Halaman

Sabtu, 01 Agustus 2020

Kumcer Regu Beruang - Anak Sultan

Anak Sultan


Berlawanan dengan anggapan orang-orang sekampus, Reka itu bukan anak sultan. Ya, ayahnya pebisnis nomor satu di Surabaya yang punya aset di mana-mana. Ya, dia sering menghadiri pesta dan jamuan bisnis di hotel dan restoran yang harga es teh manisnya saja bisa buat makan Indomie sebulan. Ya, dia tinggal di apartemen mewah, bajunya mahal, dan suka gonta-ganti mobil.

Namun, yang tidak orang-orang tahu adalah, ayahnya sangat perhitungan dan dia harus membayar semua itu dengan usahanya sendiri. Ayahnya melarang keras Reka kerja untuk orang lain, jadi dia mesti membayarnya dari hasil bisnis sendiri, atau dengan bekerja untuk perusahaan ayahnya, di mana pekerjaan dan bayarannya sering tidak sebanding.

“Masalah transport beres ya guys, nanti aku yang sediain bisnya,” begitu Reka pernah mengumumkan saat rapat umum UKM Pramuka untuk membuat acara tingkat nasional. Semua bersorak memuji sultan. Acara mereka sukses, tapi setelah itu Reka menghilang dari peredaran dan bolos kuliah sampai dua minggu. Ponselnya mati total. Darma mengajak Bakti untuk menjenguknya, khawatir dia kenapa-kenapa.

Saat membuka pintu apartemen, Reka kelihatan baru bangun tidur, padahal saat itu sudah jam empat sore.

“Heii, ada duo bebek favoritku. Silakan masuk, pesan makanan, atau terserah kalian mau ngapain. Aku tidur dulu, ya,” katanya sambil mengebaskan tangan dan ngeloyor masuk ke kamar tidur.

Ruang tamunya berantakan penuh kertas dan tumpukan laporan keuangan perusahaan. Sebuah laptop masih tercolok menyala menampilkan angka-angka dalam file Excel, ponsel iPhone X putih yang tidak pernah Reka bawa ke kampus tergeletak di sebelahnya. Darma mengikuti ke kamar, prihatin karena wajah Reka bengep, tampak capek sekali. Kamar tidurnya rupanya berantakan juga, baju kotor berserakan.

“Kamu kenapa, Ka?” tanya Darma.

“Gapapa, Ma, cuma abis bergadang ngelayanin dan nyiapin berkas buat auditor,” jawab Reka ke bantalnya, sudah setengah sadar.

“Kamu kerja kantoran?” Darma tidak tahu kalau temannya itu kuliah sambil kerja. Waktu itu dia baru kenal Reka enam bulan. Dia hanya tahu kalau Reka punya bisnis makanan di beberapa lokasi dan jualan baju online.

“Enggak, kerjaan mendadak aja. Buat lima anak perusahaan papaku, soalnya kemaren aku udah pake lima bis kantor Papa buat kegiatan pramuka.”

Darma mengerutkan kening, ingin bertanya lebih lanjut tapi si Reka udah keburu ngorok. Jadi Reka membayar sewa bis mereka dengan ini? Selama ini mereka hanya tahu Reka cuma perlu menjentikkan jari untuk mendapat apa pun yang diinginkan, tapi ternyata semua ada harganya.

Darma menghela napas, merasa bertanggung jawab karena bagaimanapun Reka telah banyak membantu kegiatan pramuka mereka. Dia memunguti baju kotor dan membawanya ke dapur, tempat mesin cuci berada. Bakti ternyata sedang merapikan sampah bekas makanan pesan antar dan mencuci piring.

“Kamu aja yang beresin kertas di ruang tamu, ya, Ma, soalnya aku gak ngerti yang begituan, takut salah sortir atau ada yang ilang. Aku beliin roti, telor, susu, dan buah aja di minimarket seberang, lebih murah dari yang di basement soalnya. Kulkasnya si bos udah kosong.”

Darma mengangguk. “Eh, lho kok kamu tahu? Kamu pernah ke sini, Ti?”

Bakti mengedikkan bahu.

“Aku pernah ketemu Reka waktu dia bersihin toilet di mall milik ayahnya,” begitu Bakti mulai bercerita. “Dia sengaja mengubah penampilan, beda banget dan nggak kentara kalau nggak diperhatiin bener-bener. Awalnya dia juga menyangkal pura-pura tidak kenal waktu kupanggil, tapi akhirnya mengaku setelah aku sogok pake makanan.

“Ternyata dia udah seminggu kerja di sana, setiap habis magrib sampai mall tutup. Katanya itu perjanjian dengan ayahnya, setiap sehari menunggak uang sewa apartemen dia mesti kerja sehari di sana. Waktu itu pas usaha es krimnya bangkrut gegara ditipu rekan bisnis, jadi dia sama sekali gak punya uang. Ya udah akhirnya aku anterin dia pulang.”

“Terus gimana akhirnya dia bisa bayar tunggakan?”

“Ya… biasalah. Dia kenalan dengan banyak orang dan dapet ide bisnis baru, bolos kuliah dan dandan buat nemuin calon investor yang tepat, lalu dapet suntikan dana deh. Dagangannya laris manis sampai kita juga kebagian hasilnya. Masih inget nggak waktu dia bawa selusin kotak pizza ke pertemuan pramuka?”

Oalahh jadi begitu toh… Darma mengangguk-angguk. Barangkali karena didikan ayahnya itulah, otak bisnisnya Reka encer dan dia pintar membuat koneksi untuk mewujudkan idenya. Waktu Darma meneleponnya untuk mengucapkan terima kasih atas beasiswa dari Samudera Foundation, yayasan milik ayahnya Reka, Reka cuma tertawa kecil.

“Aku enggak ngapa-ngapain, kok, Ma, cuma ngasih info kontak program beasiswanya ke Bakti. Mereka memang selalu nyari mahasiswa bibit unggul, jadi kalau kamu berhasil mendapatkannya, itu memang karena kamu berprestasi, bukan karena aku yang nyuruh mereka nerima kamu. Aku sama sekali nggak punya jabatan apa-apa di kerajaan bisnis papaku.”

Hal itu membuat Darma semakin respek padanya. Namun, tentu saja Reka juga punya kelemahan. Dia terbiasa menggunakan uang untuk melancarkan urusannya, sehingga orang-orang yang menempel di sekelilingnya adalah yang mata duitan dan senang memerasnya. Atau sekadar menggampangkan dan menganggap dia harus mendanai berbagai kegiatan sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat.

“Aku keberatan,” potong Taruna nyaring saat salah seorang peserta rapat mengusulkan agar Reka menanggung biaya konsumsi acara pramuka yang berikutnya.

Semua menoleh padanya. Taruna menatap orang tadi seolah menantang, mengeluarkan senyum ekstra manis yang membuat Darma waspada.

“Lho, emang kenapa? Dua bulan yang lalu waktu kita bikin acara kan dia juga menyanggupi. Kalau enggak mau nanggung konsumsi bisa dituker jadi biaya akomodasi–“

“Keberatan,” potong Taruna lagi, kali ini berdiri seperti pengacara yang membantah perkataan jaksa.

Seseorang lalu menghina Taruna. “Eh, anak kecil jangan sembarangan–“

“Yang namanya anak kecil itu orang bego dengan IQ jongkok kayak kamu yang udah dibilangin sekali tapi masih ngeyel,” Dian langsung menyambar.

“Ngomong apa lu barusan?!”

“Udah bego, congek lagi! Gue bilang lo semua itu orang-orang egois yang tolol luar biasa dan gak malu ngaku jadi anak pramuka–“

Selanjutnya mulut Dian yang setajam pisau bedah itu mengambil alih kendali rapat dan mencincang semua peserta yang mendukung usul tadi. Taruna mem-backup Dian dengan counter logis dari beberapa orang lain yang mulai ramai. Situasi rapat mulai kacau dengan orang yang akan menempeleng Taruna, tapi ditahan dan didorong balik oleh Bakti, sementara Rai melindungi Dian seperti bodyguard partai oposisi saat kampanye.

“CUKUP!” bentak Sherly ke mikrofon. Dia pemimpin rapat kali ini. “Dian, Bakti, Rai, Taruna, silakan keluar.”

“Aku benar-benar keberatan,” tukas Taruna. “Kalau kami dikeluarkan semestinya semua pengacau rapat ini juga dikeluarkan–“

Orang yang tadi menghina Taruna membentaknya. “Berisik lu banci banyak bacot–“

Bakti menarik kerah orang itu dengan kasar. “Lo, gue, lapangan belakang. Gue tunggu sekarang, keluar lo kalo berani!”

Akhirnya Sherly mengeluarkan semua yang terlibat. Suasana mendadak hening, para peserta menatap Darma dengan sebal. Waduh, berat juga nih… Darma berdeham dan meminta izin bicara.

“Berhubung ketua kami tidak datang, saya mewakili Regu Beruang minta maaf atas kekacauan yang terjadi. Mungkin penyampaian kami kurang baik, akan tetapi maksud kami adalah mohon pengertian teman-teman agar tidak selalu meminta Reka untuk menanggung berbagai biaya kegiatan. Saya yakin kemandirian unit pramuka ini akan lebih terasah bila kita belajar untuk menggalang dana atau mencari sponsor.”

Rapat lalu berlanjut dengan alot, yang akhirnya disudahi dengan keputusan bahwa mereka semua akan terlibat penggalangan dana, dengan dikoordinir oleh Regu Beruang.

Malam itu Reka pulang larut. Sudah dua minggu dia menginap di rumah Darma. Karena mendanai kegiatan pramuka dua bulan yang lalu, Reka tidak bisa membayar sewa apartemen. Untungnya kali ini ayahnya bersedia melonggarkan hukuman, Reka tidak sampai disuruh membersihkan toilet lagi. Namun, dia tetap diusir dari apartemen sampai dia bisa membayarnya kembali.

Reka melepas dasi dan jas kemejanya, lalu duduk menghela napas di atas meja belajar Darma.

“Maaf aku baru cek WA. Ada apa sih anak-anak pada heboh di grup? Sampe ada 500 pesan baru, belum kubaca. Tadi Sherly juga sempat nelpon, cuma enggak aku angkat karena lagi meeting.”

Setelah Darma menjelaskan kejadiannya, Reka terdiam sejenak, tampak terharu.

“Terima kasih, kalian baik sekali,” bisiknya serak. “Belum pernah ada teman yang membelaku seperti itu. Selama ini aku iklas, kok… kalaupun aku harus membiayai lagi, aku akan berusaha sebaik mungkin–“

Darma menggeleng, menyetopnya. “Kamu nggak perlu membeli kami dengan uang, Ka. Kamu pemimpin yang baik, kami senang menjadi temanmu. Kamu punya uang maupun tidak, kami akan tetap melindungimu.”

Reka pun tersenyum. “Aku benar-benar beruntung telah bertemu dengan kalian.”

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar