang. Allah sungguh telah menjadikan Islam itu sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bakti telah menyaksikan sendiri, bagaimana Allah mengasihi dia yang berlumur dosa, menariknya dari jurang menuju cahaya.

Aku sayang padamu, Bu. Semoga Allah selalu menjagamu di sisi-Nya, begitu Bakti menutup doanya.

Bakti lalu menengadah, memandangi langit sore yang menyelimutinya dalam damai. Dia memang tidak bisa melihat masa depan, tapi kini dia yakin Allah punya rencana yang terbaik untuknya.

***

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar