Malam Keakraban
Malam itu semua peserta perkemahan berkumpul di depan api unggun. Ada lima rombongan tamu undangan dari Jepang, Perancis, Korea, Rusia, dan UEA. Rencananya mereka akan mengobrol bersama, saling berbagi cerita dan pengalaman. Setelah itu ada pertunjukan dari masing-masing utusan negara.
Namun, ternyata ada satu hal yang lupa dicek panitia. Regu dari UEA tidak membawa penerjemah. Jepang bawa penerjemah tapi pengucapannya kurang jelas. Penerjemah Korea sedang sakit perut. Penerjemah Russia tidak bisa bahasa Inggris. Sedangkan penerjemah Prancis hanya bisa menerjemahkan ke bahasa Jerman.
“Astaga ini para tamu gimana cara masuk ke perkemahan, sih? Pake bahasa tarzan?!” seru Reka sambil menepuk jidat.
Bakti menyeringai, karena tadi dia sempat menyaksikan panitia yang pakai bahasa isyarat untuk menunjukkan lokasi pendirian tenda. Dia mengambil gitar yang tersandar di pojok tenda.
“Kasihan tuh si Galuh sampe keringet dingin di depan, udah nyiapin sound system bagus-bagus eh kalo ngga ada yang ngerti perkataannya kan sama juga boong,” komentar Bakti sambil menyetel dawainya. Dia bertugas jadi penyedia musik latar pada acara kali ini. Sebenarnya bukan membawakan lagu, melainkan hanya sekadar memetik nada-nada pelan saja. Biar acaranya terkesan dramatis dan romantis gitu–jangan salahkan dia ya, itu idenya Dian si anak Kedokteran yang salah jurusan dan kebelet jadi pujangga.
Reka berdecak, “Duh, malu-maluin aja, deh! Diaaan, panggilin Darma cepetaan!”
Dian yang sedang menulis sesuatu di bukunya langsung menolak. “Lagi sibuk, Bos. Suruh Taruna aja!”
Masalahnya Taruna dan Rai sudah kabur entah ke mana sejak selesai makan tadi.
“Kamu nulis apaan sih?” kesal Reka.
“Biasaaaa, paling surat cinta buat Dhea… gak kapok ditolak dia hahahah,” sahut Bakti tergelak, lalu refleks menunduk menghindari timpukan kotak P3K.
Aseeem! Bakti sontak misuh-misuh. “Berantakan tuh obatnya! Pokoknya aku gak mau beresin!”
“Bodo amat! Kalo kakimu kena paku nggak usah nyariin aku, kan obatnya udah ilang!”
Reka langsung menarik lengan Bakti yang bangkit siap menggeplak kepala temannya itu.
“Udah, jangan berantem. Bakti cepet ke panggung, ntar aku yang nyari Darma. Dian, pas aku balik kotak obatnya mesti udah beres! Kalau enggak nanti kamu pulang jalan kaki aja ke Jakarta. Gimana sih ini anak buah kaga ada yang beneeer!!” Reka beranjak pergi sambil mencak-mencak.
Bakti ketawa dalam hati, lalu mendatangi panggung di depan api unggun. Sebenarnya bukan panggung, sih, karena cuma deretan panjang batang kayu yang disusun seperti kursi ketua suku. Anak-anak yang lain sudah membentuk lingkaran besar. Saat dia masuk ke dalam lingkaran seorang perempuan dari regu Jepang tertegun memandangnya, lalu tersenyum. Dia mengatakan sesuatu pada temannya, lalu mereka cekikikan memandang Bakti.
Yaelah kayak enggak pernah lihat cowok ganteng aja hahaha… Bakti mengedipkan mata dan duduk batang pohon di sebelah mereka, menebarkan senyum berbunga. Cewek yang paling dekat dengannya menanyakan sesuatu, entah dalam bahasa Inggris atau Jepang karena logatnya sama saja.
“Sorry, I don’t understand,” bisik Bakti. “I’m just here to play.”
Cewek itu kelihatan sumringah, lalu mengangguk-angguk tidak jelas sambil menggumamkan sesuatu. Daripada semua bengong akhirnya Bakti mulai memetik gitar dengan sebuah nada pembukaan yang manis.
Tak lama kemudian dia bisa merasakan kedatangan Darma. Bukan dari indera keenam, tapi dari kehebohan penonton di sekelilingnya. Seseorang mendorong Darma ke sampingnya–dasar si Reka, ceroboh banget, sih! Bakti memegang lengan sahabatnya sebelum Darma tersandung, jatuh di depan api unggun, dan membuat malu nama bangsa dan negara Indonesia.
“Kamu abis mandi apa ngapain, sih? Kok tangannya basah?” tanya Bakti heran. Baju dan celana panjangnya Darma juga sedikit basah, bahkan ada sedikit busanya.
“Lagi piket nyuci piring eh diseret si Reka ke sini,” gumam Darma dengan nada bete. “Ini mau ngapain, sih? Jangan bilang disuruh nyanyi, ya.”
“Haha tenang aja gak ada yang mau denger nyanyian fals kamu. Ini mau acara talkshow, kamu jadi penerjemah para tamu yang bicara ya.”
Tepat setelah Bakti bicara, Galuh langsung membuka acara mereka malam itu.
“Selamat malam semuaaa… selamat datang di acara keakraban Perkemahan Pandega dengan bintang tamu dari lima negara…”
Galuh memandang Darma sejenak. Darma berdehem dengan wajah memerah, mengetes mikrofon, lalu membuka acara dalam bahasa Inggris. Lalu Jepang. Lalu Korea. Prancis, Rusia, dan terakhir Arab. Dia tersenyum dan menyambut mereka satu per satu dengan ramah. Para tamu itu sempat bengong, tapi kemudian bertepuk tangan dengan semangat bersama para penonton.
“Darmaa we love you!” seru seorang cewek dari belakang, yang disambut dengan gelak tawa dan sorak-sorai yang lain.
“Darmaaa gue udah daftar fans club eloo! Nama gue Dewiii anak MIPA inget yaa!”
“Huuu!”
“Eh awas lo Ma, Dewi itu pacar gueeee!”
“Ahahahah paraah!”
“Watashiwa indomie ga suki, Darma-san!”
“Astaga asal bunyi kau ya!”
“Darma yaa habibiii acha acha!”
“Apaan tuh, emang dikata film India?!”
“Eh sumpe lu, si Darma itu bisa ngomong berapa bahasa, sih?!”
“Ratusaaaan~”
“Emangnya wafer, lapisan coklat ratusan!”
“Denger gak waktu dia ngomong bahasa Rusia dan Prancis? OMG sengau-sengau menggetarkan jiwa gituu!”
“Iyaa! Je suis content que tu sois ici?”
“Menggelepar aku!”
“Ikan paus kali menggelepar!”
“Woi buntelan bakpau! Berisik banget sih diem napa gak kedengeran nih!”
“Ih sirik aja deh kamu, gak bisa lihat orang seneng ya?!”
Astaga kocak banget! Bakti nyengir lebar dan mulai mengerjakan tugasnya, memetik gitar dan mengatur mood malam itu. Setelah acara perkenalan dia menarik Darma duduk di sebelahnya agar tidak capek berdiri. Saat masing-masing kontingen bercerita, Darma masih menerjemahkan pembicaraan mereka ke dalam semua bahasa.
“Pakai bahasa Inggris aja, Ma,” bisik Bakti, tapi Darma menggeleng.
“Ada yang enggak ngerti bahasa Inggris, Ti, tadi orangnya bilang sendiri,” kata Darma sambil mengelap keringat.
“Pfft, ini tamu mungut dari mana sih.”
Begitu acara talkshow selesai, Darma membacakan urutan pertunjukan masing-masing regu. Setelah itu dia mematikan mikrofon dan terdiam, kelihatan capek.
Bakti menyodorkan botol minumnya yang sudah tinggal setengah. Darma menerimanya dengan senang hati.
“Ya ampun kering banget, mulut udah kayak habis marathon,” gumam Darma dengan suara serak setelah menghabiskan minumnya. Maklumlah dari tadi dia sudah bicara non-stop. Bakti berpaling menghadap ke salah satu panitia yang duduk di belakangnya, lalu memberi kode isyarat sambil melotot mengancam. “Gimana, sih, minumnya kok enggak ada?!”
Petugas panitia itu lalu tersadar dan buru-buru membawakan botol minum yang baru.
Setelah semua acara selesai, para tamu undangan menyalami Bakti dan Darma, bicara secara pribadi untuk mengucap terima kasih dan beramah-tamah. Mereka semua terkesan dan meminta nomor kontaknya Darma untuk komunikasi lebih lanjut. Si orang Jepang itu bahkan mengajak berfoto dan meminta nomornya Bakti juga.
“Astaga ntar kalo ada yang moshi-moshi dan sms aku pake huruf kanji gimana jawabnya?!” Bakti menyikut Darma.
“Forward ke aku aja, ntar aku jawabin kamu punya banyak pacar.”
“Siaaal!” Bakti menonjok lengannya, sementara Darma cuma tertawa. Tidak lama, sih, karena habis itu mereka buru-buru kabur sebelum habis diserbu para anggota setia Darma Fans Club.
***
“Astaga ini para tamu gimana cara masuk ke perkemahan, sih? Pake bahasa tarzan?!” seru Reka sambil menepuk jidat.
Bakti menyeringai, karena tadi dia sempat menyaksikan panitia yang pakai bahasa isyarat untuk menunjukkan lokasi pendirian tenda. Dia mengambil gitar yang tersandar di pojok tenda.
“Kasihan tuh si Galuh sampe keringet dingin di depan, udah nyiapin sound system bagus-bagus eh kalo ngga ada yang ngerti perkataannya kan sama juga boong,” komentar Bakti sambil menyetel dawainya. Dia bertugas jadi penyedia musik latar pada acara kali ini. Sebenarnya bukan membawakan lagu, melainkan hanya sekadar memetik nada-nada pelan saja. Biar acaranya terkesan dramatis dan romantis gitu–jangan salahkan dia ya, itu idenya Dian si anak Kedokteran yang salah jurusan dan kebelet jadi pujangga.
Reka berdecak, “Duh, malu-maluin aja, deh! Diaaan, panggilin Darma cepetaan!”
Dian yang sedang menulis sesuatu di bukunya langsung menolak. “Lagi sibuk, Bos. Suruh Taruna aja!”
Masalahnya Taruna dan Rai sudah kabur entah ke mana sejak selesai makan tadi.
“Kamu nulis apaan sih?” kesal Reka.
“Biasaaaa, paling surat cinta buat Dhea… gak kapok ditolak dia hahahah,” sahut Bakti tergelak, lalu refleks menunduk menghindari timpukan kotak P3K.
Aseeem! Bakti sontak misuh-misuh. “Berantakan tuh obatnya! Pokoknya aku gak mau beresin!”
“Bodo amat! Kalo kakimu kena paku nggak usah nyariin aku, kan obatnya udah ilang!”
Reka langsung menarik lengan Bakti yang bangkit siap menggeplak kepala temannya itu.
“Udah, jangan berantem. Bakti cepet ke panggung, ntar aku yang nyari Darma. Dian, pas aku balik kotak obatnya mesti udah beres! Kalau enggak nanti kamu pulang jalan kaki aja ke Jakarta. Gimana sih ini anak buah kaga ada yang beneeer!!” Reka beranjak pergi sambil mencak-mencak.
Bakti ketawa dalam hati, lalu mendatangi panggung di depan api unggun. Sebenarnya bukan panggung, sih, karena cuma deretan panjang batang kayu yang disusun seperti kursi ketua suku. Anak-anak yang lain sudah membentuk lingkaran besar. Saat dia masuk ke dalam lingkaran seorang perempuan dari regu Jepang tertegun memandangnya, lalu tersenyum. Dia mengatakan sesuatu pada temannya, lalu mereka cekikikan memandang Bakti.
Yaelah kayak enggak pernah lihat cowok ganteng aja hahaha… Bakti mengedipkan mata dan duduk batang pohon di sebelah mereka, menebarkan senyum berbunga. Cewek yang paling dekat dengannya menanyakan sesuatu, entah dalam bahasa Inggris atau Jepang karena logatnya sama saja.
“Sorry, I don’t understand,” bisik Bakti. “I’m just here to play.”
Cewek itu kelihatan sumringah, lalu mengangguk-angguk tidak jelas sambil menggumamkan sesuatu. Daripada semua bengong akhirnya Bakti mulai memetik gitar dengan sebuah nada pembukaan yang manis.
Tak lama kemudian dia bisa merasakan kedatangan Darma. Bukan dari indera keenam, tapi dari kehebohan penonton di sekelilingnya. Seseorang mendorong Darma ke sampingnya–dasar si Reka, ceroboh banget, sih! Bakti memegang lengan sahabatnya sebelum Darma tersandung, jatuh di depan api unggun, dan membuat malu nama bangsa dan negara Indonesia.
“Kamu abis mandi apa ngapain, sih? Kok tangannya basah?” tanya Bakti heran. Baju dan celana panjangnya Darma juga sedikit basah, bahkan ada sedikit busanya.
“Lagi piket nyuci piring eh diseret si Reka ke sini,” gumam Darma dengan nada bete. “Ini mau ngapain, sih? Jangan bilang disuruh nyanyi, ya.”
“Haha tenang aja gak ada yang mau denger nyanyian fals kamu. Ini mau acara talkshow, kamu jadi penerjemah para tamu yang bicara ya.”
Tepat setelah Bakti bicara, Galuh langsung membuka acara mereka malam itu.
“Selamat malam semuaaa… selamat datang di acara keakraban Perkemahan Pandega dengan bintang tamu dari lima negara…”
Galuh memandang Darma sejenak. Darma berdehem dengan wajah memerah, mengetes mikrofon, lalu membuka acara dalam bahasa Inggris. Lalu Jepang. Lalu Korea. Prancis, Rusia, dan terakhir Arab. Dia tersenyum dan menyambut mereka satu per satu dengan ramah. Para tamu itu sempat bengong, tapi kemudian bertepuk tangan dengan semangat bersama para penonton.
“Darmaa we love you!” seru seorang cewek dari belakang, yang disambut dengan gelak tawa dan sorak-sorai yang lain.
“Darmaaa gue udah daftar fans club eloo! Nama gue Dewiii anak MIPA inget yaa!”
“Huuu!”
“Eh awas lo Ma, Dewi itu pacar gueeee!”
“Ahahahah paraah!”
“Watashiwa indomie ga suki, Darma-san!”
“Astaga asal bunyi kau ya!”
“Darma yaa habibiii acha acha!”
“Apaan tuh, emang dikata film India?!”
“Eh sumpe lu, si Darma itu bisa ngomong berapa bahasa, sih?!”
“Ratusaaaan~”
“Emangnya wafer, lapisan coklat ratusan!”
“Denger gak waktu dia ngomong bahasa Rusia dan Prancis? OMG sengau-sengau menggetarkan jiwa gituu!”
“Iyaa! Je suis content que tu sois ici?”
“Menggelepar aku!”
“Ikan paus kali menggelepar!”
“Woi buntelan bakpau! Berisik banget sih diem napa gak kedengeran nih!”
“Ih sirik aja deh kamu, gak bisa lihat orang seneng ya?!”
Astaga kocak banget! Bakti nyengir lebar dan mulai mengerjakan tugasnya, memetik gitar dan mengatur mood malam itu. Setelah acara perkenalan dia menarik Darma duduk di sebelahnya agar tidak capek berdiri. Saat masing-masing kontingen bercerita, Darma masih menerjemahkan pembicaraan mereka ke dalam semua bahasa.
“Pakai bahasa Inggris aja, Ma,” bisik Bakti, tapi Darma menggeleng.
“Ada yang enggak ngerti bahasa Inggris, Ti, tadi orangnya bilang sendiri,” kata Darma sambil mengelap keringat.
“Pfft, ini tamu mungut dari mana sih.”
Begitu acara talkshow selesai, Darma membacakan urutan pertunjukan masing-masing regu. Setelah itu dia mematikan mikrofon dan terdiam, kelihatan capek.
Bakti menyodorkan botol minumnya yang sudah tinggal setengah. Darma menerimanya dengan senang hati.
“Ya ampun kering banget, mulut udah kayak habis marathon,” gumam Darma dengan suara serak setelah menghabiskan minumnya. Maklumlah dari tadi dia sudah bicara non-stop. Bakti berpaling menghadap ke salah satu panitia yang duduk di belakangnya, lalu memberi kode isyarat sambil melotot mengancam. “Gimana, sih, minumnya kok enggak ada?!”
Petugas panitia itu lalu tersadar dan buru-buru membawakan botol minum yang baru.
Setelah semua acara selesai, para tamu undangan menyalami Bakti dan Darma, bicara secara pribadi untuk mengucap terima kasih dan beramah-tamah. Mereka semua terkesan dan meminta nomor kontaknya Darma untuk komunikasi lebih lanjut. Si orang Jepang itu bahkan mengajak berfoto dan meminta nomornya Bakti juga.
“Astaga ntar kalo ada yang moshi-moshi dan sms aku pake huruf kanji gimana jawabnya?!” Bakti menyikut Darma.
“Forward ke aku aja, ntar aku jawabin kamu punya banyak pacar.”
“Siaaal!” Bakti menonjok lengannya, sementara Darma cuma tertawa. Tidak lama, sih, karena habis itu mereka buru-buru kabur sebelum habis diserbu para anggota setia Darma Fans Club.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar