Halaman

Selasa, 14 Januari 2020

Bab 0 - Wing Tapak Hitam

Wing Tapak Hitam

Oleh: Caritra Sari



Hari itu hari terakhir Pesta Siaga di Bumi Perkemahan Cibubur. Satya senang bisa mengikuti perkemahan bersama kakaknya. Kak Darma telah dilantik menjadi Pramuka Penegak. Sekarang dia menjadi pembina Pramuka Siaga di sekolah Satya. Sebelum mereka pulang dari perkemahan, Satya bermaksud mengajaknya berenang.

Satya - Art by Poruru
Pagi-pagi Satya sudah sampai di depan anjungan joglo, tempat para pembina menginap. Ruang tengah sudah ramai oleh pembina yang sedang sarapan. Beberapa ketua regu tampak sibuk mengambil jatah sarapan untuk regunya. Kak Darma ternyata baru saja keluar untuk sarapan.

“Kalau mau berenang enaknya sekarang, mumpung belum panas,” kata Kak Darma. “Kita sarapan sambil jalan saja. Kakak ambil baju ganti dulu ya.”

Kamar Kak Darma berada di ujung lorong. Ternyata seseorang sedang menunggu di depan kamar.

“Pandu? Ada apa?” tanya Kak Darma. Pandu tidak sekelas dengan Satya. Dia adalah ketua dari salah satu regu yang dibina Kak Darma.

“Aku dan Yuda tadi main bola. Yuda kepeleset, kakinya lecet. Katanya kotak P3K udah diberesin sama Kak Darma?”

“Iya, soalnya kemarin tenda kesehatan bocor. Yuk, masuk,” ajak Kak Darma sambil membuka pintu.

Kak Darma tertegun. Di seberang pintu, sinar matahari pagi menerobos jendela dan menerangi meja belajar. Sebuah kotak pipih selebar korek api tergeletak di sana.

“Ada apa, Kak?” tanya Satya.

Kak Darma memperlihatkan kotak yang kosong. “Ada yang mengambil Wing Tapak Hitamku.”

Saat Pesta Siaga dimulai, Kak Darma menerima tanda kecakapan khusus. Minggu lalu dia menempuh perjalanan selama dua hari di pegunungan. Lencananya bernama Wing Tapak Hitam.

“Padahal sudah disimpan di dalam tas,” kata Kak Darma sambil menunjuk lemari bagian atas. 
Kak Darma - Art by Poruru


Satya menengadah. Bagian bawah lemari kecil itu berisi kotak P3K. Rak bagian atas sesak oleh tas ransel besar Kak Darma. Satya meraih tali nilon tipis di ujung resleting ransel yang sudah terurai. Sebagai ganti kunci gembok, biasanya tali ini diikat dengan simpul rantai pada pengait ransel.

“Lencana Kakak hilang?!” Pandu berseru kaget.

Pandu cukup tinggi untuk meraih bagian atas lemari, pikir Satya. Tapi jari-jarinya yang gemuk sulit untuk membuka simpul itu dengan cepat.

“Ada apa, Pandu?” tanya seseorang dari depan kamar. Dia berkacamata, kurus, dan tinggi. Di belakangnya ada anak lain yang pendek, kurus, dan memakai kaos Pesta Siaga lengan panjang. Mereka adalah teman seregu Pandu. Si keriting dengan genggaman lembek dan lengan kaos basah itu bernama Angga. Si kacamata bernama Rama.

“Aku ngga ngunci kamar,” kata Kak Darma. “Baru semenit ditinggal, Wing Tapak Hitamku sudah hilang.”

“Tapi jendela kamar ini kan dijeruji. Ngga mungkin pelakunya masuk dari luar,” kata Pandu.

“Coba cari dulu lencananya, Kak... mungkin terselip,” kata Satya. Dia lalu berpaling pada ketiga temannya. “Boleh aku periksa saku kalian?”

Tidak ada yang membawa lencana itu. Satya beranjak keluar. Di ujung kamar Kak Darma ada akuarium kecil. Setelahnya ada belokan ke kiri menuju toilet. Satya memeriksa toilet, tapi tidak menemukan apa-apa. Di depan kamar Kak Darma ada pintu beranda samping. Engselnya sudah copot, sehingga pintu itu selalu terbuka. Beberapa langkah dari situ, terdapat deretan pohon rindang.

“Siapa yang kemah di bawah pohon itu?” tanya Satya setelah dia kembali.

“Regu kami,” jawab Angga.

Satya mengangguk. “Apa yang kamu dan Rama lakukan tadi?”

Angga mengedikkan bahunya. “Aku terbangun karena silau matahari, lalu pergi ke toilet. Kira-kira semenit yang lalu.”

“Aku ke toilet sehabis sarapan,” kata Rama. “Aku berpapasan dengan Kak Darma saat dia keluar kamar. Begitu selesai aku bertemu Angga. Kami ngobrol di depan toilet. Kami mendengar Pandu mencari Kak Darma.”

Apakah Rama benar ke toilet? pikir Satya. Rama tinggi dan kurus, tapi Satya tidak punya bukti. Dia memeriksa kamar kembali.

Apa ini? Satya berlutut. Ada goresan di lantai kayu di depan lemari, seperti bekas sesuatu yang diseret. Pandangan Satya tertuju ke kursi belajar yang terbuat dari besi. Oh, ya ampun ... tentu saja!

“Aku tahu di mana lencana itu dan siapa pelakunya,” kata Satya. Semua memandangnya terkejut. “Pelakunya mengawasi kamar Kakak. Begitu Kakak keluar, dia memakai kursi untuk memanjat lemari. Mengurai simpul tas itu mudah bila jarinya kurus. Pelakunya adalah kamu, Angga.”

Wajah Angga memucat.

Satya keluar kamar. “Barangnya bukan di kemahmu. Kamu berbalik arah begitu melihat Pandu datang ke sini. Waktumu sedikit untuk menyembunyikan lencana itu. Kamu ngobrol dengan Rama, berarti kamu batal ke toilet. Lalu kenapa lengan bajumu basah?”

Di bawah kerikil akuarium, Satya menemukan lencana Kak Darma.

“Rimbun pohon menaungi jendela kemahmu. Bagaimana matahari pagi bisa membangunkanmu? Kamu teringat silaunya matahari, karena tadi kamu di kamar Kak Darma.”

Akhirnya Angga mengaku. Dia kesal karena didiskualifikasi oleh Kak Darma saat ikut lomba halang-rintang.

“Kamu memang tidak menginjak ranjau,” kata Kak Darma. “Tapi kantong ranjau itu sudah tumpah. Berarti kamu menyenggolnya.”

Angga pun mengangguk malu dan meminta maaf.


=== ooo ===


Catatan Penulis:
Ini adalah awal mula cerita Satya yang saya tulis tahun 2017. Saat itu dia berusia 10 tahun, jadi masih Pramuka Siaga. Kak Darma 16 tahun (Pramuka Penegak). Cerita ini dimuat dalam buku kumpulan cerpen saya yang bisa dibaca di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar