Aniki
Pertama kali Bakti bertemu dengan Taruna, anak itu sedang mencopet. Lebih tepatnya, dia mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang, memeluk Darma, dan mengambil ponsel Darma dari saku celananya.
Waktu itu Bakti datang terlambat ke pertemuan perdana UKM Pramuka kampus mereka. Acaranya hanya bakar ikan dan makan-makan di Taman Kota BSD. Intinya sebagai perkenalan dan keakraban, agar minggu depan mereka bisa mulai membentuk regu. Tanpa menyapa siapa pun, Bakti sudah mengelilingi sekitaran gazebo tempat mereka berkumpul, akhirnya menemukan Darma di dekat tukang gulali bersama kloningannya Satya.
Anak itu pendek–sepantaran cewek pada umumnya. Kulit putih, wajah baby face. Rambutnya dipotong seperti cowok imut yang ada di anime. Senyumnya manis, tawanya ceria, memakai T-Shirt putih dengan tulisan kanji di depan. Dia sedang memakan gulali yang sepertinya dibelikan oleh Darma. Kesannya lugu dan innocent. Sebentar-sebentar melakukan kontak secara akrab. Dari bahasa tubuhnya, dia tampak seperti adiknya Darma. Bakti bahkan mengalami dejavu, bagai melihat Satya waktu masih Pramuka Siaga, tapi versi dewasanya. Bakti hampir menghampiri dan menegur mereka, tapi insting menyuruhnya diam dan mengamati.
Setelah mengambil ponsel Darma, anak itu menyembunyikan satu tangannya di belakang, mencolok sebuah alat ke ponsel tersebut. Alat perlengkapan intel yang juga Bakti miliki, dibeli dari Dark Web. Alat itu akan memindai dan menyimpan semua data dari ponsel yang dicolok. Bakti tidak menyangka akan bertemu orang lain yang memilikinya. Dari itu saja dia tahu anak ini berbahaya, dan semua kesan pertama tentangnya itu kemungkinan besar palsu.
Anak itu melakukan semuanya dengan cepat. Dalam sekejap ponsel Darma sudah kembali ke tempatnya.
Bakti menggertakkan gigi, lalu mendekati mereka.
“Hei, Ma, sori aku telat,” ujarnya menyapa.
Darma tampak lebih senang dari biasanya. Dia lalu memperkenalkan Bakti pada anak itu, yang menatapnya dengan mata berbinar.
“Bakti, temennya Darma,” gumam Bakti.
“Oh, halo! Aku Taruna,” ujarnya sambil mengguncang tangan Bakti dengan semangat. Dia menoleh pada Darma dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Wajah Darma memerah, lalu dia menggeleng dan menjawabnya. Taruna tersenyum mendengarkan sambil mengulang-ulang kata “hai” dengan logat Jepang.
Mereka lalu mengobrol sebentar. Dalam waktu singkat Bakti merasa Darma telah memberitahu banyak hal tentang mereka ke Taruna. Taruna menyetir pembicaraan dengan sangat halus dan hampir tidak terdeteksi seandainya Bakti tidak benar-benar waspada. Dia menggunakan banyak taktik manipulatif dan penggalian informasi yang Bakti kenali dari teknik interogasi yang diajarkan Desta, ketua geng motor bekas bos Bakti dulu.
Satu-satunya informasi yang Bakti ingat Taruna berikan secara sukarela tentang dirinya adalah bahwa dia kuliah di jurusan Hukum dan punya seorang kakak yang amat disayanginya. Tampaknya sifat mengayomi Darma membuatnya memutuskan untuk menganggap Darma sebagai kakaknya.
Bakti yakin Taruna juga telah mengambil dan menyimpan data ponselnya Bakti. Tak berapa lama Taruna pamit, memeluk Darma, lalu melambai pergi.
“Sampai ketemu lagi, Aniki!”
Darma melambai balik, lalu menatap Bakti yang memandangnya aneh. Darma berdehem, membuka mulutnya seolah ingin menjelaskan sesuatu, lalu mengurungkan niatnya dan menggigit bibir, tampak malu.
“Ntar aku kasih tahu Satya kalau kamu barusan punya adik angkat,” komentar Bakti setengah geli setengah prihatin. Dia harus menyelidiki siapa sebenarnya si kutu kecil ini.
Tengah malam komputer Bakti berbunyi. Bakti yang sudah menunggu-nunggu langsung menyeringai. Taruna tengah mengakses data yang diambilnya dari ponsel Bakti. Bakti memang sengaja menanam program trojan di HP nya. Program itu akan aktif saat ada yang menyalin dan membuka berkas milik Bakti tanpa izin. Program tersembunyi itu otomatis mengirimkan data GPS dan segala informasi pribadi dari pemilik komputer yang mengaksesnya.
Gotcha!
Bakti tengah menelusuri data ketika sinyal itu tiba-tiba mati. Hmm, boleh juga si Taruna, punya malware scanner yang bisa mendeteksi programnya Bakti. Tidak masalah, saat ini program itu sudah auto-destruct. Dia tidak bisa mendeteksi bahwa Bakti yang melacaknya.
Data dari komputer Taruna terenkripsi berlapis-lapis. Bakti sampai butuh waktu tiga hari tiga malam bergadang untuk membuka semuanya. Saat identitasnya ketahuan, Bakti setengah menyesal.
Taruna itu ternyata anak bungsu bos penjahat kelas kakap, salah satu buronan KPK. Keberadaan ayahnya saat ini tidak diketahui, sedangkan kakak perempuannya tampaknya mewarisi bisnis kriminal keluarga mereka. Cara mainnya sangat bersih, pihak berwajib belum menemukan celah dan cacat yang bisa dijadikan untuk menangkap si kakak ini. Walau diawasi dengan ketat oleh pemerintah, si kakak masih bisa menjalankan operasi gelapnya dengan tangan dingin. Hal ini membuat Bakti waswas. Kalau mereka tahu Bakti sedang menyelidikinya, nasibnya akan tamat.
Dia lalu membackup semua data ke remote server dan menguncinya dengan aman, lalu mematikan server tersebut. Dia juga menghapus semua local data dan menginstall ulang sistem operasi komputer pelacaknya. Ada hal lain yang sebenarnya mengganggu Bakti. Dia memejamkan mata, butuh istirahat. Mungkin dia bisa memikirkan semuanya nanti bila pikirannya lebih jernih.
Bakti terbangun duduk di ruangan gelap dengan kepala sakit dan tangan-kaki terikat erat ke kursi. Dia langsung terjaga, adrenalinnya melesat tinggi. Memaki-maki dalam hati, tidak menduga kalau Taruna bisa melacak balik dan menangkapnya seperti ini.
Seseorang masuk ke dalam ruangan, menyalakan lampu. Bakti mengerjap silau, belum siap saat orang itu menamparnya keras. Wangi parfum menusuk hidung saat perempuan itu menjambak rambut dan berbisik di telinganya.
“Kamu cukup pintar untuk menghapus data di komputermu, tapi aku tahu kamu menyimpan data kami di remote server. Sebutkan kata sandi untuk menyalakan mesinnya. Aku janji sahabatmu tidak jadi mati kecelakaan.”
Bakti hanya pernah bergaul dengan berandalan kelas teri macam Desta. Dia sama sekali tidak punya pengalaman berhadapan dengan ikan hiu yang paling ganas se-Indonesia, apalagi bila nyawa Darma jadi taruhan. Dengan tersendat dia memberitahu password yang diminta.
Perempuan itu mendesah dengan nada bosan, mengetik sesuatu di ponsel, lalu menepuk kepala Bakti seperti anak anjing. “Good boy.”
Dia lantas membekap Bakti dengan sapu tangan berkloroform.
Saat terbangun, Bakti kembali berada di rumah. Untuk sesaat dia berpikir mungkin barusan dia mimpi buruk, tapi setelah mengecek servernya, semua data yang ada di sana telah hilang tak berbekas.
Bakti menggigit bibir, lalu mengetik beberapa perintah di komputer.
Keesokan harinya Taruna menarik Bakti ke pojokan saat berkumpul di ruang UKM Pramuka.
“Kamu berani sekali, menggagalkan rencanaku semalam,” desis Taruna.
Oh, ya, anak itu pasti kesal Bakti telah mengirim tips pada pengusaha berlian yang diincar Taruna bahwa ada orang yang berencana membobol brankasnya malam itu. Selain itu, Bakti juga mengirim pesan pada nomor privat Taruna bahwa Bakti tahu Taruna telah menyamar jadi perempuan yang menculiknya.
Yah, sepertinya kemarin Taruna memang sedang buru-buru sehingga kurang memperhatikan samarannya. Mana ada perempuan yang memiliki jakun?
Bakti mendengus. “Aku justru menyelamatkanmu. Kamu ceroboh sekali. Kalau aku saja bisa memantau pergerakanmu, kemungkinan musuh kakakmu juga bisa. Aku nggak ngerti kenapa kamu masuk Hukum kalau masih mau mencuri dan berbuat kriminal begitu.”
Taruna menatapnya benci. “Aku punya alasan sendiri, oke? Dan aku hanya mencuri untuk membalas orang-orang yang jahat.”
“Mau jadi Robin Hood karena kamu merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukan oleh keluargamu?” sinis Bakti.
Taruna megap-megap memandangnya. “Itu bukan urusanmu. Ini peringatanku yang terakhir, Bakti, jangan campuri urusan aku dan keluargaku. Kalau kakakku benar-benar sampai tahu, kamu dan semua orang yang kamu sayangi akan mati.” Dia menarik napas. “Kamu sama sekali nggak berhak menghakimiku. Kamu sendiri paham apa arti rasa bersalah saat kamu membunuh orang yang membunuh ibumu. Jangan pikir aku tidak mengecek masa lalumu.”
Bakti tidak menjawab. Tidak juga mengacuhkan sesak yang merasuk dada saat Darma datang dan Taruna menyambutnya dengan suka cita.
Mungkin Taruna memang berbeda dengan kakaknya. Mungkin dia masuk Hukum bukan supaya bisa mencari celah agar keluarganya tetap bebas. Mungkin dia berusaha menebus dosa mereka dengan caranya sendiri. Mungkin dia benar-benar ingin Darma jadi kakaknya. Seseorang yang baik dan penuh kasih sayang, yang selalu mengajaknya melakukan kebaikan.
Bukankah Bakti juga menemukan hal itu pada diri sahabatnya?
Bakti menoleh ke arah Darma di seberang ruangan, yang ternyata sedang memandangnya dengan khawatir.
“Kamu baik-baik saja?” pandangan mata Darma seolah bertanya.
Bakti menghembuskan napas yang sedari tadi tertahan. Mengangguk dan tersenyum perlahan sebagai jawaban.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar