Halaman

Rabu, 12 Februari 2020

Buku 2 - Penyelamatan Perahu Karet

Penyelamatan Perahu Karet

Oleh: Caritra Sari


Ilustrasi oleh Rahman A. Nur

***

Bab Satu



"Sat, aku bareng kamu, ya," panggil Ardi ketika Satya mengambil sepedanya di parkiran.

"Lho, kamu ngga bareng Saka naik mobil?"

"Enggak, mobilnya Saka enggak muat. Aku cuma nitip ransel sama anak-anak."

Mereka lalu menggowes sepeda meninggalkan sekolah. Hari sudah sore, para siswa yang ikut ekskul hari itu sudah bubar.

"Si Wira gimana, jadinya dibolehin nginep sama mamahnya? Katanya disuruh jaga adek?" tanya Satya sambil memperhatikan jalan.

"Boleh, tuh ... mungkin karena dibilang mau ikut baksos, kali. Tadinya adeknya mau ikut, tapi terus dilarang mamahnya karena bakal ngerepotin dia."

Tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara klakson mobil, cukup kencang. Ardi tidak kaget, tapi Satya yang di sisi tengah jalan sempat limbung. Untungnya dia cepat menguasai sepedanya.

Sebuah sedan biru melambat di kanan Satya. Jendela belakangnya terbuka, kepala Bimo nongol dari sana.

"Santai amat sih Bang, serasa jalanan milik berdua aja. Di belakang udah mulai macet nih gara-gara kalian. Kalo mau curhat mbok yao jangan di tengah jalaaan!" seru Bimo. Dwi sontak tertawa. Wira yang duduk di ujung juga senyum-senyum.

Satya melirik ke belakang mobil, yang masih kosong melompong. Ingin protes, tapi dia tahu kalau dia salah. Naik sepeda bersebelahan seperti ini sebenarnya bahaya, karena makan badan jalan dan menyusahkan pengendara lalu lintas di belakang. Selain itu, mereka jadi rawan terserempet kendaraan.

"Woi, Ardi! Ranselmu isinya apaan, kok berat banget?!" seru Dwi kemudian. Ardi tidak menjawab, cuma meleletkan lidahnya.

Jendela depan lalu terbuka. Saka dan kakaknya yang sedang menyetir melongok dari sana. "Satya, Ardi, ikut bareng nggak?" tanya Kak Melia, kakaknya Saka yang kuliah di Fakultas Kedokteran UI.

"Eh, enggak usah Kak, makasih … lagian enggak muat, kan ... masa kita mau duduk di atap mobil hehehe …," canda Satya.

Dia langsung disoraki Bimo dan Dwi.

"Huu … kalau kalian mah duduknya di bagasi aja! Hahaha …."

"Ya udah kita duluan ya, Sat," pamit Saka.

"Eh udah tahu jalannya, kan? Nanti enggak usah nungguin aku, langsung masuk aja. Ada Kak Darma di rumah."

"Iya, gampanglah itu. Yuk, duluan yeee!" lambai Bimo. Mobil itu berlalu dengan cepat. Di belakangnya ternyata sudah ada beberapa sepeda motor.

"Di, aku duluan di depan, ya. Kamu tinggal ikutin aja," kata Satya kemudian. Ardi menyetujuinya, mereka pun konvoi ke rumah Satya.

Sesampainya di rumah, Kak Darma sedang menemani Kak Melia ngobrol. Teman-teman Satya lagi asyik berlomba menghabiskan kacang mede di toples.

"Sat, kakakmu kayak ninja juga, ya," bisik Bimo. "Tadi pas aku ketok pintu dia masih pake kolor. Eh begitu lihat yang nganter Kak Melia dalam sekejap dia kabur dan pas muncul udah rapi jali wangi gitu."

Satya cuma ketawa. Setelah Kak Melia pulang mereka gantian mandi, makan malam bersama, dan santai-santai di kamar Satya. Dwi dan Ardi lagi tanding game racing di HP (Ardi pinjam HP Saka karena HP dia butut). Wira baca komik, Bimo menyetel musik, sementara Satya dan Saka mengobrol tentang rencana besok.

"Besok kakakmu ikut, Sat? Katanya sakit?" tanya Bimo sambil mengecilkan suara radio di meja belajar.

"Cuma demam karena radang tenggorokan. Hari ini kan udah istirahat dan minum obat, kayaknya sih udah baikan," jawab Satya sambil menumpuk tas mereka di pojokan agar tidak sempit dan ada ruangan buat menggelar kasur lipat. Untuk sesaat dia terpana melihat ransel Ardi yang paling gede sendiri, kayak orang mau naik gunung.

"Lokasi baksosnya di mana, Sat?" tanya Saka yang sedang duduk bersila di atas kasur Satya.

"Lokasinya di Lebak, Banten. Beberapa desa terkena banjir bandang akibat longsor dan hujan deras. Ada yang sampai terisolir karena jembatan akses jalannya putus diterjang banjir."

"Wah, di mana, tuh? Kayaknya kita mesti pelajari medan dulu, deh," gumam Bimo. "Wiiiir! Navigator!"

Wira menengadah, lalu menutup komiknya. "Ada peta, nggak?" tanyanya mendekat.

"Aku cari dulu atlasnya. Sementara lihat Google Maps dulu aja, kayaknya bisa lebih detil deh," ujar Satya. Bimo lalu mengais HP Saka yang sedang dimainkan Ardi, dan melemparnya pada Wira. Soalnya di antara mereka yang HP nya paling bagus dan lengkap aplikasinya cuma Saka dan Dwi.

"Yah, Bimooo! Padahal bentar lagi menang!" sungut Ardi.

Wira lalu membuka aplikasi peta di ponsel itu. Mencari alamat dan menelusuri medan. Anak itu memang andalan regu mereka dalam navigasi lokasi baru dan mencari jejak. Dia bisa membaca peta buta dan mengingat peta secara akurat dengan cepat.

"Ini longsornya di kaki Gunung Halimun. Kalau dari deskripsimu, lokasinya mungkin di sekitar sini, ya, Sat?" tanya Wira sambil memperbesar peta dan menunjuk ke satu titik. Satya yang telah menemukan atlas menyerahkannya pada Saka.

"Kemaren Kak Budi ada ngirim lokasi di WA. Aku forward ke grup, ya."

Setelah dicek ternyata memang benar itu lokasi yang ditunjuk Wira. Saka lalu menandai lokasinya di atlas. Bimo menarik Dwi yang masih asyik main supaya berkumpul. Wira menjelaskan akses jalan menuju ke sana pada yang lain.

"Aduh, aku susah nginget jalan," sahut Dwi sambil garuk-garuk kepala. “Katanya mau bagi tugas? Aku sesi dokumentasi buat presentasi nanti, kan? Jadi enggak perlu ikut jalan keliling kampung."

Ardi menimpuknya pakai bantal. Sebelum Dwi membalas dan terjadi perang bantal, Satya lalu membenarkan.

"Saka, kamu gantiin aku presentasi tentang pilah sampah ya. Bimo nemenin buat mimpin di sesi games. Dwi dokumentasi, jadi kalian bertiga tetap di posko. Aku, Wira, sama Ardi nanti yang bergerak di lapangan buat bagi-bagi makanan dan logistik di kampung itu. Tapi kalau presentasinya bisa kelar cepat, kalian mesti siap bantu kerjaan lain. Nanti teknisnya koordinasi sama Kak Budi."

Semua mengangguk-angguk dan mengiyakan.

"Berhubung masih musim hujan jangan lupa siapkan jas hujan dan baju ganti kalian ya. Sekarang mendingan kita tidur cepat, simpan tenaga buat besok."

"Oke, bos!" 

***

Bab Dua



Mereka berangkat habis subuh, setelah sarapan. Lokasinya lumayan jauh, perkiraannya dua setengah jam perjalanan dari rumah Satya di Bintaro. Kak Budi menyetir mobil Kijang miliknya. Di sampingnya duduk Kak Darma, sedangkan Satya dan kawan-kawan duduk di barisan tengah dan belakang.

Sepanjang jalan Kak Budi bercerita tentang musibah banjir bandang yang menimpa daerah itu minggu lalu. Longsor di kaki gunung terjadi karena pertambangan liar dan penggundulan hutan. Ada 30 desa yang terkena banjir, dengan lebih dari 3.200 keluarga yang mengungsi ke delapan pos. Mereka akan mengadakan dapur umum buat para pengungsi, membantu di tenda kesehatan, dan membagikan makanan pada desa yang terisolir. Beberapa kwartir pramuka juga berkumpul dan turun sebagai tim yang bergerak ke lokasi-lokasi yang terisolir. Kak Darma mengiyakan, berkomentar bahwa teman seregunya juga ikut semua.

Bimo menyikut Satya.

"Wah, gawat. Berarti ada Kak Bakti," gumamnya.

Satya meringis. Kak Bakti beberapa kali menemani Kak Darma saat melatih pramuka di sekolah. Waktu pertama kali datang mereka kira dia preman, soalnya kelihatan urakan dan galak. Dia pernah menghukum Satya dan Bimo yang terlambat datang latihan, lari sepuluh kali mengelilingi lapangan bola RT yang terletak di seberang sekolah.

Sesampainya di lokasi mereka segera beraksi. Semua tas dikumpulkan, diberi nomor, dan dijaga panitia. Saka, Bimo, dan Dwi mengatur meja dan menggelar presentasi, sementara Satya, Wira, dan Ardi mengikuti Kak Darma ke tepi sungai Ciberang. Dari atas bukit terlihat jalan dan jembatan yang rusak, rumah yang tergenang sampai ke atap, dan ladang bebatuan yang lebar di samping sungai.

"Parah juga ya, kerusakannya?" tanya Ardi.

Kak Darma mengangguk. "Katanya ada 200 jembatan roboh dan jalan yang amblas sampai 40 meter. Tiga ribu rumah dan kantor pemerintahan rusak."

Wira mengerutkan kening setelah menatap pemandangan di bawah beberapa saat. "Sungainya bergeser," katanya sambil menunjuk ladang batu. "Itu tadinya sungai, tapi karena longsor airnya tumpah ke kampung di tepinya. Sungainya terkuras jadi batu, kampungnya berubah jadi sungai."

"Wow," gumam Satya sambil melongo.

"Kita harus hati-hati," kata Wira kemudian. "Muka bumi saat ini udah enggak sesuai peta. Perhatikan kondisi sekitar agar enggak tersesat. Nanti aku kasih tahu titik-titik acuan yang bisa jadi patokan arah."

Satya cuma bisa mengangguk. Boro-boro tahu ke mana mereka mesti bergerak. Di hadapan mereka membentang lautan air yang diselingi atap rumah dan pepohonan. Dia sudah tidak tahu mana yang daratan dan mana jalannya karena semua sudah berubah menjadi sungai.

Mereka segera menuju pusat komando kwartir pramuka di bawah. Setelah pengarahan sebentar, mereka mendapat perahu karet, peta, data hunian rumah yang akan dikunjungi, berikut logistik yang akan dibagikan. Kak Darma lalu memompa perahu dan mengecek perlengkapan keamanannya.

"Wira nanti di perahu aja, jagain barangnya supaya enggak jatuh ke air," pesan Satya ketika mereka menaikkan barang. Paket makanan berisi nasi bungkus dan teh manis, dimasukkan ke plastik bening yang diikat supaya kedap air.

"Sayang banget ini plastiknya sekali pakai buang, kita mau ramah lingkungan tapi paketnya malah pakai plastik," komentar Ardi. Ada seratus bungkus yang akan dibagikan ke tiga puluh keluarga.

"Yah, mau gimana lagi ... kalau pakai rantang nanti rantangnya mesti dijemput dong. Udah gitu kalau jatuh ke air atau butuh dilempar nasinya bisa tumpah enggak kemakan," ujar Satya. Dia melipat sling yang disediakan untuk melempar paket ke rumah penduduk yang sulit dijangkau.

"Yuk, buruan. Udah mendung nih, kayaknya bentar lagi hujan. Udah pada bawa jas hujan, kan?" tanya Kak Darma. Semua mengiyakan, lalu memakai jaket pengaman dan naik ke perahu satu per satu. Kak Darma duluan duduk di ujung, memegang kayuh. Di depannya tertumpuk paket logistik dan Wira, sedangkan paling depan ada Satya dan Ardi. Agak sempit memang, mereka duduk berdempetan. Lalu Kak Darma mulai mengayuh.

Wuaah! Satya cengar-cengir. Rasanya seperti naik perahu bebek di pinggir danau.

"Kok lambat amat sih, Kak, kapan sampenya nih? Kalo gini mah mending aku jalan, toh airnya masih sepinggang," komentar Satya.

Kak Darma mendengus. "Berat, tahu! Makanya kamu diet, makan jangan kebanyakan!"

"Huuu … enak saja! Aku kan masih masa pertumbuhan! Kakak aja kali yang kurang olahraga!"

Ardi tertawa geli melihat perangai kakak adik itu. Setelah menyeberangi sungai, sampailah mereka pada barisan rumah yang terendam banjir. Wira lalu mengarahkan agar mereka menghampiri rumah pertama. Sebuah rumah kecil bercat krem dan beratap merah.

"Assalamualaikum, permisiiii ... pakeeet!" seru Ardi dengan tangan membentuk corong. Sayangnya mereka tadi tidak dikasih toa.

Belum ada yang menyahut, jadi Satya ikut berteriak menirukan tukang pengantar makanan.

"GO FOOOOOD!!"

Semua langsung cekikikan.

"Buuu, ada Go Foooood!" Sayup terdengar suara anak kecil dari dalam.

"Hah?? Go Food?! Kok bisa?!"

Seorang ibu-ibu berdaster ungu lalu membuka pintu dan muncul dari dalam rumah. Satya mengecek daftar penghuni, mengambil empat paket nasi bungkus, dan turun dari perahu. Ardi juga turun membawa paket sembako.

"Permisi, Bu, ini rumah Pak Bejo, ya?" tanya Satya ramah. "Kami mau mengantar makanan dari acara baksos."

"Ohh, ya ampuun, makasih banyak Deek!" sahut ibu itu berkaca-kaca, menerima paketnya. "Sejak musibah itu kami cuma saling berbagi makanan dengan tetangga. Ini persediaannya udah menipis."

Mereka lalu pamit dan beranjak ke rumah sebelah. Sama seperti rumah pertama, penghuni rumah bersuka cita menyambut bantuan yang diberikan. Sampai di rumah yang ketujuh ternyata penghuninya lebih banyak dari data mereka.

"Iya, waktu banjir kemaren saudara saya lagi pada ngumpul di rumah, jadinya rame," kata bapak yang muncul ke depan rumah. Dari lantai dua rumahnya terlihat banyak anak-anak yang mengintip.

Satya menghampiri Kak Darma untuk meminta pendapatnya. Kalau banyak rumah seperti ini, rumah yang diujung jalan bisa tidak kebagian paket.

"Ya sudah, kasih aja. Toh memang kita bawa beberapa paket lebih untuk antisipasi. Kalau nanti ada yang kurang kita balik lagi saja," kata Kak Darma memutuskan. Satya mengangguk dan melaksanakan perintahnya.

Semakin lama jalanan di komplek itu semakin menurun, banjirnya semakin dalam. Satya yang tadinya masih bisa jalan karena banjir hanya sepinggang kini harus berenang untuk sampai ke rumah tujuan. Ada rumah bertingkat yang lantai satunya hampir terendam semua.

Di rumah ketiga belas, lantai duanya tidak memiliki balkon, sehingga penghuni rumah sulit keluar untuk menerima paketnya. Tadinya Satya mau melempar paket dengan sling, tapi ketika diukur sling yang dibawa ternyata kurang panjang. Dia lalu segera membuat simpul untuk menambah panjang tali, kemudian melempar paketnya melalui jendela.

Sementara hujan mulai turun dan dengan cepat menderas. Langit gelap oleh awan hitam tebal, tak tampak tanda-tanda hujannya akan selesai dalam waktu cepat. Permukaan air sesekali bergelombang dan membuat arus yang menambah berat medan. Di perempatan jalan rumah yang kedelapan belas, arus air tiba-tiba menguat. Saling bertabrakan membuat pusaran. Perahu karet mereka lantas oleng.

Oh, tidak! Sebagian paket yang mereka bawa jatuh ke air dan terbawa arus.

***


Bab Tiga



Satya dan Ardi langsung berenang mengejar, sementara Kak Darma berjuang mengendalikan perahu. Wira berusaha menjaga agar sisa paketnya tidak jatuh.

"Di, kamu ke kanan," pinta Satya. Arus ke kanan lebih kuat, paketnya sudah agak jauh. Dengan cepat Ardi yang atletis itu menyusul, mengais lima paket nasi bungkus yang mengambang.

Lima belas menit kemudian mereka berhasil mengamankan perahu dan paket. Satya berpegangan pada ujung perahu, terengah-engah. Ardi lalu memanjat naik dan membantu menarik Satya.

"Gimana paket kita, Wir?" tanya Ardi agak keras, menghalau deru hujan. Wira sudah menutupi paket mereka dengan jas hujannya Ardi dan Satya yang sejak tadi dilepas, supaya tidak menghalangi mereka ketika berenang.

"Aman, masih lengkap. Tapi ini hujannya makin deras. Kita mau lanjut atau putar balik?" tanyanya. "Masih ada dua belas rumah dan tiga puluh empat paket."

Satya menatap Kak Darma dengan bimbang. Wajah kakaknya itu agak pucat, mungkin belum pulih benar dari sakitnya. Apa dia masih kuat mengayuh di tengah derasnya hujan?

"Dari sini masih jauh, Wir?" tanya Satya akhirnya.

Wira melihat ke sekeliling, membuat perhitungan dan membandingkannya dengan peta.

"Harusnya enggak terlalu jauh. Kira-kira tiga ratus meter dari plang Indomaret itu ada rumah berikutnya," katanya sambil menunjuk ke barisan rumah di ujung jalan. Kak Darma mengangguk pada Satya.

"Oke, kalau gitu kita lanjut aja, tanggung tinggal dikit lagi," kata Satya mengambil keputusan.

Walau sudah mulai lelah, Mereka berusaha mengerjakan tugas secepat mungkin. Di rumah kedua puluh empat, ternyata ada keadaan darurat. Ada seorang ibu hamil yang mengalami pendarahan.

"Kak, tolong antar mereka ke posko," kata Satya. Ardi dan suami ibu itu membopong pasien ke luar rumah. Satya mengambil paket yang tersisa supaya ada ruang buat suami-istri itu duduk.

"Terus kamu sama Ardi gimana, Sat?" tanya Wira khawatir.

"Ini tinggal sisa enam paket lagi, kan? Aku sama Ardi bisa lanjut nganter paket ke tujuan. Setelah itu kita berenang buat nyusul pulang."

Kak Darma menggeleng. "Enggak, Sat, bahaya. Jaraknya terlalu jauh, apalagi kamu udah kecapekan. Setelah mengantar paket itu mendingan kamu sama Ardi nunggu di depan Indomaret aja, supaya ada patokan. Nanti aku balik lagi untuk jemput kalian."

Mereka menyetujuinya, lalu berpisah.

Satya dan Ardi berenang, melanjutkan perjalanan mengantar paket. Entah mereka yang sudah lelah atau memang jarak antar rumahnya semakin jauh, rasanya lama sekali baru mereka sampai di ujung gang. Rumah di ujung itu ternyata kosong.

"Ardi, istirahat dulu. Kakiku kram," pinta Satya. Ardi mengangguk, lalu menarik Satya ke atas balkon rumah kosong itu. Untungnya balkon rumah cukup lebar, mereka bisa berteduh sambil berselonjor kaki. Ardi kembali memanggil dan mengintip ke dalam rumah untuk memastikan penghuninya tidak ada.

“Nggak ada bau-bau yang aneh, kan?” tanya Ardi terdengar gugup.

“Hah? Maksudnya gimana?”

Ardi mengedikkan bahu. “Yah, siapa tahu penghuninya masih ada di dalam, tapi sudah meninggal dan tidak ada yang tahu ….”

“ARDIII!!! Jangan bikin takut, deh!”

Ardi cuma cengengesan.

Langit semakin gelap, diiringi petir menyambar.

"Aduh, Kak Darma gimana ya … aku takut mereka kenapa-kenapa di jalan," gumam Satya.

Ardi menghela napas, lalu duduk di samping Satya dan membuka bajunya yang basah. "Sudahlah, kita cuma bisa bantu doa. Memang hujan deras menghalangi jarak pandang, tapi Kak Darma kan ditemani Wira. Dia pinter nyari jalan. Kupikir selama enggak ada banjir susulan, harusnya mereka bisa sampai dengan selamat."

Ardi lalu menyuruh Satya buka baju, supaya tidak hipotermia. Saat memakai baju yang basah dan dingin, tubuh akan berusaha lebih keras untuk menghangatkan badan.

"Ah, iya, kalau ada kiriman banjir bandang dari hulu bahaya ya, mereka bisa hanyut terbawa arus kencang."

Ardi mengais bajunya dan mengeluarkan sebuah kantong kedap air. Isinya obat-obatan. Dia lalu mengambil salep Counterpain.

"Mana kakimu yang kram?" tanyanya kemudian.

Satya menunjuk dan memperhatikan Ardi mengurut kakinya.

"Kamu jago mijat juga, Di. Besok buka praktek panti pijat aja," kata Satya sambil tertawa. Ardi menyengir dan menoyor bahu Satya.

"Kalau mau jadi atlit harus tahu yang beginian, biar kalau cedera tahu apa yang harus dilakukan," komentar Ardi.

Tak lama mereka kembali duduk berdempetan sambil memperhatikan hujan.

"Makasih ya Di, udah enakan. Cuma ada masalah baru nih … aku kebelet pipis!"

Ardi cuma geleng-geleng kepala. "Ya udah sana ke bawah, pipis di air aja."

Satya berdecak, tapi menurut. Dalam hati minta maaf sama yang punya rumah karena sudah pipis di depan rumahnya. "Enggak enak banget ya kalo banjir begini. Walau air banyak, tapi enggak bisa diminum. Mandi dan pipis susah. Terus kalo mau BAB gimana?" tanyanya sambil naik ke balkon.

"Menurutmu?? Ya, BAB juga di bawah situ. Kalo bisa di luar pagar rumah biar kotorannya enggak mengapung masuk ke dalam hahaha …."

"Iiiih jorok bangeeet!" seru Satya sambil mengerutkan hidung.

"Tapi bener sih soal banyak air yang enggak bisa dipake. Aku tuh mikir, bisa nggak sih air banjirnya difilter gitu sipaya minimal bisa dipakai MCK?" Ardi bertanya-tanya.

Satya berpikir sejenak.

"Sebenernya salah satu SKU Pramuka Penggalang itu mengerti tentang cara penjernihan air, lho. Bahkan sampai airnya bisa diminum, untuk bertahan hidup di masa darurat. Aku agak lupa apa udah ada di jadwal ya, Coba nanti aku cek lagi program kegiatan pramuka kita."

Ardi mengangguk, lalu garuk-garuk kepala.

"Sat, aku laper, nih. Ini nasi bungkusnya kan tinggal satu buat penghuni rumah ini, tapi kan rumahnya kosong. Kita makan aja, yuk?"

Satya lalu menyetujuinya, karena dia juga lapar. Mereka makan nasi padang itu berdua. Memang nasinya sudah tidak hangat, tapi lumayan untuk mengganjal perut mereka.

Setelah makan dan istirahat sejenak, mereka lalu memutuskan untuk berenang kembali ke Indomaret di ujung gang. Siapa tahu Kak Darma sudah balik arah untuk menjemput mereka.

Hujan masih deras, walau tidak selebat yang tadi. Namun, mendekati Indomaret di perempatan jalan itu, arus terasa semakin kencang. Beberapa ranting dan benda-benda kecil terlihat hanyut di sana.

"Di, kita mau nunggu di mana? Masa gelantungan di plang Indomaret?" tanya Satya. Dia sudah berenang duluan mencapai plang tersebut. Tapi sebelum Ardi menjawab, tiba-tiba sesuatu menabraknya keras dari belakang, membuat pegangannya terlepas. Dia terseret arus, sempat terlelap air. Ketika berhasil menarik napas ke permukaan, Satya baru sadar apa yang tadi telah menabraknya.

Seekor ular piton berukuran besar sedang membelit badannya.

Satya menjerit kencang dan kembali tenggelam.

***

Bab Empat



BLUB BLUB BLUB!!
Satya tidak bisa bernapas, rasanya tercekik. Dia berontak, mencoba membebaskan diri dari ular itu. Tapi sepertinya gerakan itu justru membuatnya semakin terjebak dan tertarik ke dalam.

Arggh, toloong! Dadanya semakin sakit.

Saat dia merasa mendapat sedikit celah untuk kabur, sesuatu kembali menyentuhnya dari samping. Dengan panik dia menepis dan menendang, menggeliat di air. Pandangannya semakin gelap, tapi dia tetap berusaha berkelit. Menarik diri ke atas, lalu tertarik entah oleh pusaran air atau apa lagi. Tiba-tiba dia menabrak keluar permukaan air, megap-megap. Ardi melepas tarikan di jaket Satya dan mencengkeram lengan atasnya.

"SATYA!!" seru Ardi, lalu berusaha menenangkan temannya.

"Ssh, tarik napas. Pegangan padaku," ujarnya dengan nada teguh. Dia bersandar pada pohon di belakang. Menarik lengan Satya agar merangkul pundaknya, lalu memijat tengkuk Satya. Satya menunduk, bertumpu pada dada Ardi, masih gemetar, Batuk-batuk dan memuntahkan air yang sempat tertelan.

"Tenanglah ... ngga apa-apa, kita selamat. Kamu baik-baik saja?" tanyanya memastikan. Satya mengangguk, mengeratkan pegangan. Ardi menarik napas lega.

"Ya ampun jantungku mau copot. Aku mau narik lengan kamu ke atas tapi kamu berontak. Tenagamu kuat banget, peganganku hampir lepas."

"U-ularnya gimana?" tanya Satya tergagap.

Ardi menggeleng.

"Udah hanyut, tadi aku lihat sendiri. Kayaknya ularnya udah mati deh, cuma kebetulan tersangkut karena menabrakmu, dan terasa membelit karena kamu panik."

Satya memejamkan mata dan bergidik. Siapa yang tidak panik kalau tiba-tiba jatuh tertimpa ular?

"Kita udah terseret arus agak jauh dari Indomaret, nanti kakakmu nggak bisa nemuin kita. Kamu bisa berenang ke sana? Aku bantu papah," ujar Ardi.

Satya menggertakkan gigi, lalu mengangguk. Bergeser agar posisinya di samping Ardi, tangan melingkar di pundaknya. Mereka lalu mulai berenang. Cukup sulit karena harus melawan arus dan menghindari barang-barang yang hanyut. Tenaga Satya rasanya sudah terkuras habis ketika mereka sampai di plang Indomaret. Di seberang jalan, Kak Darma berteriak memanggilnya. Dia datang bersama Kak Bakti, yang mengayuh perahu.

"Tunggu di situ, jangan ke mana-mana!"

Begitu sampai Kak Darma langsung membantu mereka naik perahu. Saat akhirnya mereka berhasil tergeletak di lantai perahu, Kak Darma menarik Satya ke dadanya dan memeluknya dengan erat.

"Ya Tuhan, Satyaaa …," bisiknya setengah terisak. Dia menciumi kening adiknya. "Aku lihat waktu kamu hanyut terseret arus, tapi posisi kami masih jauh. Kami segera menyusul secepatnya."

Satya mengepalkan tangannya di punggung jaket Kak Darma, membenamkan wajah sambil berusaha mengatur napas. Dia sangat bersyukur bisa selamat. Kak Darma mengelus-elus kepalanya, membuatnya merasa hangat. Eh, atau badan Kak Darma memang lagi panas?

Satya menengadah, menatap kakaknya sambil mengerutkan kening.

"Kakak demam lagi, ya?" tanyanya.

Kak Darma berdecak. "Cuma anget sedikit kok, ntar di rumah tinggal minum obat dan dibawa tidur aja."

"Lagian si Darma maksa sih, lagi sakit bukannya istirahat di rumah malah ikut baksos. Hujan-hujanan dan kerja keras mengayuh perahu pula. Ya drop lagi deh badannya," sahut Kak Bakti. "Tadi pas sampe di posko dia kelihatan kayak mau pingsan, tapi bersikeras mau balik lagi buat jemput adeknya. Daripada dia kenapa-kenapa di jalan ya udah aku anter aja."

Mendengar itu Satya tersenyum dan memeluk kembali kakaknya. "Makasih ya Kak, Kakak is the best, deh."

"Kok cuma Satya yang dipeluk, sih? Aku kok enggak dipeluk juga, Kak?" komentar Ardi iseng. Bahu Satya langsung terguncang tawa.

Kak Darma mendelik, "Kamu pelukan sama Kak Bakti aja, sana."

Ardi melirik pada Kak Bakti, yang cuma melotot dan pasang tampang 'coba saja kalau berani'.

"Ooh, boleh boleh ... sini duduk di depanku, sekalian bantuin ngayuh perahu," kata Kak Bakti dengan nada mengancam.

“Eh, ogah!” kata Ardi langsung buang muka. Kak Darma dan Satya terbahak melihatnya.

Sesampainya di posko mereka langsung berteduh di tenda dan ganti baju. Kak Darma memberikan selimut pada Satya, tampak masih khawatir. Tapi Satya cuma tersenyum dan bilang dia baik-baik saja. Namun ternyata ada kabar emergensi dari Bimo dan Dwi, yang setelah presentasi tadi bertugas membantu di dapur umum.

"Guys, gawat nih! Penerima baksosnya kebanyakan, di luar antisipasi. Bahan makanan udah habis, sementara panitia belum pada makan," Bimo mengabari.

Semua berpandangan, sama-sama lapar. Satya yang sempat makan pun mulai lapar lagi, karena tadi banyak mengeluarkan tenaga.

Ardi mendengus, lalu meraih ranselnya yang segede gaban.

"Tenang saudara-saudara, aku punya solusinya," katanya santai sambil membuka resleting. Dia lalu mengeluarkan berbungkus-bungkus Indomie dari dalam tas. Semua melongo saking banyaknya Indomie yang dia keluarkan.

"Busyeet Ardiii … kamu mau kemping sebulan apa gimana, ada berapa kardus nih Indomie-nya?" tanya Dwi sambil semangat memunguti bungkus Indomie yang berserakan.

"Ini ada tiga kardus, berarti ada 120 bungkus. Aku bawa buat jaga-jaga aja, takut makanannya kurang. Ternyata betul kan, berarti enggak sia-sia kubawa," komentar Ardi dengan muka puas.

"Ya udah sini pinjam tasmu lagi, buat dibawa ke dapur umum," tukas Bimo.

Saka yang habis bertugas di tenda kesehatan pun lalu membantunya memasak. Akhirnya semua panitia Karang Taruna RT Satya kebagian makanan.

Perut kenyang, hati pun senang. Setelah makan mereka pun bersiap pulang. Di perjalanan Bimo cerita tentang presentasi mereka yang sukses. Semua gantian bercerita mengenai pengalaman masing-masing.

Bimo terkaget-kaget waktu Ardi cerita Satya hampir mati dimakan ular. Satya lalu menggeplak kepala temannya karena mengarang-ngarang cerita yang tidak benar.

"Kayaknya si ular tahu bos kita ini lagi butuh kasih sayang deh, makanya dia meluk Satya dengan sepenuh hati," komentar Dwi yang lalu disambut dengan sorak dan tawa teman-temannya.

Satya lalu mengemukakan pemikirannya tentang ketertarikannya belajar mengenai penjernihan air, barangkali bisa dimasukkan ke agenda kegiatan pramuka mereka.

Kak Darma mengangguk, "Udah ada di jadwal kok, nanti tunggu aja tanggal mainnya."

"Sat, ntar aku nginep di rumah kamu lagi, ya," pesan Ardi. "Mau pulang naik sepeda tapi badanku berasa remuk banget nih."

"Emangnya Indomie, remuk kegencet? Kayaknya Ardi nih yang lagi butuh kasih sayang, pengen remuk oleh cintaaaa uhuyy," tawa Bimo berderai. Dia berkelit karena mau dicekik Ardi, sementara Dwi berusaha menarik lengan Ardi dari belakang, membuat mereka dorong-dorongan.

"Woii mobilnya goyaaang!" protes Kak Budi.

Kak Darma cuma geleng-geleng melihat tingkah regu mereka.

"Sip, tenang aja. Yang lain juga pulangnya maleman aja, istirahat dulu. Ntar kita makan bakwan malang buatan bundaku dulu," kata Satya.

"Eh, iya, nanti pas Kak Melia jemput sekalian diajak makan dulu, ya," timpal Kak Darma.

Tiba-tiba suasana sunyi senyap, cuma terdengar krik-krik jangkrik lewat. Bimo dan Dwi berpandangan, lalu berteriak.

"Cie cieeee … Kak Darma naksir Kak Melia nih yeee … hahahaha!" kompak mereka menyahut kencang.

"Aduuuh, kalian ituuuuu!" protes Kak Darma, yang suaranya kalah oleh tawa anak-anak yang membahana.



===ooo===


Catatan Penulis:
YAYYY!! Alhamdulillah satu lagi cerita Satya dkk selesai! I'm so excited, anak-anak ini semangat memberi saya banyak ide. Semoga cerita selanjutnya juga bisa ditulis dengan lancar, amiin!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar