Halaman

Rabu, 12 Agustus 2020

Kumcer Regu Elang - Anak Mama

Anak Mama

Oleh: Caritra Sari

Bimo sudah sekelas dengan Dwi sejak awal masuk SD.

Mereka tidak duduk sebangku. Bimo duduk di tengah dan selalu dikelilingi teman-teman saat istirahat. Sedangkan Dwi duduk di dekat pintu, seolah dari situ bisa mengintip mamanya yang mengantar. Tentu saja tidak bisa--pagar sekolah mereka cukup tinggi, tapi sebulan pertama tetap saja Dwi gelisah memandangi pagar sampai bel sekolah berbunyi.

Anak yang duduk di belakangnya bernama Gery, dia mengejek Dwi "Anak Mama".

Dwi cuma mengerutkan kening dan memandangnya aneh, lalu bertanya "Memangnya kenapa?"

Rupanya Gery penasaran karena tidak berhasil memancing kemarahan Dwi. Tingkahnya semakin menjadi-jadi. Bimo sempat menegur Gery supaya diam karena mengganggu ketenangan kelas, tapi besoknya anak itu mengulangi lagi.

Dwi malah sibuk makan roti berbentuk panda dari kotak bekal imut yang disiapkan mamanya, tidak menghiraukan Gery sampai dia tiba-tiba merebut kotak itu.

Bagai beruang yang diusik, Dwi langsung bangkit, mendorong dada Gery dengan kedua tangan, dan mengambil kotak bekalnya yang terjatuh. Mereka hampir berkelahi, tapi Bimo segera melongok ke luar kelas dan berteriak, "Bu Guru dataang!"

Semua anak kocar-kacir ke meja masing-masing.

Besoknya Dwi dan Gery berantem saat Bimo tidak di kelas. Tidak ada yang terlihat terluka, tapi Gery menangis. Bu Guru memindahkan Dwi ke bangku paling belakang, jauh dari Gery.

Mulai saat itu tidak ada yang berani mengganggu Dwi. Bimo tidak begitu memikirkannya karena selama tidak diganggu orang, Dwi juga tidak mengganggu siapa-siapa.

Sampai akhirnya mendekati ujian kelas 4, beredar gosip tentang ibunya Bimo.

"Dia anaknya teroris, lho!" seru Reza yang selama ini suka iri dengan Bimo.

"Hah, Terios?"

"Bukan! Teroris, artinya orang jahat."

"Ah, masa sih? Bimo kan rajin salat dan hapal Quran."

"Nah, makanya! Pasti dipaksa ibunya yang pakai cadar."

"Cadar itu apa, sih? Aku tahunya kue dadar."

"Ah kamu! Itu lhoo… ibunya pakai kain penutup kepala kayak ninja gitu, yang kelihatan cuma matanya."

"Tunggu dulu, ibunya Bimo ninja?!"

"Iya, ninja teroris yang jahat! Soalnya kata mamaku dia merebut papanya Bimo dari mama orang lain!"

Teman-teman yang biasanya bermain dengan Bimo perlahan menjauhinya. Ada yang ikut-ikutan, ada yang takut, ada yang marah, dan ada yang jijik. Bimo sedih, nilai rapornya anjlok.

Ketika naik ke kelas 5, tidak ada yang mau duduk dengannya. Dia duduk di belakang bersama Dwi. Saat Reza mendatangi Bimo sambil mengejek senang, Dwi menggebrak meja.

"Heh, enggak usah jelek-jelekin orang lain deh! Kamu kan menyebarkan gosip itu karena iri sama Bimo. Makanya belajar yang rajin biar berprestasi, jangan cuma tong kosong nyaring bunyinya!" bentak Dwi siap berkelahi.

Sejak saat itu tidak ada yang berani mengusik Bimo. Gosip itu mereda, teman Bimo berbaikan.

"Makasih, ya, Dwi. Walau sebenarnya… Reza enggak bohong," gugup Bimo. Dia merasa bersalah karena selama ini menyembunyikan kebenaran. "Ibuku itu--"

"Istri kedua dari ayahmu, kan?" tembak Dwi langsung.

Bimo meringis, lalu mengangguk.

"Terus kenapa?" tanya Dwi sambil mengerutkan kening, memandang aneh padanya.

Bimo cuma bisa megap-megap, tidak menyangka Dwi menerimanya dengan enteng, seolah itu bukan hal yang tabu atau memalukan.

"Jadi cowok harus berani membela keluarganya," pungkas Dwi.

Bimo lantas tersenyum. Itu adalah awal mula persahabatannya dengan Dwi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar