Halaman

Sabtu, 01 Agustus 2020

Kumcer Regu Beruang - Hari Pertama

Hari Pertama


Hari pertama masuk SMA, Bakti sudah terlambat.

Semalaman keasyikan menyelesaikan program buat acara game jam dari komunitas coding yang dia ikuti. Tadinya Darma masih menemani via chat di WA, tapi entah jam berapa akhirnya anak itu menyerah dan mengirim pesan “Bobo Tiii, besok masuk sekolah!”. Tentu saja Bakti tidak mau tidur sebelum programnya jadi.

Ayah sudah berangkat waktu Bakti menculik sarapan roti isi telor dari meja makan. Dia hanya salim dan pamit pada Mama tirinya, lalu bergegas menyetop angkot di depan rumah. Untungnya tidak pakai ngetem karena penumpang sudah penuh–dia gelayutan di pintu kayak kernet. Mestinya sih masih kekejar. Masalahnya, kondisi lalu lintas pagi ini benar-benar padat. Tampaknya semua orang tua ingin mengantar anak ke sekolah. Di Bintaro Utama jalanan sudah macet total sejak Sektor Lima. 

Karena tidak sabar Bakti pun turun di depan kampus STAN dan berlari sampai perempatan Bintaro Plaza, baru naik angkot lagi. Tak perlu dibilang, dia sudah ngos-ngosan dan bajunya sukses lepek saat dia berlari menyusuri jalan menuju SMA 86.

Bakti menarik ponsel dari saku tas dan melirik jam–06.52! Bagus, masih ada delapan menit sebelum gerbang ditutu–

BRAK!!

“Aduuuh!” pekik seorang perempuan. Dia jatuh tersungkur, buku yang dipegangnya terlempar dan kertasnya berhamburan. Bakti buru-buru bangkit dan membantu anak itu bangun.

“Eh, waduh, m-maaf ya aku enggak sengaja–“

“Gimana sih! Kalau jalan lihat-lihat, dong! Orang lagi jalan enggak salah apa-apa main tabrak aja!” geram anak cewek itu sembari memukuli lengan Bakti dengan buku terdekat.

“Ow! Iya, maaf tadi aku buru-buru jadi enggak lihat–“

“Nggak usah banyak omong! Cepet ambilin kertas gambarkuu!” 

Lah, galak amat ini cewek! Apa dia kakak kelas? Kalau lihat dari mukanya yang imut sih kayaknya bukan… huh, ya sudahlah, kan memang dia yang salah.

Bakti segera memunguti kertas yang berserakan. Isinya ternyata gambar-gambar sketsa pemandangan. Semuanya bagus-bagus! Bakti sampai bengong melihat beberapa gambar yang mirip aslinya.

“Woi, jangan bengong! Itu kertasku ada yang tercecer di dekat rel keretaaaa… duuh gimana dong,” ujar cewek itu memelas. 

Bakti menoleh. Oh ya masih ada tiga kertas gambar yang terbang sampai ke sana. Jalan setapak menuju SMA itu memang berada di pinggir rel kereta jurusan Tanah Abang-Serpong. Dia lalu garuk-garuk kepala. Sebenarnya posisinya cukup mudah diraih, tapi berbahaya karena dia tidak tahu jadwal kereta melintas.

“Ehm… biarin aja, ya? Emangnya kamu ngga bisa gambar lagi?” tanyanya bingung.

Cewek itu melotot dan berkacak pinggang. “Enak aja, itu bikinnya lama, tahu! Dan itu pesanan orang mau discan dan dikirim hari iniii!”

Ya ampuun! Ini orang marahnya udah kayak nenek sihir yang mau menelan Bakti saja!

“Iya, iya, sabar mbak! Bentar aku ambilin.”

Tepat saat itu bel sekolah berbunyi. Yah… beneran jadi telat, kan! Padahal tadi sebenarnya masih sempat masuk. Bakti mau menepuk jidat, tapi urung dilakukan. Sebagai lelaki jantan, dia pantang mengingkari janji. 

Dengan hati-hati dia lalu melangkahi rantai patok jalan yang memisahkan jalan biasa dengan jalur kereta. Menengok ke kanan dan kiri kosong, dia lalu mengumpulkan kertas yang terserak. Sepatunya berderak saat melintasi kerikil. Dia baru saja akan berbalik ketika KRL muncul di ujung tikungan, hanya beberapa ratus meter darinya.

Jarak ke jalanan depan gerbang sekolah sepuluh langkah ke depan. Di jalur seberang, kereta dari lawan arah muncul. Persis di samping kiri tembok sekolah menjulang, di bawahnya ada parit. Tanpa pikir panjang Bakti langsung lompat ke parit, menekan badan ke bawah, tangan melindungi kepala. Semua terasa berjalan sangat cepat sekaligus sangat lambat. Teriakan cewek itu tertelan klakson kereta. 

Sekejap kemudian gerbong KRL lewat.

Gelap. Getarnya mengguncang hebat. Suara mesin memekikkan telinga, rasanya persis di atas kepala! Bakti memejamkan mata, yakin seratus persen sebentar lagi akan terlindas atau ada kait besi dari gerbong yang akan menusuk. Dia membenamkan diri lebih dalam, tidak peduli bajunya kini basah semua dan ada bungkus chiki menempel di pipi.

Entah berapa abad kemudian, raksasa itu akhirnya berlalu. Bakti menarik napas perlahan. Dia… masih hidup. Bakti bangkit duduk dengan susah payah. Untuk sesaat dia hanya bisa terdiam mengatur napas, masih lemas. Suara berisik seperti orang menjerit-jerit membuatnya menoleh. Cewek yang tadi itu bicara dengan satpam sekolah, nadanya histeris. Tak lama Pak Satpam menghampiri dan menariknya berdiri. 

“Enggak apa-apa tuh, Neng, nih orangnya masih sadar!” seru Pak Satpam. Lutut Bakti gemetar ketika Pak Satpam menariknya jalan ke tempat aman.

“Dasar emang bocah-bocah sekarang mah pada bandel, dibilangin jangan ke rel kereta masih aja nekat. Pada nggak tahu apa di perempatan sini lokasi tragedi tabrakan kereta Bintaro? Berapa gerbong itu orang mati semua. Beuh, kalo malem Jum’at kadang masih bau amis dan kedengeran suara orang nangis.”

Bakti menyerahkan kertas yang ternyata masih digenggamnya, hanya sedikit lecek dan sama sekali tidak terkena air got. “Punya kamu,” gumamnya. Cewek itu menerimanya dengan menangis sambil berterima kasih dan meminta maaf. 

Bakti lalu mengikuti Pak Satpam yang membawanya ke UKS, tidak begitu memerhatikan kondisi sekitar. Semua terasa kebas, sepertinya karena dia masih shock. Petugas UKS membuatkan teh manis hangat, lalu memeriksa apakah dia terluka.

Dia baru sadar saat pintu UKS terbanting kebuka dan Darma menatapnya panik. Perlahan Bakti tersenyum dan menyapa.

“Hei, Ma.” Bakti langsung mengerem lidahnya sebelum dia terlanjur bilang “Aku nggak jadi mati lagi.”

“Ya Allah, kamu ngga apa-apa, Ti?!”

Darma lalu mengantarnya ke rumah penjaga sekolah untuk menumpang mandi. Seragamnya bau dan kotor terkena lumpur. Darma melepas dan meminjamkan kaos T-Shirt putih yang dipakainya, kemudian meminjam celana olahraga milik anaknya penjaga sekolah.

Guru BK memanggil dan memarahinya, tapi tidak jadi menghukumnya berdiri di lapangan karena datang terlambat. Mungkin ibu itu kasihan melihatnya yang masih terdiam.

Saat acara orientasi siswa baru dilaksanakan di halaman belakang sekolah, tidak ada senior yang berani menegurnya. Karena Bakti memakai baju bebas dan lolos dari kecaman guru, mereka pikir Bakti bukan murid baru, melainkan murid pindahan dari sekolah lain yang tidak naik kelas. Bakti hanya memasang tampang garang dan duduk di bawah pohon beringin sambil mengawasi Darma dan anak-anak lain disuruh ini-itu oleh para senior, dalam hati ingin ketawa. 

Setelah acara selesai dan mereka boleh pulang, cewek yang tadi pagi menghampirinya. Dengan muka bersalah, dia memberikan sebungkus kue klepon pada Bakti.

“Aduuh maaf banget yaa… aku benar-benar menyesal tadi menyuruh kamu ambilin kertasku, seharusnya aku gambar ulang saja. Gara-gara itu kamu jadi hampir ketabrak kereta,” ujarnya tersendat. Matanya sembap seperti habis menangis. Bakti jadi salah tingkah, karena belum pernah menghadapi cewek seperti ini.

“Gapapa,” jawabnya singkat. “Lagian kalau enggak diambil nanti malah jadi sampah.”

Wajah cewek itu perlahan menjadi cerah, tampak lebih imut dari semula. Bakti memalingkan pandangan, entah kenapa merasa jengah.

“Eh iya, kita sekelas, kan, ya… nama kamu siapa?”

“Bakti,” gumamnya, sama sekali tidak ingat siapa teman-teman sekelas. Padahal dia duduk paling belakang dan dapat melihat meja semua orang.

“Aku Rahma, yang duduk di depan meja guru,” kata cewek itu sambil tersenyum manis. “Ya udah kalo gitu aku duluan, ya. Sampai jumpa besok! Besok jangan nabrak orang lagi yaa hehehe…”

Bakti tersenyum canggung, lalu membalas lambaian tangannya. Dia hanya berjalan sambil memperhatikan Rahma, tidak sadar hampir menabrak tiang. Seseorang lalu menarik lengannya.

“Jalan kok sambil bengong! Ngelihatin siapa, sih?” tukas Darma. 

“Mau tau aja deh,” balas Bakti sambil nyengir lebar. Dia memasukkan kue kleponnya ke dalam tas. “Urusan senior. Anak kecil gak boleh tahu.”

“Ck. Ya udah cepet naik, aku anter ke rumah. Daripada kamu kenapa-kenapa di jalan.” 

Dengan senang hati Bakti lalu naik ke boncengan sepeda ontelnya Darma. 

“Duh, berat amat sih, diet dikit napa–oiii! Jangan digoyangin ntar jatoooh!”

Bakti cuma ketawa dan menyuruh Darma mengayuh sepeda yang benar.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar