Halaman

Minggu, 26 April 2020

Buku 4 - Rahasia Peta Buta

Rahasia Peta Buta

Oleh: Caritra Sari



Ilustrasi oleh Rahman A. Nur

***

Bab Satu



Satya mengucek matanya yang gatal di balik kain hitam penutup mata.

"Aduh, masih lama enggak, sih?" gumam Dwi yang duduk di samping Satya. Dari tadi dia gelisah. Tidak ada yang bisa menjawab, karena mereka semua tidak ada yang tahu ke mana dibawa pergi.

Mobil tronton yang mereka tumpangi mengerem mendadak dan membunyikan klakson. Beberapa klakson kendaraan dari arah belakang juga ikut ramai.

"Kenapa Dwi, kamu kebelet pipis?" tanya Satya.

"Ah, paling dia ketakutan karena gelap," ejek seseorang sambil tertawa. Suaranya Aryo.

"Dih asal nyahut aja, siapa yang ngajak kamu ngobrol! Aku cuma pengen tahu kita udah sampai mana. Perasaan udah lama banget kita berangkat. Lagian kenapa pakai ditutup mata dan diambil HP nya segala, sih," sungut Dwi yang paling akrab dengan teknologi. Begitu tidak memegang HP sepertinya dia jadi mati gaya.

Seseorang di depan Satya menggeser posisi duduknya.

"Baru juga satu setengah jam. Kita masih di kota, kok," jawab Wira. "Kayaknya kita enggak ke Puncak deh. Mungkin masih sekitaran Banten atau arah Parung."

"Kok kamu bisa tahu, Wir?" tanya Bimo di kanan Satya.

"Cuaca panas. Jalanan padat dan macet, kontur jalan rata. Kita bukan sedang di tol. Dengan asumsi kecepatan konstan seperti ini, kita bisa hitung radius jarak dari sekolah dan memperkirakan lokasi tujuan. Tadinya kupikir kita akan ke Situ Gintung, Ciputat, tapi mestinya kalau ke sana enggak nyampai satu setengah jam juga udah sampai sih…" jawab Wira terdengar sambil berpikir.

Kriik… kriiik… kriiiik…

Semua terdiam, karena tidak ada yang bisa membayangkan perhitungan geospasial seperti Wira yang ahli matematika itu. Bimo menyikut Satya, Satya menyikutnya balik. Seseorang terdengar cekikikan. Satya lalu menepuk-nepuk lutut Wira untuk membesarkan hatinya.

"Uhh apaan sih?" suara Ardi kayak baru bangun tidur.

"Ihh Ardi bau ileeer!!" seru Dwi sambil tertawa.

"Enak ajaa!"

Begitu mobil berhenti, suara galak Kak Bakti langsung terdengar.

"Yang bukan ketua regu dilarang buka tutup mata. Tunggu giliran turun, ketua regu di depan."

Satya melepas kain penutup matanya, lalu mengerjap silau. Setelah berhasil menyesuaikan pandangannya, dia mengintip ke luar. Mereka berada di parkiran yang cukup luas, berbatasan langsung dengan pepohonan di tepi hutan. Ada sebuah rumah besar di dekat gerbang masuk, tapi dari posisi mereka tidak terlihat plang nama tempat itu.

Tak lama terdengar seseorang membuka slot bak tronton. Rupanya Kak Darma. Dia mengabsen masing-masing regu, sekalian menyebutkan nama kakak pembina yang akan menemani tiap regu. Satu per satu turun, sampai tinggal Regu Elang dan Regu Jaguar.

Pandu, ketua regu Jaguar melipat tangan di dada, terlihat seperti jaguar yang mengintai anak ayam berbaris. Aryo pura-pura menggaruk hidung, padahal dia mengintip dari balik tutup matanya.

"Regu Jaguar sama--"

"Darma. Regu Elang sama aku," putus Kak Bakti memotong ucapan Kak Darma. Kak Darma kemudian menyuruh Pandu dan teman-temannya turun.

Setelah semua keluar dari mobil, mereka pun berbaris. Satya melihat ada lebih banyak Kakak Pembina dari biasanya, sebagian tidak dia kenal. Apa mungkin mereka teman-teman Pramuka Penegak dari regu Kak Darma?

Pak Basri membuka acara latihan rutin mereka hari itu, lalu dilanjutkan dengan penjelasan kegiatan oleh Kak Darma.

"Kali ini kita belajar mencari jejak. Kalian adalah para Kesatria yang menyelamatkan Tuan Putri dari Raja Monster. Tugas kalian adalah membawa Tuan Putri pulang ke istana, yaitu sebuah rumah pondok kayu yang berada dalam hutan ini. Di sana ada Pak Basri dan Kak Karin yang jadi Raja dan Ratu yang menunggu Tuan Putri pulang," kata Kak Darma.

"Masing-masing regu mulai dari titik yang berbeda dan mendapat peta buta. Kalian harus melengkapi peta itu dengan titik lokasi pondok regu lain. Kalian juga akan mendapat Tuan Putri, yaitu seorang kakak pembina. Pastikan kalian tidak kehilangan mereka. Kalau Tuan Putrinya sampai hilang atau dimakan monster, regu kalian didiskualifikasi. Anggota regu yang kelayapan sendirian akan dimakan monster dan tidak boleh melanjutkan misi. Regu yang semua anggotanya dimakan monster sampai tinggal sisa satu orang akan didiskualifikasi. Regu yang berhasil mengantar Tuan Putri sampai istana dengan jumlah anggota terbanyak akan memenangkan tantangan ini, mendapat poin dan hadiah."

Anak-anak langsung bergumam, sepertinya semua bersemangat ingin memenangkan misi!

"Oke, sekarang ikuti kakak pembina. Ketua regu pastikan semua anggotanya selamat. Yang lain follow the leaders," perintah Kak Bakti.

Mereka lalu masuk ke dalam hutan. Kak Bakti berjalan di depan. Satya mengikuti di belakangnya, berpegangan dan memandu yang lain yang masih memakai penutup mata. Setelah beberapa lama mereka lalu sampai di lokasi. Kak Bakti menyuruh mereka melepas penutup mata masing-masing.

Ada sebuah rumah kayu kecil di sana. Di sebelahnya ada bendera merah putih terpasang di tiang tinggi. Di pintu masuknya tertempel karton bertuliskan "Regu Elang (E)". Isinya hanya ada satu kamar, satu kamar mandi, dan ruang tengah. Mereka memutuskan untuk duduk di halaman luar sambil berembuk.

Satya membentangkan dua lembar peta yang mereka dapat. Peta pertama berisi sedikit gambar. Ada barisan pepohonan bambu, tulisan "Rawa Buaya", aliran sungai yang bercabang ketika mentok di pohon beringin, Air Terjun Bidadari, gerbang dan parkiran, dan arah mata angin. Peta yang kedua berjudul "Pondokan" berisi 10 titik pondok regu, salah satunya bertuliskan "Regu Elang". Tidak ada petunjuk arah mata angin maupun lokasi.

"Ini jadi kita mesti taruh peta pondokan di atas peta lokasi ya?" tanya Ardi sambil mencoba menumpuk peta tersebut.

Wira menggeleng, lalu memisahkan peta itu kembali dan menggeser peta pondokan jadi miring. "Kita tidak tahu di mana lokasi pondokan kita sebenarnya. Bisa jadi kertasnya harus diletakkan miring seperti ini. Kita harus menemukan pondokan lain, melihat mata angin, dan petunjuk sekitar untuk mengetahui lokasi kita."

"Duh, ribet amat?!" keluh Dwi. "Oke Google, tunjukkan lokasi restoran KFC terdekat! Ane keburu laper mak!"

Bimo tertawa berderai. Dwi nyengir dan menimpuk anak itu pakai daun kering.

"Tenaang, pertolongan pertama pada kelaparan telah tiba... wiiiuuu... wiiiuuu... wiiiuu...!" seru Ardi menirukan suara ambulans. Dia merogoh tasnya dan membagikan lontong pada semua orang. Kak Bakti yang memperhatikan di belakang mereka juga kebagian.

Akhirnya Satya meminta Wira mengambil alih komando. Wira lalu memanjat pohon kelapa di atas bukit di belakang pondokan dan melihat ke sekeliling.

"Aku menemukan tiang bendera pondokan lain di arah timur. Ayo kita cek dulu," katanya.

Mereka lalu berangkat, melewati pepohonan yang lebat. Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah pondok yang kosong. Tulisannya "Regu Macan (C)".

Wira memperhatikan kedua peta buta itu, lalu membuat beberapa catatan kaki sambil berdiskusi dengan Saka. Suara Bimo dari dalam pondok tiba-tiba mengagetkan.

"Satya, lihat sini!" serunya dengan nada panik.

Mereka semua masuk ke dalam. Ternyata ada secarik kertas putih di atas meja yang kotor. Pada kertas itu ada sebuah tulisan berwarna merah, seperti dibuat dengan jari yang berdarah dan tergesa-gesa. Hanya satu kata tertera di sana, membuat semua merinding.

Tulisannya adalah "Tolong." 

***


Bab Dua




Saka langsung mengambil kertas itu dan memeriksanya. Dia mengerutkan kening.

"Ini bukan darah," katanya. "Ini cat minyak berwarna merah. Tintanya masih basah, jadi belum lama ditulis."

"Siapa yang iseng meninggalkan pesan begini?" Bimo terdengar marah.

"Mungkin Regu Macan sendiri?" tebak Ardi. "Rama kan suka nge-prank orang."

"Tetap saja, pesan minta tolong begini bukan buat mainan. Pintu ini tidak tertutup saat kita sampai, seolah ada yang mendobrak masuk. Gimana kalau ada yang benar-benar butuh pertolongan tapi tak ada yang bergerak karena mengira itu pesan bohongan?" geram Bimo.

Dwi menepuk-nepuk bahu sahabatnya. "Sudahlah, kalau ini pesan beneran mana mungkin ditulis pakai cat minyak, bukan?"

"Mungkin itu semacam kode," gumam Wira. Semua menengok ke arahnya.

"Kode apaan?" tanya Ardi penasaran.

"Apa kalian lihat di belakang nama regu ada huruf tambahan? E untuk regu kita, C untuk Regu Macan. Mungkin ini pesan yang ditinggalkan kakak pembina?"

Semua tampak berpikir.

"Coba kita tanya ke--Kak Bakti?! Kak Bakti!" panggil Satya sambil bergegas keluar.

Kak Bakti tidak ada.

"Guys, Tuan Putri kita hilang!" seru Satya. "Berpencar jadi 3 tim dan cari dia! Berkumpul di sini dalam 10 menit!"

Setelah heboh mencari Kak Bakti yang kabur, Satya kembali ke depan pondok Macan tanpa hasil. Aduh, bagaimana ini… mereka baru mulai masa sudah didiskualifikasi?

"Tuan Putrinya di sini, Sat," panggil Ardi sambil melambaikan tangan. Dia menggandeng tangan Kak Bakti yang kelihatan kesal.

"Apaan sih, orang cuma mau pipis," geram Kak Bakti. Dia menepis lengan Ardi, tapi Ardi hanya nyengir seram dan tidak mau melepasnya.

"Pipis apaan! Mana ada orang pipis sambil lari loncatin semak-semak!" balas Ardi.

"Itu karena kaget, masa ada yang tiba-tiba teriak kalap sambil ngejar orang," ketus Kak Bakti. Mereka masih sahut-sahutan menyalahkan satu sama lain sampai akhirnya Satya terpaksa menegur.

"Stooop! Stop, jangan berantem terus!" seru Satya. "Maaf Kak Bakti, mulai sekarang kalau mau pipis bilang saja ya, nanti ditemani sama Ardi."

“Hah, masa pipis aja pake ditemenin?” protes Kak Bakti.

“Dih, siapa juga yang mau lihatin Kakak pipis, yeee!” ujar Ardi. “Kita cuma mau mastiin Kakak enggak kabur lagi!”

Kak Bakti memutar bola matanya, tapi akhirnya setuju.

Wira lalu mengajak mereka kembali ke pondokan dan mengecek ke arah lain. "Dari gambar ini ada dua pondokan dekat kita. Kita perlu menentukan pondok Macan ini di titik yang mana. Jadi kita harus menemukan pondokan berikutnya dulu."

Mereka kembali berpencar jadi dua tim, yang satu ke Utara dan satu ke Selatan. Ternyata di Utara Satya menemukan pondokan Regu Jaguar. Aryo, Pandu, dan dua orang temannya sedang makan siang. Kak Darma duduk di atas batang pohon yang ditebang sambil makan roti daging.

Kak Bakti menghampiri Kak Darma lalu memberi isyarat. Kak Darma kemudian bangkit dan mengikutinya, jalan agak menjauh dari halaman pondokan. Ardi yang mau ikut jadi ciut setelah Kak Bakti menatapnya tajam. Akhirnya dia hanya mengawasi mereka berdua.

"Eh, ada si Satya. Lama amat baru sampai sini, pasti sempat nyasar, deh," panggil Aryo dengan nada mengejek.

“Enggak, kok! Kan emang jaraknya agak jauh,” kilah Satya.

"Memang sudah berapa pondokan yang kalian temui?" tanya Pandu dengan nada tenang. Dia menyingkirkan piringnya ke tumpukan piring kotor dan meminum jus jeruk dari termos airnya.

"Dua," aku Satya, berpaling padanya. "Kalian berapa?"

"Sudah lima, termasuk pondokanmu," jawab Pandu.

Ah, tadinya Satya mau menawarkan kerja sama, tapi kalau Regu Jaguar sudah menemukan lebih banyak, dia tidak punya keunggulan untuk bernegosiasi.

"Mana anggota tim kamu yang lain? Udah pada kemakan monster, ya?" tanya Aryo sambil terkekeh.

Satya menggeleng. “Monster gimana sih maksudnya? Kami nggak nemu monster apa-apa, tuh? Regu kalian juga kok tinggal berempat? Lagi berpencar apa gimana?”

"Itu cuma kakak pembina yang memakai kostum putih-putih. Tapi mereka beneran akan menangkap anggota yang jalan sendirian. Kami sudah kehilangan dua anggota tim karena monster itu," jelas Pandu.

Oalah! Untunglah regu mereka tidak ada yang jalan sendiri.

"Oh… jadi kalian berpencar toh? Pantas cepat sekali bisa ketemu lima tempat," gumam Satya. "Eh iya, kamu sudah lihat kondisi pondokan Macan, belum?"

"Hmm, kertas bertinta merah di kamar itu, ya? Sudah. Itu kode bahwa regu tersebut sudah didiskualifikasi."

"Hah?! Kenapa?" tanya Satya penasaran.

Pandu mengedikkan bahu. "Kata Kak Darma karena Tuan Putrinya kabur. Kakakmu juga hampir kabur tuh."

Huh, ternyata begitu… semua kakak pembina akan mencoba kabur untuk membuat mereka terdiskualifikasi!

"Jalan lagi, yuk," ajak Aryo sambil bangkit. Dia memperhatikan peta di tangannya. "Kurasa aku sudah tahu selanjutnya harus ke mana."

Sayangnya dia tidak melihat dan tersandung Wira yang sedang membetulkan tali sepatunya.

"Aduuh! Ngapain sih ngehalangin jalan orang?!" bentak Aryo kesal, setengah menyepak Wira. Wira meringis dan minta maaf, lalu mengambilkan peta yang terjatuh dari genggamannya.

Satya membantu Wira bangun. "Kamu enggak apa-apa?"

Wira hanya mengangguk.

Di kejauhan Kak Bakti meninggalkan Kak Darma, yang lalu menghampiri Aryo dan berjalan menjauh bersama Regu Jaguar.

"Sebentar, aku mau lihat dulu kode di pintu pondokan Regu Jaguar," kata Wira setelah mereka agak jauh.

Satya tertegun, lalu tersenyum. Wah, ternyata teman-temannya masih bersemangat mengerjakan tugas ini. Dia malah tidak kepikiran akan melihat kode itu.

Ternyata di pintu pondokan tertulis “Regu Jaguar (I)”.

“Itu angka satu atau huruf I sih?” tanya Ardi.

Wira mengedikkan bahu. “Kalau melihat pondokan kita dan Regu Macan harusnya itu huruf I ya, bukan angka. Tapi enggak tahu deh, soalnya kita belum lihat pondokan yang lain. Siapa tahu memang ada angkanya.”

Tidak ada yang berkomentar, karena tidak ada yang tahu maksud tambahan huruf itu apa. Sesaat sebelum mereka sampai ke pondokan, tiba-tiba terdengar teriakan keras.

Astaga! Itu suara Bimo!

***


Bab Tiga



"Haiyaaaa!"

Ardi datang dengan pose menyerang. Jagoan Taekwondo itu memang bisa diandalkan dalam situasi genting seperti ini. Tapi dia malah ditabrak Bimo yang lari ketakutan. Mereka berdua jatuh.

"Adududuh! Kamu ngapain sih Biiiiim?!" seru Ardi kesal.

"Ituuu, di-di balik pohon ada hantuuu!!"

"Hantu apaan?!"

"Pokoknya seram deh! Pake baju putih-putih gitu kayak pocong!"

Ardi lalu menggeplak kepala temannya, lalu bangkit dan marah-marah sendiri.

Satya tertawa, membantu Bimo bangun, lalu menjelaskan, "Itu bukan hantu, itu monsternya alias kakak pembina! Kamu pasti lagi sendirian deh. Kok enggak bareng Dwi dan Saka?"

Bimo mendengus. "Tadi si Dwi kebelet boker! Saka nganterin dia. Ngapain aku ikutan nungguin orang berak, kan bau!! Lagian aku kan cuma duduk nungguin mereka di halaman pondokan, enggak jalan-jalan sendiri."

"Yee, tetep aja kamu kelihatan sendirian kan. Para monster itu mengintai kita, tahu!" sungut Ardi kesal.

Mendengar itu Dwi yang baru keluar pondokan langsung ketawa. "Astaga Bimo mau dimakan monster. Kamu kegendutan kali Bim!"

“Apaa?!” seru Bimo lalu mengejar Dwi keliling halaman.

"Udah, udah! Ayo kita baru nemuin dua pondokan nih, nanti keburu sore," kata Satya.

Wira menggelar peta mereka dan menyalin titik pondokan di peta yang satu ke peta yang ada gambar pepohonannya, lalu memberi keterangan nama regu ada masing-masing titik.

"Aku sudah dapat arah mata anginnya. Kalau peta ini menggunakan skala yang sama, kita bisa menemukan semua pondokan ini dengan cepat. Tadi aku juga sempat mengintip petanya Regu Jaguar--"

"Woah, Wira! Gak kusangka kamu bisa nyontek juga. Kirain anak beasiswa jujur semua," komentar Bimo.

Tiba-tiba Wira berhenti menulis. Dia menatap Bimo, tampak mau bicara, tapi kemudian menunduk dan mengurungkannya. Wira menggigit bibir dan menyerahkan peta itu pada Satya.

"Maaf… aku sudah lancang," gumamnya.

Suasana hening. Semua melotot ke arah Bimo. Bimo jadi salah tingkah.

"Yah, sebenernya tadi enggak ada larangan kerja sama atau saling mengungguli yang lain, sih…" kata Bimo sambil garuk-garuk kepala.

"Aku enggak keberatan," sahut Dwi. Dia berkacak pinggang.

"Ehmm... sebenarnya ini kurang sportif ya. Kita kan bukan sedang melawan penjahat," kata Ardi ragu. "Lain cerita kalau kita jujur pada Pandu untuk mengajaknya kerja sama dan dia setuju."

Satya berpaling pada Saka, yang belum berpendapat.

"Bagaimana kalau kita tanya ke Kak Bakti?" usulnya.

Semua berpaling pada Kak Bakti, yang berdiri bersandar di bawah pohon dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan mereka.

"Kalau kalian lagi ditemani sama Darma, kalian pasti akan didiskualifikasi. Soalnya dia strict memegang kode etik pramuka yang harus jujur dan sportif," jawab Kak Bakti sambil nyengir. "Tapi kalian beruntung aku yang sedang mengawasi. Kalau sama aku sih santai aja, soalnya aku spesialis pengumpul informasi untuk regu. Aku juga pakai cara begitu, cuma aku nggak pernah bilang sama Darma dan yang lain."

Teman-teman lalu menatap Satya, menunggu keputusan.

"Ya sudah, gini aja… kalau kita ketemu Regu Jaguar lagi, aku yang akan ngomong jujur dan minta maaf atas nama Regu Elang. Kalau mereka minta bantuan dari kita sebagai gantinya, aku tidak keberatan."

Yang lain pada mengangguk setuju. Ardi lalu usul mereka makan dulu sebelum melanjutkan. Dwi langsung melonjak girang. Mereka sibuk menyiapkan makanan.

Wira menghampiri Satya, matanya berkaca.

"Maaf ya, Satya," ujar Wira terbata. "Aku sama sekali enggak mikir ke situ… aku juga enggak suka orang yang curang."

Satya menepuk pundaknya. "Aku tahu Wir, enggak mungkin kamu dapat beasiswa kalau kamu tukang nyontek. Jangan berkecil hati. Kami masih butuh keahlianmu untuk misi kali ini, jadi tolong tunjukkan jalannya ya. Kita akan mengerjakannya sebaik mungkin dengan kemampuan kita sendiri."

Wira lalu tersenyum mengangguk mendengarnya.

Setelah makan mereka kembali menyusuri hutan. Selama berjalan Wira menjelaskan prinsip-prinsip mencari jejak dan navigasi pada anggota regu. Dwi yang buta arah cuma mengangguk-angguk saja, sedangkan yang lain cukup cermat memperhatikan. Mereka melewati pepohonan bambu sesuai dengan perhitungan Wira, membuat mereka semakin yakin atas notasi peta yang dia buat.

Di dekat Rawa Buaya, tiba-tiba Bimo terpeleset. Ardi yang berjalan di sebelahnya langsung menyambar lengannya. Namun karena licin, mereka berdua malah terjatuh!

Bimo berteriak panik, takut digigit buaya. Gerakannya membuat ransel mereka terlepas. Ardi lantas menyeretnya menuju tepian, lalu Kak Bakti menarik mereka dengan sentakan cepat dan keras. Bimo terjerembap di samping Ardi. Saka memeriksa keadaan mereka, yang untungnya tidak terkilir atau luka.

"Aah, gimana nih... persediaan makanan kita!" seru Bimo memandangi ransel yang sudah setengah tenggelam.

"Ya ampun... udahlah, daripada kita ambil terus digigit buaya? Kan konyol!" komentar Ardi.

"Memangnya di sini beneran ada buaya, Kak?" tanya Saka pada Kak Bakti. "Kalau melihat habitatnya sih mungkin aja, tapi ini hutan yang dibuka untuk umum, kan? Masa masih ada binatang buasnya?"

"Setahuku udah enggak ada, sih. Itu Rawa Buaya cuma nama doang," kata Kak Bakti sambil terkekeh.

"Huuh! Kenapa enggak bilang dari tadi?! Tahu begitu aku enggak usah panik, kan," sungut Bimo melotot kesal. Tapi dia sudah tidak mau masuk ke rawa. Akhirnya Ardi yang mengambilkan ransel mereka, walau isinya sudah terendam lumpur dan tidak terselamatkan.

Mereka berhasil menemukan pondok berikutnya di dekat air terjun bidadari. Pondoknya kelihatan kosong, jadi Ardi dan Bimo bermaksud mandi dulu. Soalnya sudah gatal, lumpur hitam yang menempel di seluruh tubuh mereka sudah mulai mengeras. Namun saat masuk, tiba-tiba seseorang langsung menyerang mereka dengan sapu.

"Hiyaaa! Rasakan ini, dasar wewe gombel!" seru seorang anak. Untung Ardi refleks menangkap gagang sapu itu.

"Hei, apa-apaan! Kita bukan wewe gombel!" seru Ardi.

Ternyata anak itu adalah Feri, wakil ketua Regu Tupai. Semua anggota regunya sudah dimakan monster, kecuali Feri dan Rino, yang ngumpet ketakutan di kamar mandi.

"Kami nyeraaah! Tolong Kaaaak! Kami mau udahan!" seru Rino sambil melambaikan sapu tangan putih. Rupanya mereka berpisah jalan menjadi dua tim, lalu navigator mereka sudah tertangkap. Baik Feri maupun Rino tidak pandai mencari arah. Daripada jalan-jalan dan tersesat di hutan akhirnya mereka hanya berdiam di pondok. Kak Bakti lalu menelepon kakak pembina Regu Tupai, memberitahu agar mereka ditemani keluar.

"Lho, Kak Bakti kok bawa HP? Terus kok bisa dapet sinyal?" tuduh Dwi.

"Lha iya dong, yang enggak boleh bawa HP kan cuma pesertanya. Kakak-kakak pembina gimana mau koordinasi buat ngurusin kalian kalo enggak bawa HP? Dan ini masih hutan kota kok, kita bukan di gunung terpencil," tukas Kak Bakti tertawa.

Dwi menatapnya sebal, tapi tak bisa berkata apa-apa. Feri lalu menghampiri Satya, memberitahu bahwa dia mau bantu karena Regu Elang sudah menyelamatkan mereka.

"Ini peta pondokan yang sudah kami temukan. Semoga berguna buat kalian," kata Feri sambil menyerahkan petanya.

Wira segera mencatatnya.

"Wah, berarti kita sudah dapat lokasi semua pondokan, nih... tapi istana rajanya ada di mana?" tanya Bimo. Semua menatap peta dengan penuh tanda tanya.

"Kode huruf itu," gumam Satya kemudian. "Wir, bisa tolong tuliskan kode huruf semua pondokan?"

Wira mengangguk, lalu menuliskannya di bagian atas peta.

E-C-I-R-S-V-O-S-R-R

"Ini anagram, huruf acak yang membentuk suatu kata," bisik Dwi dengan nada kagum. Semua lalu berpikir dan menebak-nebak.

"Cross River," kata Satya beberapa saat kemudian. "Istana Raja ada di seberang sungai."


***

Bab Empat



Karena sudah malam, mereka memutuskan untuk beristirahat di pondok Tupai. Namun berhubung persediaan makanan mereka sudah rusak terkena lumpur, mereka pun tidak bisa makan malam.

"Mamaaaa aku lapeeeer!" seru Dwi.

Bimo menimpuk anak itu dengan kaos agar dia diam.

"Kak Baktiiii pesenin Go-Food dong!" Dwi masih berguling-guling di lantai. Mereka semua menggelar sleeping bag di lantai, sementara Kak Bakti tidur di kasur sendirian.

Kak Bakti yang lagi memainkan HP tidak memedulikannya.

"Satyaaaa bilangin kakakmu Tuan Putri kita pelit! Masa dia tega gak mau ngasih kita makan?! Huaaaa!"

"Astagaa Dwi berisik banget sih! Udah bobo aja kenapa?? Enggak makan sekali kita tuh gak bakalan mati!" ketus Ardi.

"Kata siapa??"

"Tanya aja Saka!"

"Sakaaa!! Emang manusia bisa tahan lapar berapa lama, sih??"

Saka yang sudah tidur lelap lantas terbangun. Sepertinya dia masih setengah sadar, karena Dwi harus mengulangi pertanyaannya.

"Manusia bisa tahan enggak minum selama tiga hari. Kalau makan ada yang bisa sampai tiga minggu. Tapi itu semua tergantung kondisi badan masing-masing," gumam Saka, masih terdengar mengantuk.

Kak Bakti tiba-tiba memutar rekaman audio saat Dwi merengek minta dipesankan Go-Food.

"Ahahahah kamu jadi trending topic di grup WA Pembina, nih!" seru Kak Bakti sambil terbahak.

"Kak Baktiiii!!! Hapus nggak?! Mana sini HP-nya!" geram Dwi sambil meluncur ke kasur, mencoba merebut HP Kak Bakti. Mereka lalu bergelut, yang tentu saja dimenangkan oleh Kak Bakti.

Entah bagaimana akhirnya semua tertidur. Tengah malam Satya terbangun ingin pipis. Tiba-tiba di luar sayup terdengar suara seperti orang minta tolong.

Siapa??

Satya segera membangunkan Ardi.

"Di, ada orang di luar… kayaknya dikejar sesuatu! Aku dengar suara geraman gitu… gimana nih?"

"Mungkin ada yang dikejar monster kali?"

"Ya tapi kan enggak pakai suara seram juga kali! Kalau ada yang dikejar harimau gimana?"

"Ah, masa sih. Kak Bakti bilang kan di sini udah enggak ada binatang buas? Ya udah coba kita lihat dulu."

Ardi menemani Satya ke depan, lalu membuka pintu. Dari balik semak-semak muncul seseorang yang berteriak ketakutan, segera menyerbu mereka.

"Toloooong! Ada babi hutan!!" seru orang itu sambil membanting pintu sampai tertutup. Dia Ogi, navigator Regu Jaguar. Di luar terdengar suara “grok grok” si celeng, tapi tak lama kemudian pergi.

Semua terbangun mendengar keributan itu.

Ternyata Regu Jaguar sedang kemah di dekat sungai. Ogi yang mau pipis lalu keluar, tapi tidak sengaja melewati sarang babi hutan. Induk babi hutan yang mau melindungi anaknya jadi menyerang. Ogi langsung kabur tunggang langgang.

"Hah… terus anggota regu kamu sekarang di mana? Kalau kawanan babi itu menyerang kemah gimana?" tanya Satya khawatir.

Kak Bakti menggerutu, lalu segera menelepon Kak Darma.

"Oi, anakmu nyasar ke sini, nih!" serunya begitu telepon diangkat. Kak Bakti masuk dan menutup pintu kamar agar pembicaraannya tidak didengar.

Untungnya Kak Darma dan anggota Regu Jaguar yang lain tidak apa-apa karena masih di dalam tenda sehingga kawanan babi itu tidak merasa terancam. Keesokan paginya mereka mendatangi lokasi kemah Regu Jaguar. Ternyata mereka sudah beberes dan siap melanjutkan perjalanan. Namun rupanya mereka belum tahu di mana letak istana Raja.

Satya lalu menghampiri Pandu untuk bicara secara pribadi dan meminta maaf. Pandu memandangnya sambil tersenyum kecil.

"Sebenarnya aku nggak masalah, buatku cara begitu sah-sah saja. Tapi kalau kamu memang menawarkan bantuan dan kerja sama, dengan senang hati aku menerimanya."

Satya lalu memberitahu petunjuk yang mereka dapat.

"Tapi persisnya ada di mana?" tanya Aryo yang kemudian datang mengikuti pembicaraan. "Sungai ini ternyata cukup panjang."

Ogi dan Wira memperhatikan peta mereka, lalu bertukar pikiran sampai sepakat.

"Menurutku kita harus menemukan pohon beringin itu dulu," kata Wira akhirnya. "Pohon itu tertera dalam peta, padahal jauh dari lokasi pondokan, jadi kupikir itu sesuatu yang penting."

Tiba-tiba perut Dwi berbunyi kencang. Wajahnya suntuk ketika mereka semua berpaling padanya.

"Apa lihat-lihat? Aku beneran laper dari kemaren siang belum makan!"

Pandu tampak terkejut. "Kalian belum makan?"

Wajah Satya memerah. "Iya hehe… Kemarin ransel perbekalan kami jatuh ke lumpur."

Pandu geleng-geleng kepala, lalu meminta Aryo memberikan makanan mereka.

"Huh, jatah makan siang kita jadi berkurang nih," protes Aryo, tapi tetap memberikan roti daging untuk Regu Elang dan Kak Bakti, juga Ogi yang ketinggalan sarapan.

Mereka lalu menyusuri sungai ke hilir. Semakin ke hilir ternyata sungainya semakin luas. Begitu menemukan pohon beringin yang dimaksud mereka terdiam.

"Gila! Ini sih udah lautan, bukan sungai lagi!" komentar Dwi.

Wira menggeleng. "Ini masih sungai kok. Lebar sungai dari sini ke pohon mungkin sekitar 20 meter. Dari pohon itu ke seberang sekitar 30 meter. Dengan sungai selebar ini dan arus yang deras, cukup bahaya kalau diseberangi dengan berenang."

"Terus gimana?" tanya Bimo. "Emang kamu yakin di seberang itu istananya?"

"Iya, itu dari sini kelihatan benderanya kok," kata Wira. Benar juga, benderanya tampak kecil dan sebagian tertutup pepohonan.

"Siapa aja yang enggak bisa berenang?" tanya Satya kemudian. Ternyata Ogi tidak bisa berenang. Dwi juga mengaku lemas karena kurang makan.

"Kamu mau bikin flying fox?" gumam Pandu pada Satya. Dia memperhatikan tinggi pohon yang bisa dipakai untuk menjadi jangkar.

"Tadinya kupikir lebih simpel kalau bikin jerat pengaman dan kita menyeberang dengan berenang sambil diikat pada jerat tersebut. Tapi flying fox sepertinya bagus juga, bisa menghemat tenaga."

Satya lalu menoleh pada Wira, yang segera menghitung panjang tali yang dibutuhkan dengan teorema pitagoras sederhana. Setelah itu mereka mengecek panjang tali gabungan yang mereka bawa, ditambah tali dari Kak Bakti dan Kak Darma.

"Wah, ternyata cukup nih panjang talinya. Siapa yang bisa berenang ke seberang untuk memasang tali?" tanya Wira.

Ardi mengajukan diri untuk menyeberang dulu ke tengah. Setelah memasang tali pengaman dan menyeberang, Ardi lalu memasang simpul tali-temali yang dibutuhkan untuk membuat flying fox. Pandu yang mengetes duluan, lalu melanjutkan berenang sampai ke sisi seberang dan memasang tali lagi di sana.

Akhirnya semua anggota regu berikut Tuan Putrinya berhasil menyeberang. Sesampainya di istana mereka disambut dengan meriah oleh para kakak pembina. Dwi senang sekali saat mereka disuruh makan makanan yang dihidangkan.

Pak Basri lalu menjelaskan bahwa tantangan ini memang tidak bisa diselesaikan sendirian. Persediaan tali mereka tidak akan cukup untuk menyeberangi sungai yang cukup lebar, jadi mereka butuh kerja sama antar tim. Regu Elang memenangkan sesi latihan kali ini, sedangkan Regu Jaguar juga mendapat poin tambahan karena mau bekerja sama. Mereka pun pulang dengan gembira.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar