Bencana di Katamso
Oleh: Caritra Sari
Ilustrasi oleh Rahman A. Nur
***
Bab Satu
"Hatchiiim!"
Satya dan Saka berhenti, menoleh ke belakang.
Wira mengambil sapu tangan dan mengusap hidung. Wajah merah, mata berair.
"Kamu lagi pilek, Wir?" tanya Satya prihatin.
"Iya nih, dari semalam agak pusing," gumam Wira.
Saka merogoh ke dalam tas dan menyodorkan sebuah masker kain pada Wira.
"Kalau lagi sakit pakai masker, Wir, supaya kumannya enggak ke mana-mana. Istirahat dulu, mumpung besok akhir pekan," kata Saka. Dia lalu melirik Satya dan memintakan izin, "Besok Wira ngga usah ikut latihan aja, ya, Sat?"
Satya mengangguk. "Ngga apa-apa kok Wir, yang penting kamu sembuh dulu."
Wira lalu memakai masker itu. "Makasih Satya, Saka. Maaf aku enggak sempet nyari masker, kemarin sibuk ngerawat Mamah dan Abah yang sakit."
Bimo, Ardi, dan Dwi yang tadi jalan di belakang ikut mendengarkan.
"Aku antar pulang, ya, Wir," kata Ardi yang rumahnya searah dengan Wira. "Yok, semua. Sampai ketemu besok, ya!"
"Daah!"
"Aduh, aku jadi takut si Wira kenapa-kenapa. Jangan sampe kena wabah virus corona kayak tahun lalu. Dulu ibuku stress banget, bentar-bentar ngasih info ini itu dari grup WA. Infonya makin lama makin serem, sampai darah tingginya kumat karena terlalu cemas," kata Bimo sambil memasukkan kedua tangan ke saku, menendang kerikil di depannya. "Mulai saat itu Ibu wanti-wanti banget supaya aku enggak deket-deket temen yang lagi sakit."
"Emang gitu info di internet, Bim. Siapa aja bisa nulis, jadi simpang siur. Kita mesti bisa menyaring informasi, jangan main percaya dan forward aja. Cek dulu kebenarannya," komentar Dwi yang paling jago komputer di antara mereka. Dia menaikkan kacamatanya. "Ada juga yang isinya benar tapi tulisannya didramatisir dan bikin takut. Ikuti kabar dari lembaga kesehatan resmi saja. Kalau ada wabah lagi minta ibumu puasa sosmed dulu, kasihan kalau gara-gara pikiran dan perasaan yang jelek mulu malah bikin beliau sakit. Itu beneran ada kasusnya lho, tanya aja Saka..."
Saka tersenyum tipis. "Iya, namanya psikosomatik. Beban mental yang mempengaruhi kesehatan fisik. Darah tinggi termasuk rentan kambuh kalau pikiran kita kacau."
Saka lalu mengajak yang lain ke arah mushola.
"Tapi anjuran ibumu benar, Bim. Jauhi orang yang batuk-pilek, kasih masker kalau dia enggak punya, dan kalau kita sakit jangan ke mana-mana. Tadi kita udah duduk dekat Wira, sekarang sebaiknya kita cuci tangan dulu," kata Saka. Dia lalu mengambil botol sabun cair kecil dari tas dan membuka keran tempat wudhu, menyontohkan cara cuci tangan yang benar.
"Kira-kira besok materinya apa ya?" tanya Satya penasaran. Mereka kembali berjalan menyusuri lapangan badminton. "Jarang-jarang lho kita latihan gabungan sama PMR kayak gini. Apalagi sampai mengundang kakakmu, Saka."
Ayah dan ibunya Saka seorang dokter. Kakaknya yang pertama juga dokter, namanya Dokter Nusa. Karena pembina PMR sekolah mereka kenal dekat, mereka mengundangnya. Pembina Pramuka juga tidak mau ketinggalan, mengikutkan anak-anak untuk nebeng latihan dengan alasan mereka juga perlu mengenal kecakapan medis.
"Hmm... apa ya? Mungkin pertolongan pertama pada kecelakaan? Ada di silabus pramuka soalnya," ujar Saka.
Tiba-tiba seorang anak perempuan berambut panjang dikuncir kuda mendahului mereka dari belakang. Cantik sekali. Anak itu jalan bersama temannya yang berambut pendek. Dia menoleh dan tersenyum manis pada Saka. "Sampai jumpa besok, Saka. Besok kamu ikut, kan?"
"E-eh, i-iya… sampai nanti, Putri," gagap Saka. Wajahnya sedikit memerah ketika anak perempuan itu melambaikan tangan.
Satya mengerutkan kening, tidak pernah melihat temannya seperti itu. Biasanya Saka selalu terlihat kalem dan cool. Satya mau menyikut Bimo, tapi ternyata dia tidak ada di sebelah. Ketika menoleh, rupanya Bimo sedang jalan melambat sambil memperhatikan perempuan kuncir kuda itu. Dia tidak melihat tiang jaring badminton di depan.
DUAK!!
"Aduh!" Bimo terhuyung ke belakang. Putri yang baru jalan beberapa langkah menoleh karena suaranya. Begitu sadar sedang dilihat, Bimo buru-buru bangun, tapi sayangnya dia malah tersandung dan jatuh.
Jeritannya lumayan membuat Satya kaget.
"Kenapa Bim??"
Mereka bergegas mengerubunginya.
"Aaah," lirih Bimo sambil memegangi tangannya. Darah mengalir dari telapak tangannya yang tertancap beling.
"Astaga!" seru Dwi kaget.
Saka sudah berlutut di depan Bimo yang terduduk. Dia menekan pergelangan tangannya dan perlahan mencabut pecahan kaca itu.
"Maaf ya, tahan sebentar," gumamnya.
Bimo memejamkan mata dan menggigit bibir, bahunya sedikit terlonjak saat beling itu lepas. Saka memperhatikan dengan seksama, tapi rupanya tidak ada pecahan lain yang menancap. Dia lalu membantu Bimo kembali ke tempat wudhu mushola untuk mencuci dan membersihkan lukanya.
Putri ternyata anggota PMR. Dia sudah siap di samping Saka, menyodorkan kasa steril untuk mengeringkan tangan.
"Ow, kenapa malah dipenceeet?" protes Bimo ketika Saka menekankan kasa itu ke lukanya.
"Soalnya ini masih berdarah. Kalau 5 menit belum berhenti berarti lukanya cukup dalam, mungkin kena pembuluh darah," jawab Saka dengan sabar.
"Hah… maksudmu… aku bakal matiii??!"
Dwi menggeplak bahu Bimo. "Semua orang juga bakal mati, broo!"
Saka cuma geleng-geleng kepala. "Kalau lukanya dalam perlu ke dokter, bisa jadi butuh dijahit."
Bimo tampak tambah ketakutan.
"Jangan khawatir, tuh pendarahannya udah berhenti," ujar Putri sambil tersenyum, membuat Bimo tersipu. Dengan sigap Putri mengoleskan salep antiseptik dan membalut tangan Bimo dengan perban.
"Pas sampai rumah perbannya udah bisa dilepas ya," pesan Putri.
"Kamu keren banget, Putri, kok bisa siap peralatannya gitu, sih?" puji Satya kagum terhadap kecekatan Putri dan Saka dalam mengobati Bimo. "Kayaknya Saka aja enggak bawa apa-apa, tuh?"
Putri mengedikkan bahu. "Kebiasaan karena tugas piket di PMR, aku selalu bawa kotak P3K kecil di tas."
Satya mangut-mangut. Putri lalu pamit duluan.
"Kamu besok mau izin sakit juga, Bim?" tanya Satya kemudian.
"Ya enggak, lah! Cuma kegores gini aja masa sampai melalaikan tugas negara," ujar Bimo semangat.
"Halah, bilang aja mau ketemu Putriiii! Haloo pengumuman-pengumumaaaan, Bimo suka Putri gaesss!!" sahut Dwi sambil kabur dan tertawa.
"Woi, sini kamuuu!" geram Bimo mengejar Dwi.
Satya cuma bisa nyengir melihat mereka.
***
Bab Dua
Anak Pramuka dan PMR SDN 03 Bintaro sudah berkumpul di lapangan sekolah sejak pagi. Kak Santi, Perawat Sekolah yang juga merupakan Pembina PMR, membuka acara dan memperkenalkan Dokter Nusa pada anak-anak. Ada Kak Darma dan Kak Bakti juga jadi Pembina Pramuka yang membantu mengawasi kegiatan. Hari itu mereka akan mempraktekkan materi pertolongan pertama pada kecelakaan yang teorinya sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya.
Anak PMR dibagi dan ditugaskan ke tiap regu Pramuka. Saat tahu regu mereka sekelompok dengan Putri, Dwi langsung cengar-cengir.
"Ehm, ehemm…. Eh gaes pantatku kok mendadak gatal ya?! Aku pindah deket Satya aja deh," gumam Dwi asal sambil pindah tempat duduk, sehingga Bimo duduk tepat di sebelah Putri. Wajah Bimo merah padam, Satya jadi geli melihatnya. Mereka semua lalu berkenalan. Putri ditemani dua anak PMR lain yaitu Eva dan Anisa. Mereka ngobrol sebentar, membahas teori apa saja yang pernah diberikan kakak pembina.
"Wah, ternyata materi pramuka ada kesamaan dengan materi PMR juga, ya…" komentar Ardi. "Kalo di regu kami yang jago masalah medis kayaknya cuma Saka."
Satya melirik Saka, yang dari tadi diam saja. Dia sedang membaca buku catatannya.
"Ah, iyaa… waktu itu Saka sempat masuk eskul PMR, lho…," sahut Putri. "Kamu pinter banget Saka. Aku kagum dengan keluargamu yang berdedikasi jadi dokter dan mengobati orang banyak. Aku jadi semangat ikut PMR. Sayang waktu itu akhirnya kamu keluar dan milih Pramuka…"
Mendengar itu wajah Saka bersemu, tapi dia tidak berkomentar apa-apa.
"Lho? Aku pikir dari awal kamu memang milih eskul Pramuka, Saka?" tanya Ardi.
"Iya, waktu itu aku ikut dua eskul, tapi jadi keteteran. Mami nyuruh aku milih salah satu," jelas Saka.
Satya ingin menanyakan alasannya memilih Pramuka, tapi ternyata Dokter Nusa keburu tampil di depan.
"Selamat pagi, anak-anak! Siapa yang pernah kepeleset terus jatuh gedebuk?" tanya Dokter Nusa membuka percakapan.
Dwi langsung berdiri dan melambaikan tangan. "Ini, Dok! Temen saya Bimo kemaren jatoh gedebuk dan kena beling!" serunya sambil menunjuk Bimo.
"Dwiiii! Apaan sih!!" Bimo kelihatan malu campur kesal.
"Bukan cuma itu Dok, dia juga kejedot tiang gara-gara ngelihatin cewek! Kemaren sore aku lihat sendiri!" seru Aryo dari Regu Jaguar. Anak-anak langsung ribut tertawa.
Dokter Nusa tersenyum lebar. "Waduh, kalian ini kecil-kecil kok ngomongin cewek. Ayo sini kamu ke depan, tadi siapa namanya?"
Bimo bangkit ke depan, lalu Dokter Nusa memeriksa lukanya.
"Wah, ini penanganannya bagus. Lukanya enggak begitu dalam, sih. Kamu langsung ke dokter? Kemarin siapa yang obati?"
"Putri, Dok," jawab Bimo malu-malu.
"Uhuyyyy! Pangerannya malah diselamatkan Tuan Putri!" Aryo bersuit kencang. Anak-anak kembali tertawa. Satya melirik Putri yang menyembunyikan wajahnya di tangan.
"Oke, kalau gitu kita coba praktek seperti ini ya. Untuk PMR Mula dan Pramuka Penggalang fokusnya ke mengetahui dan melakukan pertolongan pertama pada diri sendiri dulu. Yang simpel dulu aja, kejadian sehari-hari seperti lecet dan terkilir. Nanti saya jelaskan juga cara membersihkan luka. Kalian bagi kelompok masing-masing. Ada yang berperan sebagai pasien dan ada yang jadi dokter."
Selesai presentasi dari Dokter Nusa, serempak mereka beraksi. Bimo berpasangan dengan Putri. Dwi dengan Eva, Ardi dengan Anisa, dan Satya dengan Saka. Saka dan anak PMR yang pertama bertindak sebagai dokternya, supaya bisa menunjukkan contoh pada Satya dan yang lain. Lalu perannya dibalik. Berhubung mereka baru pertama kali mencoba, hasilnya jadi acak-acakan. Perban Putri yang dipasang Bimo lepas. Balutan yang Satya buat di tangan Saka terlalu kencang. Jempol Eva menyembul dari perban yang dibuat Dwi. Dan Anisa jadi kayak mumi waktu Ardi memasang perban di kepalanya! Anisa yang jadi mumi lalu mengejar Ardi.
"Haduuuh," Satya memegangi perutnya yang kram karena tertawa. "Ternyata susah juga ya!"
"Sepertinya untuk pertemuan ini segitu dulu. Ada yang mau bertanya?" kata Dokter Nusa sambil tersenyum.
"Dok, gimana kalau ajarin cara ngasih pernapasan buatan? Misal kayak menolong orang tenggelam seperti di film gitu?" tanya Rama dari Regu Macan dengan semangat, sambil memonyongkan mulut seperti mau mencium orang. Anak-anak cewek dari PMR langsung protes.
"Huuu… siapa juga yang mau peragain?? Dasar modus kamu!" seru Eva sambil meleletkan lidah.
Dokter Nusa ketawa geli.
"Sebenarnya itu bukan materi untuk anak SD ya, karena prakteknya enggak semudah seperti yang kelihatan di TV. Ini ada pelatihannya sendiri. Kalau ada orang tenggelam dan tidak bernapas lagi, segera telepon ambulans saja," jelas Dokter Nusa.
"Untuk mengejutkan jantung orang itu butuh tenaga besar. Kalau kamu lihat prakteknya mungkin bakal takut. Setiap kita berusaha memompa dada boneka manekin saat latihan akan terdengar derak bagai tulang patah. Memang tak jarang tulang rusuk orang sampai memar atau bahkan patah karena tindakan ini. Jadi harus dilakukan oleh orang dewasa yang merupakan tenaga terlatih."
Anak-anak pada mengangguk-angguk.
“Enggak semua yang dilihat di TV itu bener. Secara prakteknya hampir semua yang dimunculin di TV Indonesia untuk hal yang berikaitan dengan kedokteran ini salah. Jadi jangan suka diikutin,” pungkas Dokter Nusa.
Karena tidak ada pertanyaan lagi, Dokter Nusa pun pamit mau bertugas di rumah sakit.
"Oke, PR kalian besok adalah membuat video bersama kelompok untuk memeragakan apa yang sudah dipraktekkan hari ini. Bikin sebagus mungkin, kalau perlu dandan dan pakai obat merah supaya kelihatan berdarah beneran gitu," kata Kak Santi kemudian, menutup pertemuan kali itu.
Setelah berdiskusi sebentar, mereka pun sepakat mengerjakan tugas kelompok itu di rumah Putri.
"Tenang aja, besok aku bawa alat make up dan spesial efek lengkap," sahut Dwi yang hobi sinematografi itu dengan semangat. "Mau didandanin kayak zombie juga bisa!"
Gantian Bimo menggeplak lengan temannya itu.
"Awas ya kalo aku yang disuruh jadi zombie! Nanti kumakan kau! GRAOO!!"
Semua lalu beberes dan beranjak pulang.
Tiba-tiba Kak Santi memanggil Saka.
"Saka, tas Dokter Nusa ketinggalan nih, kayaknya tadi dia buru-buru," kata Kak Santi. "Saya kembalikan ke kamu, ya?"
"Oh, iya Kak, makasih," kata Saka sambil mengambil tas hitam itu. Dokter Nusa sepertinya lupa kalau dia bawa dua tas. Saka lalu memeriksa isinya. Ternyata perlengkapan P3K yang tadi sempat dipakai untuk peragaan.
"Kamu mau nyusul Dokter Nusa ke rumah sakit sekarang?" tanya Satya.
"Enggak, kayaknya ini bukan tas kerja utamanya sih, mungkin sengaja disiapkan buat presentasi di sini aja," kata Saka menutup kembali tas itu. Dia lalu mengambil HP dan mengirim pesan pada kakaknya. "Besok saja aku antar ke rumahnya, setelah dari rumah Putri di Palmerah."
"Lho? Kirain entar malem ketemu di rumah?"
Saka menggeleng.
"Kak Nusa udah punya rumah sendiri di Slipi. Gapapa, Slipi kan udah deket dengan Palmerah."
"Ohh gitu… besok aku temani deh," kata Satya sambil tersenyum. "Pengen tahu juga rumahnya Dokter Nusa hehehe..."
Putri lalu pamit pulang pada anggota Regu Elang. "Dah, Saka!"
Saka mengangguk canggung, mukanya kembali pias.
"Kok cuma Saka yang didadahin sih?" sungut Bimo saat mereka juga beranjak pulang.
"Cieee ada yang cemburu nih yee," goda Dwi sambil mengacak rambut Bimo. "Sakaaa, nggak nyangka kamu ya... cinta lama bersemi kembali hahaha!"
Bimo menepis tangan Dwi, sama-sama memerah mukanya seperti Saka.
Satya dan Ardi saling berpandangan.
***
Bab Tiga
"Hey guuuuys! Yo, what's up broo... welcome back to my channel--"
"CUUUT!! CUT CUT CUT!" Dwi melotot pada Bimo. "Kok jadi channel kamu sih Bim?! Harusnya kan channel Regu Elang! AYO ULAANG!"
"Busyet dah sutradaranya galak amat!" gerutu Bimo, lalu pura-pura merapikan rambut sambil melayangkan senyum sok cool pada Putri. Anak perempuan itu hanya cekikikan melihatnya.
"Ready?? 1… 2… 3… ACTION!"
"Hai teman-temaaaan!! Jumpa lagi dengan aku Bimo dari Regu Elang Pramuka Penggalang SDN 03 Bintaro, pembawa acara yang paling ganteng di sekolah ini!" Bimo membuka video mereka dengan lihai, lalu mengedipkan mata ke kamera.
"Kali ini kita kedatangan tamu-tamu cantik niiih dari Palang Merah Remaja sekolah kita. Mereka adalah para perawat handal yang berjaga di barisan belakang dan sigap menarik para peserta upacara yang mau pingsan."
Kamera berputar pada Ardi dan Satya yang lagi berbaris. Ardi sempoyongan dan berlagak mau pingsan, lalu ditarik oleh Anisa yang berdiri di belakang. Kemudian Bimo kembali loncat ke depan kamera.
"Pingsan?? Ya iya lah, Senin pagi buru-buru berangkat mau upacara sampai lupa sarapan? Ohoho… biasa itu mah, aku juga sering begitu haha... Sempat sekali pandangan gelap dan hampir jatuh, untung keburu ditarik ke UKS dan dikasih teh manis panas hehehe… mereka ini baik sekali. Rela gantian piket jaga UKS dan penuh dedikasi pada kerjaan menolong orang lho gaes! Yuk ah enggak usah kelamaan basa-basi, kita kenalan dulu!"
Putri, Eva, dan Anisa lalu muncul di layar dan memperkenalkan diri. Mereka menjelaskan akan memeragakan beberapa cara pertolongan pertama pada kecelakaan.
"Yak, CUT!" seru Dwi. Dia tersenyum lebar, wajahnya terlihat puas. "Bagus banget gaes! Siap-siap untuk adegan selanjutnya ya!"
Eva lalu membantu mendandani Satya dan Ardi sebagai orang sakit. Ternyata Eva pintar memakaikan make-up lho! Maklumlah orang tuanya punya usaha Wedding Organizer dan kakaknya tukang rias andalan yang sering disewa orang.
Tak berapa lama wajah Satya kelihatan lebam seperti habis berantem, lengkap dengan benjol di kepala. Aslinya itu karet lateks yang ditempel dan dibedaki dengan warna kulit dan dibuat seperti bonyok. Satya sampai terkesima melihat hasilnya. Kalau bundanya lihat dia kayak gini pasti langsung menjerit histeris.
Ardi terlihat pucat dan mimisan, sedangkan Bimo mendapat luka lecet, baret di lengan, dan telapak tangan yang tertusuk benda tajam.
Dwi kemudian merekam saat mereka terhuyung memasuki ruangan UKS, ceritanya habis ikut tawuran.
Putri, Eva, dan Anisa yang sedang piket langsung tanggap dan menyuruh mereka berbaring di tempat tidur. Putri memarahi mereka sebentar karena sudah ikut tawuran. Sembari memeragakan mengobati Bimo, Putri lalu menjelaskan prinsip-prinsip perawatan luka sayat dan pendarahan pada pemirsa. Eva menjelaskan mengenai trauma benda tumpul saat mengobati Satya, dan Anisa menjelaskan mengenai penanganan syok dan mimisan. Saka berperan sebagai asisten yang menyediakan alat-alat kesehatan pada para "dokter" dan menjelaskan fungsi dan cara memakainya.
Hari sudah siang ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas.
"Mantap gaes, malam ini aku edit dulu videonya. Nanti kalau udah jadi aku upload ke Youtube channel regu kita ya," kata Dwi.
Setelah membereskan perlengkapan syuting, Putri menjamu mereka dengan siomay bikinan sendiri. Bimo lalu mengajaknya mengobrol, kelihatannya asyik sekali. Saat Satya melirik Saka, dia sedang mencuri pandang pada Putri dan Bimo dengan muram, lalu mengecek jam tangannya dengan gelisah. Sebelum Satya bisa bertanya ada apa, Saka sudah keburu beranjak bangun.
"Eh, aku pamit duluan ya teman-teman, soalnya masih mau mampir ke tempat kakakku."
Mendengar itu Satya jadi ingat dia berjanji menemani Saka. Dia pun ikut pamit. Ternyata Bimo, Ardi, dan Dwi juga beranjak bangun.
"Yaah, kok pada buru-buru amat, sih?" tanya Putri.
"Iya, maaf ya Put… sore ini aku ada les piano, nanti aku bisa terlambat," jelas Saka dengan senyum kaku.
"Ya udah deh, hati-hati di jalan ya, salam buat Dokter Nusa."
Saka mengangguk, lalu keluar untuk menelepon kakaknya sementara Ardi dan Dwi mengambil tas perlengkapan mereka.
"Ah, nggak asik banget sih kamu Saka, padahal si Putri lagi cerita-cerita. Nggak bisa lihat orang seneng, ya?" tuduh Bimo saat melewati Saka. Dia menabrak bahu Saka dengan pelan, lalu berjalan duluan di depan. Ardi dan Dwi masih di belakang, jadi hanya Satya yang melihat kejadian itu. Saka tidak membalas ucapan Bimo. Dia hanya menunduk dengan raut wajah keruh.
Satya lalu memanggilnya. "Saka--"
"Oh iya Satya, kakakku bilang dia lagi enggak di rumah, lagi piket di Rumah Sakit Tarakan. Jadi agak jauh, harus ke Stasiun Tanah Abang dulu kalau naik kereta. Kamu sama yang lain pulang duluan aja, aku bisa ke sana sendiri," kata Saka sambil tersenyum.
"Ah, enggak apa-apa kok, sekalian jalan-jalan," tukas Satya. Ardi dan Dwi yang menyusul mereka lalu mengiyakan.
KRL ke Tanah Abang hari Minggu siang itu cukup lengang. Ardi membantu nenek-nenek yang mau naik. Satya memberi tempat duduk pada ibu hamil, dan Saka memberi masker pada bapak-bapak yang batuk.
Sesampainya di Tanah Abang mereka memutuskan untuk jalan kaki ke RS Tarakan. Menurut Dwi yang mengecek Google Maps jaraknya hanya 20 menit dari stasiun. Baru setengah jalan rupanya Bimo sudah kehausan. Tadi dia lupa mengisi ulang botol minumnya di rumah Putri.
Akhirnya mereka singgah dulu di Alfamart cabang Jalan Bridgen Katamso. Karena cuaca terik, perempatan jalan itu terlihat sepi dari para pejalan kaki. Gedung pasar swalayan itu terlihat kusam dan catnya retak. Sepertinya ruko ini gedung lama yang sudah tua. Ada dua toko dengan plang memudar di samping Alfamart, tapi keduanya tutup.
"Pada mau nitip apa?" tanya Bimo. Dwi memberikan uang dua puluh ribu, nitip Pocari Sweat dua botol. Satu untuknya dan satu lagi untuk Ardi yang juga haus tapi bokek. Saka menggeleng ketika ditanya, sedangkan Satya menemani Bimo masuk ke dalam.
Wih, sejuknya masuk ke ruangan ber-AC. Tidak ada orang lain yang sedang belanja. Satya segera mengambil susu kotak dingin dan membayar, sedangkan Bimo masih memilih-milih minuman di dalam.
KRATAKK!
Tiba-tiba terdengar bunyi retakan yang keras.
Dua karyawan pria di ujung ruangan lari dengan mata terbelalak, berteriak-teriak. "Cepat keluar! Gedungnya--"
KRAAK!!
Suara gemuruh yang memekakkan telinga menelan teriakan semua orang. Satya yang berdiri di depan pintu terdorong keras keluar oleh kedua orang itu, sekilas melihat Bimo sedang menolong kasir yang terjatuh. Sesuatu menohoknya dari belakang. Satya terjerembab dan tertindih seseorang.
Gedung itu pun roboh.
***
Bab Empat
"SATYA!!"
Ughh… seseorang memanggil namanya. Kepalanya pusing sekali. Dia tidak bisa bergerak, susah bernapas… tertimpa oleh sesuatu. Kaki dan tangannya perih. Dunia bagai berputar, lalu tiba-tiba beban yang menghimpitnya terangkat.
"Ardi! Pegang tangannya," perintah seseorang di dekat Satya.
Saka? Satya membuka mata, samar melihat Saka mengambil ponsel dari kantung celana dan melemparnya pada seseorang.
"DWI!! Emergency Dial 1!" teriak Saka. "Pak Gojek, tolong panggil polisi atau pemadam kebakaran! Satya, ada yang terasa ngilu atau sakit?"
Satya menggeleng lemah.
"Ardi, angkat pada hitungan ketiga. Satu… dua… tiga!"
Ardi dan Saka membantu Satya pindah berbaring di tempat yang aman.
"Tarik napas dalam. Kamu bisa lihat jelas?" Setelah memastikan Satya dalam keadaan sadar sepenuhnya, Saka segera memeriksa tubuh Satya.
"Satya baik-baik aja kan, Saka?" tanya Ardi khawatir. Orang-orang mulai berkerumun. Beberapa abang ojek online yang tadi mangkal di depan membantu karyawan yang tadi berhasil keluar. Rekannya tampak terduduk di sampingnya sambil meringis. Darah membercak di sekitar celana panjangnya yang sobek.
"Saka, kakakmu mau bicara!" panggil Dwi tegang sambil menyalakan loud speaker ponselnya Saka.
"Apa yang terjadi?" tanya Dokter Nusa, terdengar tenang.
"Aku, Dwi, dan Ardi lagi nunggu Satya dan Bimo beli minuman di Alfamart Jalan Katamso. Gedungnya satu lantai dan sudah tua. Enggak ada gempa atau apa pun tiba-tiba saja terdengar bunyi retak dan atap sisi sebelah kiri gedung runtuh. Sisi atap sebelah kanan sudah miring tapi masih utuh. Pintu kacanya sudah pecah," lapor Saka cepat dengan nada yang sama.
"Ada korban? Gimana kondisinya?"
"Satya temanku sempat terdorong keluar oleh dua karyawan yang berhasil keluar. Satya sadar, lengannya lecet, lutut memar." Saka lalu memperhatikan karyawan yang tadi menabrak Satya keluar gedung. "Dua karyawan pria usia dua puluhan. Satu orang betisnya sepertinya kena pecahan pintu kaca, kelihatan syok. Satu lagi kepala benjol dan pelipisnya berdarah. Temanku Bimo dan mbak kasir masih terjebak di dalam. Bagian kanan gedung dekat kasir masih muat orang berdiri. Beberapa abang ojek sedang mencoba masuk."
"Oke, ambulans sudah berangkat, sampai sana dalam 5 menit. Perhatikan kondisi gedung, jangan paksa evakuasi kalau tidak memungkinkan. Pantau kondisi korban dan tunggu bantuan datang saja."
"Ya, Kak," sahut Saka lalu memutus panggilannya. Dia menarik dan membuka tasnya Dokter Nusa, lalu dengan cepat mengelap luka lecet Satya dengan kain antiseptik dan menyuruh Ardi mengompres memar di lutut Satya.
"Aku cek pegawai toko yang terluka dulu," pesannya sebelum bangkit. Satya menarik tangannya.
"Saka, Bimo gimana? Tadi dia dekat kasir."
Saka tersenyum tipis. "Tadi aku dengar suaranya minta tolong. Tenang saja, nanti akan ditangani dengan baik."
Saka lalu bergegas mendatangi orang yang syok tadi, menyuruhnya berbaring miring dan bersandar ke belakang dengan nyaman, posisi kepala lebih rendah dari kaki. Dia lalu segera memeriksa dan membersihkan luka sayat di kakinya.
Dwi rupanya mengikuti Saka, masih sempat-sempatnya merekam aksi temannya itu. Dia juga merekam upaya penyelamatan yang dilakukan para abang ojek terhadap Bimo. Mereka sudah bisa masuk ke dalam. Walau beton penyangga sisi kanan tidak runtuh seluruhnya, ruang geraknya cukup sempit.
Mbak penjaga kasir rupanya berhasil selamat tidak tertimpa beton karena ditarik dan dilindungi oleh Bimo, hanya terkilir kakinya saja. Bimo sendiri menjerit ketika hendak diangkat abang ojek.
Saka langsung bangkit dan berlari, mengecek kondisinya.
"Sebentar, pelan-pelan Pak, jangan diangkat sembarangan, mungkin kakinya patah," cegah Saka.
"Tapi kita harus cepat keluar, Dek. Kalau gedungnya ambruk lagi gimana?" protes abang ojek.
Untungnya ambulans dan mobil pemadam kebakaran sudah keburu datang. Merekalah yang akhirnya mengeluarkan Bimo. Para korban yang sudah keluar gedung segera diangkut ke rumah sakit. Keluarga masing-masing juga dihubungi.
Kak Darma langsung memeluk Satya begitu dia sampai di UGD. Rupanya kondisi gedung yang runtuh itu memang sudah tua dan mengkhawatirkan, namun tidak kunjung direnovasi. Toko di sebelah Alfamart saja sudah tutup dan ditinggalkan pemiliknya. Pemilik gedung saat ini sedang dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Sedangkan pemilik gerai Alfamart itu berjanji membiayai pengobatan para korban. Karena lukanya sudah ditangani dan tidak ada keluhan lain, Satya diperbolehkan pulang.
"Bimo gimana?" tanya Kak Darma prihatin sambil memandangi sosok yang tampak tertidur di tempat tidur samping Satya.
"Kasihan, dia sedang istirahat. Kakinya patah. Orang tuanya lagi ke luar kota, tantenya juga sibuk menjaga adiknya, jadi dia sendiri. Katanya malam ini mau dirawat inap," jawab Satya.
"Oke, nanti aku dan Bakti gantian temani Bimo di sini. Kakak mau ngomong dulu sama Dokter Nusa ya," ujar Kak Darma. Satya mengangguk.
Tak lama kemudian Saka menghampiri Satya. Dia terlihat lelah dan khawatir, tapi tersenyum ketika melihat Satya.
"Terima kasih ya, Saka, untung kamu ada di sana," kata Satya sambil membalas senyum.
"Sama-sama. Aku senang bisa membantu walau cuma sedikit… Kamu akan baik-baik saja," katanya menenangkan. "Istirahat dan minum obat, segera ke dokter kalau ada keluhan tambahan."
Satya mengangguk, lalu menanyakan kabar yang lain. Ardi dan Dwi rupanya sudah pulang. Saka sendiri nanti dijemput Kak Melia. Dia menawarkan tumpangan pada Satya dan Kak Darma, yang dengan senang hati disambut Satya.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan Putri masuk dengan muka pucat.
"Kakaak, syukurlah Kakak selamat huhuhu...," ujar Putri sambil menangis. "Maaf baru sampai, kami sudah berangkat secepat mungkin."
Olala… rupanya mbak penjaga kasir itu kakaknya Putri! Orangtuanya juga datang, suasana ruang UGD pun jadi ramai. Dokter Nusa bercerita kronologi kejadiannya dan menenangkan mereka.
Putri lalu memandang Saka dengan terkejut.
"Saka! Kamu yang nolongin kakakku?" tanya Putri dengan rasa kagum tergambar jelas di wajah.
Saka menggeleng pelan. "Bimo yang lindungin kakak kamu waktu gedungnya runtuh. Setelah itu kakakmu dibantu keluar gedung oleh abang ojek."
"Ohh… Bimo mana?" tanya Putri kemudian, khawatir.
"Itu, lagi tidur--" tunjuk Satya.
"Uhh--lho, ada Putri?"
"Bimoooo!!!" Putri segera berpaling dan mendatangi tempat tidur Bimo. Dia kembali menangis, menggenggam tangan Bimo erat-erat. "Makasih banget yaaa… Kamu udah nolongin kakakku huhuhu… sampai kamu sendiri patah kaki begitu! Pasti sakit banget, ya?"
"Eh, kakakmu? Engg-sekarang udah enggak sakit kok Put, kan tadi udah dikasih obat hehehe…" jawab Bimo salah tingkah. Bimo terperangah waktu Putri bilang kasir itu adalah kakaknya. Mereka lalu mengobrol bersama.
Saka lantas memalingkan pandangan.
"Eh, Saka, waktu itu aku sebenernya mau tanya, kenapa kamu milih masuk Pramuka?" tanya Satya iseng.
"Oh, itu… tapi jangan bilang siapa-siapa ya," gumam Saka. Dia melirik ke belakang sebentar, lalu merendahkan suaranya. "Aku keluar PMR soalnya di sana ada Putri. Entah akunya yang kegeeran atau gimana... dia itu… kayak ngejar-ngejar aku terus…. Aku risih… enggak bisa fokus belajar kalau berada di dekat dia."
Satya hanya manggut-manggut saja.
"Selain itu, di Pramuka ada Bimo," Saka mengaku, membuat Satya kaget.
"Emang Bimo kenapa?"
Saka tersenyum. "Waktu Bimo jadi ketua regu Pramuka Siaga dua tahun yang lalu, dia pernah melawan anak-anak yang sering mem-bully aku. Setelah itu sampai sekarang aku nggak pernah lagi diganggu. Aku amat berterima kasih," jelasnya. "Selain itu, aku juga senang berada di regu ini dan merasa cocok dengan kalian. Jadi aku lebih memilih ikut Pramuka dan melepas PMR."
Wah, tak disangka kesetiaan Saka terhadap regu mereka diawali oleh perbuatan baik Bimo. Satya pun tersenyum senang.
Seminggu kemudian, ketika Dwi memutar hasil editing rekaman videonya di depan peserta gabungan Pramuka dan PMR sekolah, semua terbengong-bengong. Bak sinetron campur aksi laga, cerita tentang bahaya tawuran sekolah dan akibatnya pada siswa pun mengulir, lengkap dengan musik dan spesial efek audio-visual. Serasa nonton film perang kemerdekaan beneran, benar-benar dramatis!
Apalagi ada aksinya Saka menolong "korban tawuran" dari gedung Alfamart yang dirusak para pelajar yang beringas. Semua yang nonton ikut deg-degan saat melihat proses penanganan dan evakuasi korban. Video kelompok mereka paling bagus, semua bertepuk tangan dengan kencang saat video selesai diputar. Mereka pun dapat nilai tertinggi untuk tugas itu. Horeee!
***
Catatan Penulis:
Alhamdulillah akhirnya selesai jugaa cerita kali ini hehehe... Seperti cerita banjir kemarin yang memakai data-data real, cerita ini juga terinspirasi dari kejadian nyata, yaitu robohnya Gedung Alfamart di Jalan Katamso, Slipi, bulan Januari yang lalu. Aslinya gedung itu 3 lantai, dan memang tiba-tiba roboh tanpa gempa, hanya karena gedungnya sudah tua. Tapi di cerita ini gedungnya dibuat 1 lantai saja supaya enggak separah yang asli kerusakannya. OK keep safe & stay healthy guys!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar