Halaman

Rabu, 12 Agustus 2020

Kumcer Regu Elang - Pertanyaan Besar

Pertanyaan Besar

Oleh: Caritra Sari

Pertanyaan itu muncul lagi.

Selama ini Saka selalu menghindarinya. Perkenalan di depan kelas atau tempat les lumayan mudah. Dia cukup memberi tahu nama (Saka), usia (12), dan rumahnya di mana (Komplek Pertamina). Kalau gurunya agak kreatif, dia tinggal tambahkan hobi (berkebun) dan makanan kesukaan (nasi goreng). Sesi perkenalan biasanya singkat saja, jadi Saka tidak perlu menjawab pertanyaan "itu".

Saat berkunjung ke rumah saudara, agak susah untuk mengelak.

"Wah, Saka sudah besar ya! Sebentar lagi mau masuk SMP. Enggak terasa lho, tiba-tiba nanti udah mengikuti jejak maminya nih?"

Memang sih, Saka cukup tersenyum dan bilang, "Iya, Tante."

Itu cara termudah untuk lolos. Dia juga tidak pusing karena jawabannya pendek. Namun, tugas dari Bu Guru kali ini membuatnya tidak bisa kabur. Sebagai bagian dari acara Hari Karir minggu depan, dia harus menulis esai satu halaman tentang cita-cita, berikut alasan kenapa dia memilihnya.

Pertanyaan yang bagus.

Sudah tiga hari Saka memelototi kertas kosong. Bisa saja, sih, dia tulis asal-asalan. "Petani" terdengar seperti ide bagus, tapi dia kan cuma suka menanam sayuran di pot. Tidak terbayang akan kerja di sawah. Lagipula, kalau maminya jadi datang bagaimana? Semua tulisan yang dikumpulkan nanti akan dibacakan di depan orang tua.

"Atlet Renang" sepertinya tidak mungkin, dia suka berenang hanya untuk terapi asma. "Musisi"? Umm… oke, dia rajin latihan biola dan piano, tapi jujur, kemampuannya biasa saja. "Pengusaha"? Huh. Dia sama sekali buta.

Ya, intinya dia juga tidak punya ide mau jadi apa, tapi sepertinya pertanyaan esai itu akan lebih mudah dijawab hanya dengan satu kalimat.

"Apa saja selain jadi dokter."

Jadi dokter itu capek dan jadwal selalu padat, tapi... semua keluarganya bekerja sebagai dokter. Masa dia sendiri yang tidak mau?

Saka menarik napas, lalu mulai menulis.

"Saya ingin menjadi dokter, karena: ..."

Setelah lima menit, Saka menyerah. Buntu. Rumahnya sepi seperti biasa, jadi dia memutuskan untuk keluar. Tanaman tomatnya sudah mulai berbuah. Seledri sudah bisa dipetik. Saka menyiram pot-pot sayur, sembari mencari si Buntal. Ke mana ya kucing abu-abu kesayangannya itu? Sebenarnya dia kucing liar, tapi Saka suka memberinya makan.

Tunggu dulu… itu kan--

Saka berlari ke pintu gerbang. Si Buntal tertabrak! Tidak terlihat ada robek luka, tapi kakinya tertekuk patah ke belakang. Saka mengangkatnya hati-hati, ikut mengernyit nyeri saat si Buntal mengeong lemah. Dia segera membawa Buntal ke klinik teman maminya.

Setelah operasi Dokter Rosa memberi tahu bahwa Buntal selamat. Saka menangis lega. Selama ini kucing itu selalu menemani Saka saat kesepian di rumah. Dokter Rosa tersenyum hangat dan menghiburnya sebelum pulang.

Saka jadi teringat Mami. Walau sibuk dan sering tidak di rumah, Mami sudah membantu banyak orang. Seperti Saka sekarang, mereka pasti merasa amat bersyukur.

Mungkin... menjadi dokter itu tidak seburuk yang Saka bayangkan.

Sesampainya di rumah, Saka menyelesaikan esainya. Sepulang praktik Mami memeluknya erat.

"Kenapa enggak telepon? Mami dengar dari Dokter Rosa."

Saka menggeleng malu, tidak mau mengganggu Mami ketika praktik. Toh dia sudah tahu kliniknya.

"Mami bisa ke sekolah Sabtu ini? Ada Hari Karir. Saka juga mau pinjam jas dan stetoskop."

Saka tersenyum saat Mami mencium keningnya lembut.

"Tentu saja, Saka. Mami usahakan hadir."

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar