Halaman

Sabtu, 01 Agustus 2020

Kumcer Regu Beruang - Rapat Emergensi

Rapat Emergensi


Darma menyeberangi taman kecil di belakang gedung Fakultas Teknik, melirik arlojinya. Sebelas lewat lima belas. Reka meminta semua anggota Regu Beruang datang untuk rapat emergensi jam setengah dua belas siang. Waktunya mepet, sih, tapi biasanya kalau rapat mulainya juga suka telat.

“Ma, jemput Bakti ke gedungnya, ya, dia enggak balas pesanku. Ditelepon juga enggak diangkat,” pesan Reka waktu bertemu Darma di kelas Akuntansi Bisnis tadi.

“Emangnya Rai ke mana? Aku ada kuis Perpajakan jam sepuluh,” protes Darma. Lokasi rapatnya di Gedung 1–tempat Darma dan Reka belajar di Fakultas Ekonomi–sedangkan Rai dan Bakti kuliah di Gedung 3. Rai di Teknik Mesin, sementara Bakti di Teknik Informatika. Semestinya Rai bisa lebih mudah ketemu langsung, ketimbang Darma yang harus bolak-balik ke gedung Fakultas Teknik yang berjarak lima belas menit naik motor.

“Rai lagi ada urusan sama anak UKM Scooter, dia nggak bisa ikut. Jangan bilang suruh Dian atau Taruna, mereka di Gedung 2, oke? Dian sanggup nulis esai 10 lembar alasan kenapa dia nggak bisa nyebrang jalan raya buat datengin Gedung 3 dan Taruna si mafia itu bakal mengungkit kasus lamanya dengan Bakti sampe kupingku budeg dengerin bacotannya.” Reka bersungut, kemudian terkekeh. “Intinya kamu juga udah tahu kan kalau regu ini orangnya emang bobrok semua dan cuma kamu yang bisa kuandalkan hahaha…”

Darma mengernyit, masih memikirkan nasib kuisnya. Tidak yakin bisa menjawab segambreng soal Perpajakan dalam waktu kurang dari satu jam. “Terus kenapa enggak kamu aja yang ke sana?”

Reka mengangkat alis dan menatap Darma seolah dia anak TK yang bandel. “Haloo? Karena aku ketuanya, okee? Aku sibuk, ada kenca–ehm! Maksudku, aku harus rapat dulu sama Sherly dan pemimpin regu yang lain. Lagipula Bakti bilang alergi dia suka kambuh kalau kelamaan melihat mukaku, jadi mending kamu aja yang jemput sang pangeran.”

Astaga! Darma mendengus, lalu akhirnya mengiyakan walau tidak janji bakal hadir tepat waktu.

Setelah bertanya-tanya sebentar di markas anak Informatika di Gedung Teknik, Darma menemukan Bakti di meja kantin paling ujung, di bawah pohon belimbing. Dia duduk dengan wajah menelungkup di atas meja. Sepiring nasi sate ayam terlantar di sampingnya, hanya termakan sesuap. Padahal biasanya itu piring sate sampai bersih terjilat saking sukanya Bakti pada menu itu.

“Ti, kamu kenapa?” tanya Darma khawatir, duduk di sebelah Bakti dan menyentuh lengannya pelan. 

Bakti mengangkat wajahnya, pucat. Matanya mengerjap silau, seolah baru bangun tidur.

“Ngga tau, Ma, perutku sakit. Mual, melilit, kembung banget berasa kayak nekan sampai ke dada.”

“Maag kamu kambuh? Tadi pagi udah sarapan belum?” Sesaat Darma khawatir Bakti ada masalah di rumah dan tidak dikasih makan oleh ayahnya lagi, tapi… bukankah hubungan Bakti dan ayahnya sudah membaik? Sejak makannya tidak teratur waktu SMP, Bakti rentan dengan masalah pencernaan.

“Belom, sih… tapi tadi pagi aku kan udah mampir ke basecamp pramuka dan ngembat susu Cimory punya Dian di kulkas. Makanya ini juga beli nasi supaya perut enggak kosong. Cuma enggak bisa kemakan. Enggak enak banget, rasanya pengen muntah tapi ditungguin dari tadi enggak bisa keluar juga.”

Waduh… sepertinya penyakitnya serius. Darma meraba kening Bakti. Tidak panas, hanya lembap karena keringat dingin. “Aku anterin ke klinik kampus, ya?” tanya Darma.

Bakti menggeleng, “Aku tadi buru-buru, lupa bawa kartu mahasiswa dan HP. Minta obat sama Dian aja, Ma.”

Darma meringis.

“Beneran, nih, Ti? Enggak usah pake kartu mahasiswa deh… berobat umum aja ya, pake uangku dulu kalau uangmu kurang. Kamu kan tahu sendiri si Dian itu kayak gimana.”

Dian adalah petugas medis regu mereka yang bedside manners-nya benar-benar amburadul. Pasiennya sering dimarahi, disuruh memasang perban atau mencari obat sendiri, atau malah digeplak dan diusir kalau penyakitnya dianggap ringan olehnya. Tapi pengetahuan medisnya paling baik di antara semua regu dan dia sering diminta mengajar tim medis pramuka, karena itulah Reka masih mempertahankannya. Konon Dian sudah hampir lulus Fakultas Kedokteran UI, tapi lalu keluar dan masuk Sastra Inggris Universitas Pamulang karena Dhea, gebetannya sejak SD, tahun ini masuk ke jurusan tersebut.

“Enggak apa, Ma, si bucin itu memang gokil. Aku udah kebal sama dia.”

Darma lalu memberitahu Bakti bahwa siang ini ada rapat pramuka dadakan, dan Dian mungkin sudah berangkat ke sana. Akhirnya mereka pergi ke Gedung 1, Bakti membonceng motornya Darma.

Ruang markas UKM Pramuka ternyata masih lengang, rapatnya pun belum dimulai. Dian duduk di samping Reka, kelihatan sibuk menulis sesuatu di buku keramatnya–Bakti menyebutnya Kitab Santet. Berdasarkan pengalaman kemungkinan besar Dian sedang menulis puisi cinta atau gambar doodle gaje, tapi Reka sengaja memajangnya di situ agar regu mereka terlihat rajin di mata regu lain–apalagi ada Sherly si ketua Regu Panther.

“Dian, Bakti sakit perut, nih, bisa tolong periksa ngga?” pinta Darma sambil membantu Bakti duduk.

Dian sama sekali tidak menoleh. “Kenapa, lagi datang bulan, ya? Cari sendiri Feminax di kotak obat.”

Semua cewek anggota Regu Panther tertawa. Darma berdecak kesal. “Serius iniii, lihat itu dia sesak napas gitu sampe mukanya biru.”

Sebenarnya mukanya Bakti tidak biru tanda kekurangan oksigen, tapi Darma sengaja bilang begitu agar Dian mau bangun dan menghampiri Bakti. Dengan melotot penuh dendam Dian lalu menyuruh Bakti berbaring.

“Enggak usah buka baju segala deh, ini bukan cerita mesum,” hardiknya walau Bakti tidak melakukan apa-apa. Bakti refleks menendang Dian, tapi ditahan oleh Darma. Darma lalu menjelaskan kondisinya.

“Hebat bener kamu Ti, udah jadi juragan ya sampe sekarang punya juru bicara,” tukas Dian setelah memeriksanya. Dia lalu melipat tangan di dada. “Jadi tadi pagi kamu ngambil susu di kulkas tanpa bilang-bilang, hah? Darmaa! Ambilin barang buktinya dari kulkas, cepet!”

Bakti memberengut. “Lho, minggu lalu kan kamu udah ngambil susu Ultra punyaku, jadi impas dong kalo sekarang aku ambil punya kamu?”

Darma memberikan susu kotak literan itu pada Dian, yang lalu mengelupas stiker bertuliskan namanya dari kotak. Di balik stiker itu ternyata ada tanggal kadaluarsa. “Dua puluh enam Juli, sedangkan hari ini udah tanggal tiga puluh. Selamat, Juragan, kamu minum susu expired.”

Bakti melongo kaget. “Hah?! Tapi kok enggak kayak susu basi?”

“Meneketehe! Rasain tuh!! Makanya jangan suka nyolong makanan orang,” ketus Dian sambil bangkit dan membuang kotak susu itu ke tempat sampah. “Ambilin Lanzoprazole atau Omeprazole dari kotak obat, Ma. Kalo enggak membaik bawa si dodol bau tengik ini ke UGD.”

Darma segera membuka lemari dan mengubek-ubek kotak obat mereka yang berantakan. “Ini kenapa enggak pernah diberesin, sih? Mira, bantuin beresin dong. Kalo nungguin Dian sampe lebaran kuda pasti enggak bakal dikerjain.”

Untungnya Darma menemukan sebutir obat yang dimaksud, sementara Mira masih menyortir isi kotaknya. Darma lalu mengambil air minum dan memberikannya pada Bakti.

Tak lama kemudian Mira memanggilnya dengan nada panik. “Eh, Ma, kamu ambil obat yang mana tadi? Ini kok expiry date-nya satu Januari sih??”

Bakti yang barusan minum obat langsung tersedak, tambah pucat. Darma merebut label obat dari tangan Mira. Benar saja, obatnya sudah kadaluarsa enam bulan!

“Diaaaan! Kenapa obat kadaluarsa enggak pernah dibuang?!” seru Darma sambil membantu Mira memisahkan beberapa obat lain yang kadaluarsa.

“Halah gitu aja kayak kebakaran jenggot. Tenang ajaaa… obat masih bisa diminum sampe setahun setelah tanggal kadaluarsa, paling efektifitasnya aja yang berkurang. Selama orangnya gak mual muntah aman kok…”

“Lah, tapi ini kan dari tadi aku udah mual-mual!” protes Bakti.

“Mungkin kau lagi hamil, kali!” sahut Dian asal jeplak. “Ya iyalah mual kan kamu keracunan makanan! Tunggu aja sampe bahan-bahan kadaluarsa itu terkocok di lambungmu. Awasin nih juraganmu Ma, kalau sampe muntah aku gak mau bersihin ya. Ntar kalo mukanya tambah jelek suruh operasi plastik aja hahaha…”

Dengan raungan pejuang empat lima Bakti langsung bangkit mencekik si dokter gadungan itu. Badan Dian terdorong sampai ke tengah meja rapat, membuat anak-anak Regu Panther menjerit heboh. Darma dan Reka pun terpaksa melerai mereka.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar